Menyambut Kedatangan Seseorang dengan Berdiri
عن أبي مجلز قال
خرج معاوية على بن الزبير وبن عامر فقام بن عامر وجلس بن الزبير فقال معاوية لابن
عامر اجلس فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من أحب أن يمثل له الرجال
قياما فليتبوأ مقعده من النار
Dari Abu Mijlaz ia berkata: Mu’awiyyah keluar menemui Ibnuz-Zubair dan Ibnu ‘Aamir. Maka Ibnu ‘Aamir berdiri sementara Ibnuz-Zubair tetap duduk. Berkata mu’awiyyah kepada Ibnu ‘Aamir: “Duduklah, sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang suka seseorang berdiri untuknya, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 977, Abu Dawud no. 5229, At-Tirmidzi no. 2753, Ahmad 4/93, dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahaan 1/219; shahih).
عن عبد الله بن
بريدة قال: خرج معاوية فرآهم قياما لخروجه ، فقال لهم: اجلسوا فإن رسول الله صلى
الله
عليه وسلم قال:
من سره أن يقوم له بنو آدم ، و جبت له النار.
Dari ‘Abdullah bin
Buraidah, ia berkata: “(Pada satu hari) Mu’awiyyah keluar dan ia melihat
orang-orang berdiri karenanya. Maka Mu’awiyyah berkata kepada mereka: ‘Duduklah
kalian, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
‘Barangsiapa yang suka anak-anak Adam berdiri untuknya, wajib baginya untuk
masuk neraka” (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy 2/38-39 dan Al-Khathiib dalam
Taariikh Baghdad 13/193; lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 357).
عن عبد الرزاق
بن سليمان بن علي بن الجعد قال: سمعت أبي يقول: " لما أحضر المأمون أصحاب
الجوهر ، فناظرهم على متاع كان معهم ، ثم نهض المأمون لبعض حاجته ، ثم خرج ، فقام
كل من كان في المجلس إلا ابن الجعد ، فإنه لم يقم ، قال: فنظر إليه المأمون كهيئة
المغضب ، ثم استخلاه فقال له: يا شيخ ما منعك أن تقوم لي كما قام أصحابك ؟ قال:
أجللت أمير المؤمنين للحديث الذي نأثره عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال: و ما
هو ؟ قال علي بن الجعد: سمعت المبارك بن فضالة يقول: سمعت الحسن يقول قال النبي
صلى الله عليه وسلم: (فذكره باللفظ الأول) قال: فأطرق المأمون متفكرا في الحديث ،
ثم رفع رأسه فقال: لا يشترى إلا من هذا الشيخ ، قال: فاشترى منه في ذلك اليوم
بقيمة ثلاثين ألف دينار " .
Dari ‘Abdurrazzaq bin
Sulaiman bin ‘Aliy bin Al-Ja’d, ia berkata: Aku mendengar ayahku berkata:
“Ketika Al-Ma’muun kedatangan para pedagang batu permata, maka ia
mengamat-amati barang yang mereka bawa. Kemudian Al-Ma’muun beranjak karena ada
satu hajat dan keluar dari majelisnya. Berdirilah semua orang yang ada di
majelis itu kecuali Ibnul-Ja’d – ia tidak berdiri (untuk Al-Ma’muun). Maka
Al-Ma’muun pun melihat kepadanya yang seakan-akan ia marah kepadanya.
Al-Ma’muun menghampirinya dan berkata: “Wahai Syaikh, apa yang menghalangimu
untuk berdiri untukku sebagaimana para shahabatmu berdiri ?”. Ibnul-Ja’d
menjawab: “Aku menghormati Amiirul-Mukminin (dengan cara demikian) dikarenakan
hadits yang kami riwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Al-Ma’muun bertanya: “Apa itu ?”. ‘Ali bin Al-Ja’d berkata: Aku mendengar Al-Mubaarak
bin Fudlaalah, ia berkata: Aku mendengar Al-Hasan berkata: Telah bersabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barangsiapa yang suka seseorang berdiri
untuknya, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka”. Al-Ma’muun tertunduk
sambil memikirkan hadits itu, yang kemudian ia mengangkat kepalanya seraya
berkata: “Aku tidak akan membeli (batu permata) kecuali dari syaikh ini”.
‘Abdurrazzaq berkata: “Maka pada hari itu Al-Ma’muun berdiri membeli batu
permata dari syaikh tersebut senilai 30.000 dinar” (Diriwayatkan oleh
Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar 10/466, Taariikh Baghdad 11/361, dan yang lainnya;
shahih).
Al-Imam Al-Munawiy
rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits ‘barangsiapa yang suka seseorang
berdiri untuknya, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka’:
بأن يلزمهم
بالقيام صفوفاً على طريق الكبر والتجوه أو بأن يقام على رأسه وهو جالس ....
(فليتبوأ مقعده من النار) قال الزمخشري: أمر بمعنى الخبر كأنه قال من أحب ذلك وجب
له أن ينزل منزلته من النار وحق له ذلك اهـ. وذلك لأن ذلك إنما ينشأ عن تعظيم
المرء بنفسه واعتقاد الكمال وذلك عجب وتكبر وجهل وغرور ولا يناقضه خير قوموا إلى
سيدكم لأن سعداً لم يحب ذلك والوعيد إنما هو لمن أحبه قال النووي: ومعنى الحديث
زجر المكلف أن يحب قيام الناس له ولا تعرض فيه للقيام بنهي ولا بغيره والمنهي عنه
محبة القيام له فلو لم يخطر بباله فقاموا له أو لم يقوموا فلا لوم عليه وإن أحبه
أثم قاموا أو لا اهـ.
“Karena orang yang
mengharuskan mereka berdiri berbaris dengan perasaan sombong dan angkuh atau
karena mengharuskan orang lain berdiri sedangkan ia dalam keadaan duduk, maka
persiapkanlah tempat duduknya di neraka. Az-Zamakhsyariy berkata: ‘(Hadits ini
menunjukkan) perintah yang bermakna khabar. Seakan-akan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang menyukai hal itu, maka wajib
baginya untuk menempati tempatnya di neraka, dan ia berhak mendapatkannya’ –
selesai perkataan Az-Zamakhsyariy - . Sebab hal itu dapat menumbuhkan
pengagungan seseorang terhadap dirinya sendiri dan merasa dirinya telah
sempurna. Inilah yang disebut sifat ‘ujub, takabbur, bodoh, dan ghuruur
(tertipu). Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadits: ‘Berdirilah kepada
(menuju) sayyid kalian’ ; karena Sa’d tidak suka diperlakukan demikian.
Sementara ancaman yang tertera dalam hadits ditujukan kepada orang yang
menyukainya. An-Nawawi berkata: ‘Makna hadits tersebut adalah celaan terhadap
seorang mukallaf (orang yang telah terbebani hukum syari’at) yang suka jika
orang-orang berdiri untuknya. Perbuatan terlarang ini berkaitan dengan
seseorang yang suka jika orang-orang berdiri untuknya. Namun apabila tidak ada
rasa suka pada dirinya, baik orang-orang berdiri ataupun tidak, maka hal itu
tidak mengapa. Jika akhirnya tumbuh rasa suka terhadap perlakukan itu, maka ia
berdosa, baik orang orang-orang berdiri untuknya atau tidak.” (Faidlul-Qadiir,
6/31-32).
Mengenai permasalahan
ini, ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Al-Haafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
قال ابن القيم
في "حاشية السنن": والقيام ينقسم إلى ثلاث مراتب: قيام على رأس الرجل
وهو فعل الجبابرة، وقيام إليه عند قدومه ولا بأس به، وقيام له عند رؤيته وهو
المتنازع فيه
“Ibnul-Qayyim berkata
dalam Hasyiyyah As-Sunan: Berdiri terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama,
berdiri pengagungan terhadap seorang yang sedang duduk, ini merupakan perbuatan
orang-orang yang sombong/dhalim. Kedua, berdiri untuk menyambut kedatangan
seseorang, ini tidak mengapa. Ketiga, berdiri ketika melihat seseorang, ini
yang diperselisihkan para ulama” (Fathul-Bariy, 11/51).
Al-Mubarakfuriy berkata:
اعلم أنه قد
اختلف أهل العلم في قيام الرجل للرجل عند رؤيته، فجوزه بعضهم كالنووي وغيره، ومنعه
بعضهم كالشيخ أبي عبد الله بن الحاج المالكي وغيره، وقال النووي في الأذكار: وأما
إكرام الداخل بالقيام، فالذي نختاره أنه مستحب لمن كان فيه فضيلة ظاهرة من علم أو
صلاح أو شرف أو ولاية ونحو ذلك، ويكون هذا القيام للبر والإكرام والاحترام لا
للرياء والإعظام. وعلى هذا استمر عمل السلف والخلف......
“Ketahuilah bahwasannya permasalahan ini telah
diperselisihkan para ulama, yaitu berdirinya seseorang saat melihat orang lain.
Sebagian ada yang membolehkannya seperti An-Nawawiy dan yang lainnya. Dan yang
lain melarangnya seperti Asy-Syaikh Abu ‘Abdillah bin Al-Hajj Al-Maalikiy dan
yang lainnya. An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkaar: ‘Adapun memuliakan orang yang
datang dengan berdiri, pendapat yang kami pilih bahwa hal itu disunnahkan pada
orang yang mempunyai keutamaan yang nyata dalam hal ilmu, kebaikan, kemuliaan,
kekuasaan, atau yang lainnya. Sikap berdiri ini dalam rangka mewujudkan kebaikan,
pemuliaan, dan penghormatan; bukan untuk riya’ dan pengagungan. Perbuatan ini
senantiasa dilakukan oleh salaf dan khalaf….” (Tuhfatul-Ahwadzi, 8/30-31).
Al-Haafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
ونقل ابن كثير
في تفسيره عن بعض المحققين التفصيل فيه فقال: المجذور أن يتخذ ديدنا كعادة الأعاجم
كما دل عليه حديث أنس، وأما إن كان لقادم من سفر أو لحاكم في محل ولايته فلا بأس
به. قلت: ويلتحق بذلك ما تقدم في أجوبة ابن الحاج كالتهنئة لمن حدثت له نعمة أو
لإعانة العاجز أو لتوسيع المجلس أو غير ذلك والله أعلم. وقد قال الغزالي: القيام
على سبيل الإعظام مكروه وعلى سبيل الإكرام لا يكره. وهذا تفصيل حسن
“Ibnu Katsir menukil rincian masalah ini dari
sebagian muhaqqiq, ia berkata: ‘Berdiri yang terlarang adalah jika seseorang
meyakininya sebagai agama, seperti yang dilakukan oleh orang-orang ‘ajam dan
sebagaimana yang tertera dalam hadits Anas radliyallaahu ‘anhu. Namun apabila
perlakukan tersebut ditujukan kepada orang yang baru pulang dari safar atau
kepada hakim di wilayah kekuasaannya, maka tidak mengapa hal itu dilakukan. Dan
termasuk juga apa yang telah disebutkan oleh Ibnul-Hajj, seperti ucapan selamat
kepada orang yang baru mendapat nikmat, atau untuk menolong seseorang yang
lemah, untuk memperluas masjid, dan yang lainnya. Allaahu a’lam’. Al-Ghazzaliy
berkata: ‘Makruh hukumnya jika berdiri dilakukan sebagai pengagungan. Dan tidak
dimakruhkan apabila sebagai penghormatan’. Ini merupakan rincian yang cukup
baik” (Fathul-Baariy, 11/54).
Perkataan An-Nawawiy dan Ibnu Hajar tentang
bolehnya berdiri untuk mengormati orang yang mempunyai keutamaan atau
kekuasaan, maka perlu dikaji lebih lanjut.
Telah shahih hadits
kebolehan menyambut kedatangan seseorang (tamu) sebagaimana riwayat:
عن عائشة قالت:
كن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم عنده. لم يغادر منهن واحدة. فأقبلت فاطمة تمشي.
ما تخطئ مشيتها من مشية رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا. فلما رآها رحب بها.
فقال "مرحبا بابنتي" ثم أجلسها عن يمينه أو عن شماله.
Dari ‘Aisyah ia berkata: “Suatu ketika para
istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di sisi beliau tanpa ada
seorang istri pun yang tertinggal. Maka datanglah Fathimah dengan berjalan kaki
yang cara berjalannya tidak berbeda sedikit pun dengan cara berjalannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau melihatnya, beliau
menyambutnya dengan mengucapkan: ‘Selamat datang putriku’” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 3623 dan Muslim no. 2450).
Ini termasuk memuliakan
tamu dengan berdiri menyambutnya dan menghampirinya. Bukan sekedar berdiri di
tempat.
Demikian pula yang
tergambar dalam hadits Ka’b bin Malik radliyallaahu ‘anhu:
فلمَّا جَاءَنِي
الَّذي سمِعْتُ صوْتَهُ يُبَشِّرُنِي نَزَعْتُ لَهُ ثَوْبَيَّ فَكَسَوْتُهُمَا
إِيَّاهُ ببشارَته واللَّه ما أَمْلِكُ غَيْرَهُمَا يوْمَئذٍ، وَاسْتَعَرْتُ
ثَوْبَيْنِ فَلَبسْتُهُمَا وانْطَلَقتُ أَتَأَمَّمُ رسول الله صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وسَلَّم يَتَلَقَّانِي النَّاسُ فَوْجاً فَوْجاً يُهَنِّئُونني
بِالتَّوْبَةِ وَيَقُولُون لِي: لِتَهْنِكَ تَوْبَةُ الله عَلَيْكَ، حتَّى
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم جَالِسٌ
حَوْلَهُ النَّاسُ، فَقَامَ طلْحَةُ بْنُ عُبَيْد الله رضي الله عنه يُهَرْوِل
حَتَّى صَافَحَنِي وهَنَّأَنِي، واللَّه مَا قَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهاجِرِينَ
غَيْرُهُ،
“Maka ketika telah datang orang yang aku
dengar suaranya telah memberikan kabar gembira kepadaku, aku langsung melepas
dua pakaianku untuknya. Aku pakaikan keduanya kepadanya sebagai balasan atas
kabar gembiranya. Demi Allah, aku tidak memiliki selain keduanya pada hari itu.
Dan aku meminjam dua pakaian untuk aku pakai. Dan aku berangkat menuju
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang
berbondong-bondong menemuiku, dan mengucapkan selamat atas taubat Allah
untukku. Mereka mengucapkan: ‘Semoga taubat Allah atasmu membuatmu bahagia’.
Hingga aku masuk masjid, ternyata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
sedang duduk dikerumuni orang-orang. Maka Thalhah bin ‘Ubaidillah radliyallaahu ‘anhu
berlari-lari hingga menjabat tanganku. Demi Allah, tidak ada orang Muhajirin
yang berdiri selain dia…” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 4418, Muslim no. 2769, dan yang lainnya - lihat
Riyaadlush-Shaalihiin hal. 40 no. 21).
Perbuatan para shahabat
kepada Ka’b adalah dengan berdiri dan berjalan menyambutnya dalam rangka
mengucapkan selamat.
Yang dipermasalahkan
dalam perkataan An-Nawawiy dan yang lainnya adalah seseorang yang berdiri di
tempat(1) karena melihat orang lain. Beliau berpendapat hal itu diperbolehkan
jika orang tersebut mempunyai keutamaan ataupun kekuasaan, tanpa ada maksud
riya’ dan pengagungan.
Namun pendapat yang benar
adalah hal itu tetap tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan dhahir
hadits:
عن أنس رضي الله
عنه قال: ما كان شخص أحب إليهم رؤية من النبي صلى الله عليه وسلم وكانوا إذا رأوه
لم يقوموا إليه لما يعلمون من كراهيته لذلك
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para shahabat) cintai saat melihatnya
daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Namun jika melihat beliau, mereka
tidak pernah berdiri karena mereka mengetahui kebencian beliau atas hal itu” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 946, At-Tirmidzi dalam Sunan-nya
no. 2754 dan Asy-Syamaail no. 335, Ibnu Abi Syaibah 8/586, Ahmad 3/132 &
134 & 151 & 250, Abu Ya’laa no. 3784, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykilil-Atsar no. 1126, dan yang lainnya; shahih).
Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah berkata:
و هذا الحديث
مما يقوي ما دل عليه الحديث السابق من المنع من القيام للإكرام لأن القيام لو كان
إكراما شرعا ، لم يجز له صلى الله عليه وسلم أن يكرهه من أصحابه له ، و هو أحق
الناس بالإكرام ، و هم أعرف الناس بحقه عليه الصلاة و السلام . و أيضا فقد كره
الرسول صلى الله عليه وسلم هذا القيام له من أصحابه ، فعلى المسلم - خاصة إذا كان
من أهل العلم و ذوي القدوة - أن يكره ذلك لنفسه اقتداء به صلى الله عليه وسلم ، و
أن يكره لغيره من المسلمين لقوله صلى الله عليه وسلم: " لا يؤمن أحدكم حتى
يحب لأخيه ما يحب لنفسه من الخير " ، فلا يقوم له أحد ، و لا هو يقوم لأحد ،
بل كراهتهم لهذا القيام أولى بهم من النبي عليه الصلاة و السلام ، ذلك لأنهم إن لم
يكرهوه اعتادوا القيام بعضهم لبعض ، و ذلك يؤدي بهم إلى حبهم له ، و هو سبب
يستحقون عليه النار كما في الحديث السابق ، و ليس كذلك رسول الله صلى الله عليه
وسلم ، فإنه معصوم من أن يحب مثل هذه المعصية ، فإذا كان مع ذلك قد كره القيام له
، كان واضحا أن المسلم أولى بكراهته له
.
“Hadits ini termasuk yang
menguatkan hadits-hadits sebelumnya, yaitu larangan berdiri untuk menghormati
orang lain. Sebab, seandainya itu sebuah penghormatan syar’i, tentunya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menolak penghormatan para shahabat dengan
berdiri kepada beliau. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi
yang paling berhak dihormati oleh manusia; sedangkan para shahabat adalah
orang-orang yang paling mengetahui hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Di samping itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci kebiasaan
berdiri yang dilakukan oleh para shahabat untuk menghormati beliau. Maka wajib
bagi orang muslim – khususnya jika ia termasuk ahlul-‘ilmi atau orang yang
memiliki kekuasaan - untuk tidak menyukai kebiasaan berdiri untuk dirinya
sebagai bentuk iqtidlaa’ (mengikuti) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu juga ia tidak berdiri untuk orang lain; maupun penghormatan bagi orang
lain. Hal itu berdasarkan atas sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
”Tidaklah (sempurna) iman seseorang di antara kalian, sehingga dia mencintai
saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri dalam kebaikan”. Maka
tidak seorang pun boleh berdiri untuk menghormatinya, dan tidak pula ia berdiri
untuk memberi hormat pada orang lain. Bahkan kebencian mereka terhadap tradisi
berdiri tersebut adalah lebih utama dibandingkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Jika mereka tidak membencinya, maka sebagian orang akan mencontoh
sebagian yang lain dalam hal berdiri ini, sehingga mereka pun menyukainya. Dan
akhirnya hal itu dapat menjadi sebab ia dimasukkan ke dalam neraka sebagaimana
ditunjukkan oleh hadits yang lalu. Namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam tidaklah demikian. Beliau terjaga dari kemaksiatan apapun. Jadi, oleh
karena Nabi tidak menyukai berdirinya para shahabat untuk menghormatinya, maka
jelaslah, bahwa ketidaksukaan seorang muslim terhadap hal tersebut adalah lebih
utama” (Silsilah Ash-Shahiihah, 1/698-699).
Sebagian orang yang
membolehkan berdalil dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
قوموا إلى سيدكم
“Berdirilah menuju sayyid (pemimpin) kalian” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 6262, Muslim no. 1768, dan Abu Dawud no. 5215).
Pendalilan ini tidak
tepat. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
و المعروف أنه
قال: " قوموا إلى سيدكم " . قاله صلى الله عليه وسلم لجماعة من الأنصار
لما جاء سعد بن معاذ محمولا على حمار و هو جريح ... أي أنزلوه و حملوه ، لا قوموا
له ، من القيام له فإنه أراد بالسيد: الرئيس والمتقدم عليهم ، و إن كان غيره أفضل
منه " . اشتهر الاستدلال بهذا الحديث على مشروعية القيام للداخل ، و أنت إذا
تأملت في سياق القصة يتبين لك أنه استدلال ساقط من وجوه كثيرة أقواها قوله صلى
الله عليه وسلم " فأنزلوه " فهو نص قاطع على أن الأمر بالقيام إلى سعد
إنما كان لإنزاله من أجل كونه مريضا ، و لذلك قال الحافظ: " و هذه الزيادة
تخدش في الاستدلال بقصة سعد على مشروعية القيام المتنازع فيه
“Dan yang ma’ruf bahwasannya beliau bersabda:
‘Berdirilah kepada menuju sayyid (pemimpin) kalian’. Itu dikatakan oleh beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sekelompok orang-orang Anshar ketika Sa’d
bin Mu’adz datang dengan dipanggul di atas keledai dalam keadaan luka parah. Berarti makna: quumuu
ilaa sayyidikum adalah: ‘Turunkan dan papah dia’. Bukan: ‘berdirilah untuknya’
, yaitu untuk menghormatinya. Sebab maksud mata sayyid adalah pemimpin dan
orang terdepan walaupun di sana ada orang yang lebih baik. Telah masyhur
pendapat yang berdalil dengan hadits ini tentang disyari’atkannya berdiri untuk
orang yang masuk. Dan jika engkau perhatikan alur ceritanya, engkau akan dapati
pendalilan seperti ini adalah pendalilan yang keliru ditinjau dari banyak sisi.
Yang terkuat (dalam membantah pendapat ini) adalah sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘turunkan dia’ ; dimana ia merupakan nash yang
pasti atas perintah berdiri menuju Sa’d, yaitu untuk menurunkannya (dari atas
keledai) karena ia dalam keadaan sakit. Oleh karena itu Al-Haafidh berkata:
‘Tambahan ini menunjukkan batalnya pendapat disyari’atkannya berdiri yang
diperselisihkan ini yang berdalil dengan hadits Sa’d” (Silsilah Ash-Shahiihah,
1/146).
Yang dijelaskan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani di atas serupa dengan yang dijelaskan Ibnul-Hajj
Al-Maalikiy saat membantah An-Nawawiy (lihat Tuhfatul-Ahwadziy, 8/31).
Namun jika seseorang
tidak berdiri menimbulkan mafsadat/mudlarat bagi dirinya, maka tidak mengapa ia
berdiri pada waktu itu. Ibnu Hajar
berkata:
وفي الجملة متى
صار ترك القيام يشعر بالاستهانة أو يترتب عليه مفسدة امتنع، وإلى ذلك أشار ابن عبد
السلام.
“Kesimpulan, apabila
tidak berdiri terhadap seseorang disangka menghinakan atau akan menimbulkan
kerusakan lain, maka hendaklah ia lakukan. Demikianlah yang diisyaratkan oleh
Ibnu ‘Abdis-Salaam” (Fathul-Baariy, 11/54).
Hal yang sama ditegaskan
oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Mukhtashar
Fataawaa Al-Mishriyyah hal. 39.(2)
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya…..
Penyusun: Abul Jauzaa’ Doni Arif Wibowo
Footnote:
(1) Tanpa menyambutnya
dan berjabat tangan dengannya.
(2) Lihat juga Mausu’ah
Fiqhi Ibni Taimiyyah oleh Dr. Muhammad Ruwas Al-Qal’ajiy, hal. 1133.
Posting Komentar untuk "Menyambut Kedatangan Seseorang dengan Berdiri"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.