Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mempelajari Ilmu Laduni Nabi Khidir

  

Ilmu Laduni Nabi Khidir

Kata Ilmu Laduni, sangat akrab dikalangan tasawuf sufiyyah dan para pencari ilmu kedigjayaan. Ilmu ini terobsesi dengan ilmunya Nabi Khidir ‘alaihissallam, yang dianggap bisa menerka dan menebak apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Padahal kalau kita baca al Qur’an dan tafsirnya dari ulama ahlus sunnah, menunjukan bahwa Nabi Khidir bisa berbuat seperti itu karena perintah dan izin Allah Ta’ala.

Nabi Khidir diceritakan bahwa beliau melubangi perahu, membunuh anak kecil, dan membangun rumah yang mau roboh, sampai-sampai Nabi Musa ‘alaihis salam protes dan mempertanyakan perbuatannya. Cerita ini tertuang dalam Al Qur’an surat al Kahfi ayat 70 – 78.

Allah Ta'ala berfirman mengenai lanjutan kisah tersebut:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسٰكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَأَرَدْتُّ أَنْ أَعِيْبَهَاۗ وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَّأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا ٧٩

وَأَمَّا الْغُلٰمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَا أَنْ يُّرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَّكُفْرًا ۚ٨٠

فَأَرَدْنَا أَنْ يُّبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكٰوةً وَّأَقْرَبَ رُحْمًا ٨١

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًاۚ فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَّبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ أَمْرِيْۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًاۗ ؑ٨٢

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap bahtera (perahu). 

Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. 

Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). 

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; DAN BUKANLAH AKU MELAKUKANNYA ITU MENURUT KEMAUANKU SENDIRI. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". (QS. Al Kahfi: 79-82)

Maka sungguh sangat mengherankan ketika ada orang yang bersusah payah mencari dan mendapatkannya dengan berbagai macam cara, agar memiliki ilmu seperti Nabi Khidir ‘alaihis sallam.

Ilmu Laduni atau ilmu gaib ini, khusus hanya diberikan kepada Nabi Khidir. Tidak diberikan kepada manusia biasa seperti kita. Bahkan Nabi shalallahu’alaihi wasallam pun tidak mengetahui yang gaib, kecuali yang Allah kabarkan kepadanya.

Kalau seandainya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengetahui yang gaib, tentu Beliau bisa menghindari dari kemudaratan yang menimpanya.

Misalkan, Beliau akan menghindari pergi ke Thaif untuk mendakwahi karib kerabatnya, karena disana Beliau akan mendapatkan kemudharatan, dilempari batu sampai berdarah-darah. Begitu pula tidak akan ikut pergi perang Uhud, karena beliau akan kena tombak, sampai giginya tanggal. Begitu pula para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, semisal Hamzah radhiyallahu ‘anhu, pamannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau tidak akan pergi perang Uhud, karena akan kena tombak, dirobek perutnya dan dikunyah-kunyah hatinya. Begitu pula Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu yang ditikam, Ustman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang dibunuh ketika membaca al Qur’an, begitu pula Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu yang ditikam, tentu mereka semua akan menghindarinya kalau mereka tahu apa yang akan terjadi.

Manusia semulia Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak memiliki ilmu untuk mengetahui apa yang akan terjadi, apalagi orang di di zaman sekarang ini.

Allah Ta’ala berfirman tentang Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam yang tidak mengetahui yang gaib, kecuali yang Allah Ta’ala beritakan kepadanya.

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (الأعراف: 188).

Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. Al A’raf: 188)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ (الأنعام: 50).

Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepada-mu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)? (Al An’am: 50)

Hanya Allah lah yang mengetahui yang gaib, dan tidak ada seorang pun di permukaan bumi ini yang mengetahui yang gaib.

Allah Ta'ala berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ (النمل: 65)

Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS.An Naml: 65)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ. (الأنعام: 59).

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (QS. Al An’am: 59)

Dan Allah Taala berfirman:

"عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (سورة الحن: 26-27)

“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Berkata Al-Qurthubi rahimahullah:

قوله تعالى: عالم الغيب، عالم رفعا نعتا لقوله: ربي. وقيل: أي هو عالم الغيب والغيب ما غاب عن العباد. وقد تقدم بيانه في سورة (البقرة) فلا يظهر على غيبه أحدا إلا من ارتضى من رسول فإنه يظهره على ما يشاء من غيبه ; لأن الرسل مؤيدون بالمعجزات،

“Para ulama rahimahumullah berkata, ‘Ketika Allah Taala memuji dirinya yang mengetahui perkara gaib dan bahwa hal itu merupakan kekhususanNya yang tidak ada pada makhlukNya, maka hal ini menjadi dalil bahwa tidak ada satu pun yang mengetahui perkara gaib selain Dia. Kemudian Dia mengecualikan orang yang Dia ridai dari kalangan para rasul, lalu Dia berikan kepada mereka perkara gaibnya melalui wahyu kepada mereka dan menjadikannya sebagai mukjizat mereka dan petunjuk yang benar atas kenabian mereka.” (Tafsir Al-Qurtubi, 19/28)

“Ilmu gaib merupakan kekhususan Allah Taala, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya dari kalangan makhluk, baik dia jin atau lainnya, kecuali berdasarkan wahyu Allah yang diberikan kepadanya kepada siapa yang Dia kehendaki dari kalangan malaikat dan rasul-rasulNya.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/346)

Nabi Khidir sudah diwafatkan oleh Allah

Nabi Khidir telah wafat sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana tersebut dalam firmanNya Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ ۖ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ?”. [Al-Anbiya/21: 34]

Andaikan beliau masih hidup, tentu diwajibkan bagi beliau untuk mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti dakwah beliau, dan membantu dakwah beliau. Karena Allah telah mengambil janji dari para nabi sebelumnya, untuk beriman kepada Muhammad, membantu beliau, jika mereka berjumpa dengan zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:

وإذ أخذ الله ميثاق النَّبيين لما آتيتكم من كتابٍ وحكمةٍ ثُمَّ جاءكم رسولٌ مصدقٌ لما معكم لتؤمننَّ به ولتنصرنَّه قال أأقررتم وأخذتم على ذلكم إصري قالوا أقررنا قال فاشهدوا وأنا معكم من الشَّاهدين

(ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, akankah kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (QS. Ali Imran: 81)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan, bahwa andaikan Musa masih hidup, tentu beliau akan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ، مَا حَلَّ لَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

“Sesungguhnya, andaikan Musa masih hidup di tengah-tengah kalian, tidak halal bagi beliau selain harus mengikutiku.” (HR. Ahmad, 14631)

Bantahan untuk Orang yang menganggap Nabi Khidir Masih Hidup

Ibrahim Al-Harbi pernah bertanya kepada Imam Ahmad, apakah Nabi Khidir dan Nabi Ilyas masih hidup, keduanya masih ada dan melihat kita serta kita bisa mendapatkan riwayat dari mereka berdua. 

Kemudian Imam Ahmad menjawab:

من أحال على غائب لم ينصف منه، وما ألقى هذا إلا الشيطان

“Siapa yang menekuni masalah ghaib (klenik), dia tidak akan bisa bersikap proporsional dalam masalah ini. Tidak ada yang membisikkan berita ini kecuali setan.”

Imam Bukhari juga pernah ditanya, apakah Nabi Khidir dan Ilyas masih hidup? 

Beliau menjawab:

Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لا يبقى على رأس مائة سنة ممن هو على وجه الأرض أحد

“Tidak akan tersisa seorang-pun di muka bumi ini pada seratus tahun yang akan datang.” (Bukhari I/37, 141, 149. Muslim dengan Syarah Nawawi XVI/89, Abu Dawud IV/516, Tirmidzi IV/520)

Mudah-mudahan risalah ini bisa menyadarkan sebagian kita yang bersusah payah mencari dan mempelajari ilmu yang tidak mungkin didapatkan. Dan juga menyadarkan sebagian kita yang masih percaya kepada orang yang mengaku memiliki ilmu kasyaf, yang bisa menebak, menerka dan menerawang apa yang akan terjadi.

Oleh: Abu Fadhil Majalengka

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Al-Amanah

Posting Komentar untuk "Mempelajari Ilmu Laduni Nabi Khidir"