Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kekeliruan dan Kesalahfahaman bagi yang mengatakan bahwa Pembukuan Al Qur'an didalam Satu Mushaf Merupakan Bid'ah

 


1. Pembukuan Al Qur’an Dalam Satu Mushaf

Hal ini termasuk Maslahah Mursalah Dharuriyyah karena beberapa alasan;

pertama:

Ia merupakan sarana untuk menjaga keotentikan Al Qur’an dan bukan tujuan hakiki. Karenanya, sekarang Al Qur’an tidak sekedar berwujud mushaf, akan tetapi sudah direkam dalam, HP, kaset, CD, dan perangkat elektronik lainnya.

Kedua:

Walaupun sebab-sebabnya ada di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallamtapi ketika itu ada yang menghalangi para sahabat untuk membukukannya. Karena ketika itu Al Qur’an belum turun seluruhnya (bertahap), dan sering terjadi nasikh (penghapusan hukum atau lafazh ayat tertentu). Dan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallammasih ada pada waktu itu. Padahal alasan untuk membukukan sudah ada, dan sarana tulis-menulis pun ada.

Ketiga:

Dengan dibukukan dalam satu mushaf, penjagaan akan keotentikan Al Qur’an jadi lebih mudah.

Dan juga, penulisan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan sunnah-nya Khulafa’ur Rasyidin, jadi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah.

Di antara dalil lain adalah riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang shahih lighairihi (shahih karena dikuatkan dengan sanad yang lain).

Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah رضي الله عنه dia berkata:

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallammenasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Dalil dalam hadits ini adalah penggabungan antara sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallamdengan sunnah Khulafaur Rasyidin. Perhatikanlah bagaimana Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kalimat beliau ini sebagai wasiat terakhir untuk umat sesudah beliau. 

 

2. Pemberian Titik Dan Harakat Pada Huruf-Huruf Al Qur’an

Sebagaimana pendahulunya, hal ini bukanlah Bid’ah namun termasuk Maslahah Mursalah Dharuriyyah jika dilihat dari tiga sisi.

Pertama:

Ia merupakan cara/wasilah agar orang tak keliru membaca ayat, tapi bukan tujuan hakiki dan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya cara tersebut bisa ditambah/diperlengkap sesuai kebutuhan, seperti tanda-tanda waqaf, saktah, isymam, dan semisalnya.

Kedua:

Sebab-sebabnya belum ada di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallamkarena para sahabat semuanya fasih dalam berbahasa Arab, sehingga mereka tidak perlu memakai titik dan harakat dalam membaca Al Qur'an.Dan mereka bisa membedakan hurufnya contoh ب ت ث ج ح خ ع غ ص ض س ش ط ظ yang mana huruf huruf tersebut tidak ada titiknya sama sekali. Apalagi sebagian besar mereka masih mengandalkan kekuatan hafalan daripada tulis-menulis. Ketika banyak orang ‘ajam (non Arab) yang masuk Islam, otomatis mereka tidak mampu membaca huruf Arab gundul tanpa titik dan harakat tadi. Maka diberilah tanda-tanda tertentu sebagai pedoman untuk memudahkan dalam membaca Al Qur'an.

Ketiga:

Tujuannya jelas untuk mempermudah membaca Al Qur’an.

 

3. Membukukan Hadits-Hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Ini pun termasuk maslahah mursalah Dharuriyyah karena beberapa hal.

Pertama:

Ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallamdan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan.

Kedua:

Belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi fitnah antara Ali رضي الله عنه dan Mu’awiyah رضي الله عنه , para pendukung dari masing-masing golongan mulai berani memalsukan hadits atas nama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallamdengan tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut.

Ketiga:

Tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallamagar mudah dibaca dan diamalkan.

Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat Maslahah Mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga Agama ini.

Contoh lain dari maslahah mursalah yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan mikrofon dan karpet di masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang maupun dengan mobil, makan dengan sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan peringatan kematian seperti 7 hari, 25 hari, 40 hari 100 hari, dan yang lainnya.

 

4. Penggunaan Mikrofon Di Masjid-Masjid

Hal ini sama sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa?

Pertama:

Karena Mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin yang bersuara lantang dan nyaring. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Dan juga jika ia rusak azan tetap dikumandangkan walau tanpa Mikrofon. karena ia tak lebih dari sekedar alat.

Kedua:

Alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam.Jika sudah ada di zaman itu tidak menutup kemungkinan Bilal رضي الله عنه akan menggunakannya. karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i.

Ketiga:

Ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.

 

5. Berangkat Haji Dengan Pesawat Terbang, Kapal Laut, Maupun Dengan Mobil

Hal ini juga sering diidentikkan dengan bid’ah. Tentu tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat jum’at dengan naik mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya. Sama sekali tak terbetik dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia tumpangi memberikan nilai plus terhadap ibadahnya. Apa lagi kalau dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam belum ada sebab-sebab terwujudnya sarana tersebut. Dahulu kaum muslimin berangkat haji dengan mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal laut, maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang.

Entah kendaraan apa lagi yang akan digunakan oleh orang orang setelah kita yang jelas akan lebih canggih lagi, karena kemajuan teknologi.

Adapun cara makan, jika dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari keyakinan tertentu seperti menghindari jenis makanan tertentu yang dihalalkan dengan niat taqarrub kepada Allah سبحانه وتعالى , padahal tidak ada anjuran untuk itu maka ia termasuk Bid’ah. Namun jika tidak demikian maka tidak termasuk Bid’ah.Demikian pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai Bid’ah selama tidak menyerupai orang kafir, (Tasyabbuh) atau dilakukan cara tertentu yang tidak berdasar kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa hal tersebut dianjurkan dalam Islam.

(Abu Hikmatyar)

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Al-Amanah

Posting Komentar untuk "Kekeliruan dan Kesalahfahaman bagi yang mengatakan bahwa Pembukuan Al Qur'an didalam Satu Mushaf Merupakan Bid'ah"