Hadist Haramnya Isbal
Jumhur ulama mengatakan bahwa isbal jika tidak disertai dengan kesombongan, maka hukumnya tidak sampai pada derajat haram. Paling berat adalah makruh/tercela. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa isbal itu haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa kesombongan. Saya ingin mengajak teman-teman mencermati keseluruhan hadits (walau di sini nanti saya tidak menyebutkan keseluruhannya – namun hanya berkisar pada sebagian besarnya saja) yang berbicara mengenai sifat pakaian, khususnya dalam bahasan isbal. Di sini saya lebih condong pada pendapat yang mengatkan bahwa isbal haram secara mutlak. Berikut penjelasannya:
1. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
عن أبي هريرة
رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار
ففي النار
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda:
"Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah
di neraka" (HR. Al-Bukhari nomor 5450, Ahmad nomor 9936, Abdurrazzaq nomor
19987, dan yang lainnya).
Penyusun (artikel ini) berkata:
"Hadits ini bermakna umum, yaitu bahwa
segala sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi mata kaki adalah berdosa
dan tempatnya di nereka (akibat dosa tersebut). Di sini tidak ditunjukkan
pembatasan (taqyid) atas kesombongan. Objek yang dituju oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah pakaian. Bukan pelakunya secara
langsung".
2. Hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu:
عن أبي ذر عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم
ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار قال
أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف
الكاذب
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak
akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula
disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”. Abu Dzar berkata: “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr
bertanya: “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah?”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “(Mereka adalah) Musbil
(orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang
telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”
(HR. Muslim nomor 106, Abu Dawud nomor
4087, At-Tirmidzi nomor 1211, dan yang lainnya).
3. Hadits Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu
‘anhu:
عن هبيب الغفاري
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من وطئ على إزاره خيلاء وطئ في نار جهنم
Dari Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa
yang kainnya melebihi mata kaki karena sombong, ia akan menginjaknya di neraka
Jahannam” (HR. Ahmad nomor 15644, Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabiir nomor
2907, dan yang lainnya; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahihul-Jaami’ nomor 6592).
4. Hadits ‘Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhuma:
عن سالم بن عبد
الله عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإسبال في الإزار والقميص والعمامة
من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
Dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Isbal itu pada kain (sarung),
pakaian, dan imamah (surban). Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka
Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” (HR. Abu Dawud nomor 4049; Nasa’i
dalam Al-Mujtabaa nomor 5327,5328; dan Ibnu Majah nomor 3576; dengan sanad
shahih).
Penyusun (Artikel ini)
berkata:
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin berkata dalam As-ilah Mihimmah halaman 29-30:
‘“Sesungguhnya melabuhkan sarung dengan niat sombong hukumnya adalah Allah
tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak
akan mensucikannya, dan dia mendapatkan siksaan yang pedih. Adapun apabila
tidak diniatkan sombong, maka hukumnya adalah yang dibawah mata kaki akan
disiksa dengan neraka”. Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin) menyebutkan
hadits Abu Dzar. Kemudian beliau melanjutkan: “Hadits ini adalah hadits
muthlaq, akan tetapi dirinci dengn hadits Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhumaa,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
من جر ثوبه من
الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
Barangsiapa yang
melabuhkan/menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya di
hari kiamat” (HR. Al-Bukhari).
Kemutlakan hadits Abu
Dzar dirinci oleh hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Sekali lagi, jika
dia melakukan karena sombong, Allah tidak akan melihatnya, membersihkannya, dan
dia akan mendapat adzab yang pedih. Hukuman ini lebih berat daripada hukuman
orang yang menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki tanpa niat sombong. Disebutkan
dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ما أسفل من
الكعبين من الإزار ففي النار
"Apa saja yang
berada di bawah kedua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka”.
Beliau tidak membatasi
hal itu dengan kesombongan, dan sangat keliru apabila membatasinya dengan
kesombongan, berdasarkan hadits terdahulu. Hal ini ditegaskan lagi dengan
hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إزرة المؤمن إلى
نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو في
النار ومن جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه يوم القيامة
”Batas sarung seorang
mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan sampai kedua mata kaki, dan
yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Dan barangsiapa
melabuhkan/menyeret-nyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat” (HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan
lainnya).
Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam menyebutkan dua masalah dalam satu hadits, dan beliau menerangkan
perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan sanksi, sehingga kedua
masalah itu berbeda bentuk perbuatannya dan berbeda status hukum dan sanksinya.
Dan jika hukum dan sebab
berbeda, tidak boleh membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad, karena kaidah
membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad harus memenuhi syarat diantaranya
adalah persamaan nash muthlaq dan muqayyad dalam hukum. Adapun jika terdapat
perbedaan hukum, maka tidak boleh membatasi nash muthlaq dengan nash muqayyad. (selesai
nukilan saya dari penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah).
Penyusun (Artikel ini) berkata:
“Hadits Abu Dzarr
menjelaskan secara muthlaq bahwa semua Musbil akan mendapat sanksi yang berat
berupa Allah tidak mengajaknya bicara, tidakmelihat mereka, tidak mensucikan
mereka, dan diberikan siksa yang pedih. Ini adalah jenis adzab “ekstra”
daripada sekedar dimasukkan ke neraka. Namun, dalam hadits Ibnu ‘Umar
dijelaskan bahwa yang mendapat adzab seperti itu adalah orang yang melakukan
isbal secara sombong.
Adapun hadits Abu
Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan
bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah
bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung.
Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman: “Apa-apa yang
berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini
sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal.
5. Hadits Abu Sa’id
Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu
عن أبي سعيد
الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج
أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار من جر
إزاره بطرا لم ينظر الله إليه
Dari Abi Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu
ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya batas sarung seorang muslim adalah setengah betis dan tidak
mengapa atau tidak berdosa jika berada di antara setengah betis dan mata kaki. Apabila di bawah mata
kaki maka tempatnya di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya karena
sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya” (HR. Abu Dawud nomor 4093 dan
Ibnu Majah nomor 3573. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud juz 2 halaman 518).
Telah berkata Al-‘Adhim
‘Abadi ketika mensyarah hadits tersebut:
والحديث فيه
دلالة على أن المستحب أن يكون إزار المسلم إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما
تحته إلى الكعبين , وما كان أسفل من الكعبين فهو حرام وممنوع.
"Hadits ini
menunjukkan atas disukainya keadaan kain sarung seorang muslim sampai pada
pertengahan betisnya. Dan diperbolehkan tanpa dibenci sampai dengan dua mata
kaki. Dan apa-apa di bawah dua mata kaki, maka hal itu haram lagi terlarang” (Lihat
kitab ‘Aunul-Ma’bud, pada Kitaabul-Libaas, Bab Fii Qadri Maudli’i ‘Izaar).
Penyusun (Artikel ini) berkata:
“Hadits ini menyebutkan
dua permasalahan dan dua hukum sekaligus sebagaimana telah dikatakan oleh
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebelumnya. Yaitu: Larangan keumuman isbal dengan
konsekuensi “neraka”; dan larangan isbal dengan sombong dengan konsekuensi
hukum tidak akan dilihat Allah di hari kiamat”.
Hadits ini merupakan
penjelas dari keterangan sebelumnya dalam hadits Abu Hurairah, Abu Dzarr, Ibnu
‘Umar, dan Hubaib radliyallaahu ‘anhum. Tidak bisa dikatakan bahwa pelarangan
isbal itu hanya di-taqyid jika sombong saja. Jika ada seseorang yang memaksa
untuk mengatakan seperti itu, maka makna hadits ini jadi janggal. Lafadh
من جر إزاره
بطرا لم ينظر الله إليه
dalam hadits tersebut
seakan tidak berfungsi karena sudah ada taqyid kesombongan di kalimat
sebelumnya yaitu pada
ما كان أسفل من
الكعبين فهو في النار
Tentu saja perkataan ini tidak bisa diterima.
6. Hadits ‘Amr bin
Asy-Syariid radliyallaahu ‘anhu
أن النبي صلى
الله عليه وسلم تبع رجلا من ثقيف حتى هرول في أثره حتى أخذ ثوبه فقال ارفع إزارك
قال فكشف الرجل عن ركبتيه فقال يا رسول الله انى أحنف وتصطك ركبتاي فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم كل خلق الله عز وجل حسن قال ولم ير ذلك الرجل الا وإزاره إلى
أنصاف ساقيه حتى مات
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqif dengan berlari-lari kecil
hingga beliau memegang pakaian yang dikenakannya (karena isbal). Maka beliau
bersabda: “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata: Maka laki-laki tersebut
menyingkap kedua lutut seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku
bengkok dan saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu: cacat – Penyusun
(Artikel ini))”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap
ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata: Maka orang tersebut tidak pernah terlihat
sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia
meninggal dunia” (HR. Ahmad nomor 19490, Al-Humaidi nomor 810, dan Ath-Thahawi
Bab Bayan Musykilah Maa Ruwiya ‘an Rasuulillah shallallaahu ‘alaihi wasallam
fii Dzikril-Fakhidzi Hal Huwa Minal ‘Aurah?; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Ash-Shahiihah nomor 1441).
Penyusun (Artikel ini) berkata:
“Perintah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk meninggikan kain sarung orang tersebut di
atas sama sekali tidak menunjukkan adanya ‘illat kesombongan. Pengingkaran
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dilakukan semenjak beliau melihat orang
tersebut dari kejauhan. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan
kepada orang tersebut: “Apakah engkau melakukannya dengan sombong?”. Tapi
beliau memutlakkan perintahnya ketika behasil memegang kain yang dikenakannya
dengan perkataan: “Angkatlah kainmu !”. Alasan sakit dan cacat yang ada di dua
lututnya tidak menghalangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan tetap mengangkat kedua kainnya. Padahal kita tahu, bahwa alasan
sakit dan cacat pada kasus-kasus tertentu sebenarnya mendapat dispensasi dalam
syari’at untuk melakukan sesuatu yang pada asalnya adalah dilarang.
Tegasnya, hadits ini
mengingkari adanya pembolehan isbal dengan alasan tidak sombong.
7. Hadits Abu Juray Jabir bin Salim
radliyallaahu ‘anhu
عن أبي جري جابر
بن سليم قال رأيت رجلا يصدر الناس عن رأيه لا يقول شيئا إلا صدروا عنه قلت من هذا
قالوا هذا رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت عليك السلام يا رسول الله مرتين قال
لا تقل عليك السلام فإن عليك السلام تحية الميت قل السلام عليك قال قلت أنت رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال أنا رسول الله الذي إذا أصابك ضر فدعوته كشفه عنك وإن
أصابك عام سنة فدعوته أنبتها لك وإذا كنت بأرض قفراء أو فلاة فضلت راحلتك فدعوته
ردها عليك قلت اعهد إلي قال لا تسبن أحدا قال فما سببت بعده حرا ولا عبدا ولا
بعيرا ولا شاة قال ولا تحقرن شيئا من المعروف وأن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك
إن ذلك من المعروف وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال
الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة وإن امرؤ شتمك وعيرك بما يعلم
فيك فلا تعيره بما تعلم فيه فإنما وبال ذلك عليه
Dari Abu Juray Jaabir bin Salim radliyallaahu
‘anhu ia berkata: Aku melihat seorang laki-laki yang pemikirannya senantiasa
diterima oleh rakyat banyak dan tidak ada seorang pun yang mengomentari ucapannya.
Aku bertanya: “Siapa ini?”. Mereka menjawab: “Ini Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam”. Lalu aku katakan: “Alaikas-Salaam ya Rasulullah”. Sebanyak dua kali. Maka
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan kamu ucapkan ‘alaikas-salaam,
karena ucapan ‘alaikas-salaam itu adalah ucapan selamat terhadap orang yang
mati. Tapi ucapkanlah: Assalamu ‘alaika”. Aku bertanya: “Apakah engkau
Rasulullah?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Aku adalah
Rasulullah (utusan Allah). Apabila kamu tertimpa marabahaya lalu berdoa
kepada-Nya, maka marabahaya tersebut akan lenyap darimu. Apabila daerahmu
sedang dilanda kegersangan lalu kamu berdoa kepada-Nya, maka bumimu akan
kembali subur. Apabila kamu berada di sebuah padang tandus lalu kendaraanmu
hilang kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikan kendaraanmu
itu”. Aku katakan: “Berikan kepadaku sebuah wasiat”. Beliau bersabda:“Jangan
cela siapapun”. Maka ia (Juray bin Salim) berkata: “Maka mulai saat ini tidak
ada seorang pun yang aku cela, baik orang merdeka, budak, unta, maupun
kambing”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan engkau
sepelekan perbuatan baik walau sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan
wajah berseri-seri sebab hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat kain sarungmu
hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata
kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan
sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan. Apabila
ada seseorang yang mencela atau mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui dari
dirimu, maka jangan engkau balas mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui
dari dirinya. Sebab, bencana tersebut hanya akan menimpa dirinya sendiri” (HR.
Abu Dawud nomor 4084; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud juz 2 halaman 515-516).
Penyusun (Artikel ini) berkata:
“Mari kita perhatikan kalimat { وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال
الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة } “Angkat kain
sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata
kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan
sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan”.
Di sini Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut tiga keadaan kain sarung. Dua
diperbolehkan, dan satu dilarang. Dua diperbolehkan yaitu keadaan setengah
betis; dan keadaan dijulurkan sampai batas maksimal mata kaki. Ini adalah
penegasan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: irfa’ izaarak !!.
Kemudian dua keadaan yang diperbolehkan tersebut diikuti dengan satu keadaan
yang tidak diperbolehkan, yaitu melebihi batas kaki dengan kalimat larangan: wa
iyyaaka wa isbaala (Janganlah/jauhilah kamu dari melakukan isbal). Kalimat ini
adalah kalimat larangan muthlaq tanpa ada indikasi kebolehan jika tanpa
kesombongan.
Jikalau mau ditartibkan
keadaan kain dalam wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut
adalah:
¯ sampai pertengahan
betis (dianjurkan)
¯ dijulurkan sampai mata
kaki (diperbolehkan)
¯ melebihi mata kaki
(dilarang).
Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak memberikan tartib:
¯ sampai pertengahan
betis (dianjurkan).
¯ dijulurkan sampai mata
kaki (diperbolehkan).
¯ melebihi mata kaki jika
sombong (dilarang).
Kalaupun misal keadaan
isbal tanpa sombong itu diperbolehkan, tentu ia akan disebutkan secara gamblang
dalam hadits tersebut dan juga dalam hadits-hadits lain. Tapi ternyata tidak
bukan? Ini menunjukkan bahwa keadaan kain lebih dari mata kaki itu memang
keadaan kain yang tidak diperbolehkan/diharamkan. Bahkan,….. dalam hadits di
atas disebutkan bahwa isbal tersebut merupakan hakikat kesombongan, baik si pelakunya
berniat untuk sombong atau tidak sombong.
Saya kira, dalil ini
secara sharih menolak pendapat yang mengatakan isbal itu boleh asal tidak
sombong.
8. Hadits ‘Ubaid bin Khalid
أنه كان
بالمدينة يمشي فإذا رجل قال ارفع إزارك فإنه أبقى وأتقى فنظرت فإذا رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله إنما هي بردة ملحاء قال أما لك في أسوة فنظرت
فإذا إزاره على نصف الساق
Bahwasannya ia sedang berjalan di Madinah
(dengan keadaan pakaiannya yang terjulur sampai ke tanah) dan ketika itu ada
seseorang yang menegurku: “Angkatlah kainmu, karena hal itu lebih baik dan
lebih bertaqwa bagimu!”. Maku aku pun menoleh, dan ternyata orang tersebut
adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka aku berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja”. Maka beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah engkau tidak menganggapku
sebagai contoh?”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis” (HR.
Ahmad nomor 23136 dan Nasa’i dalam Al-Kubraa nomor 9683; serta dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Musktashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah nomor 97
halaman 69 – Maktabah Al-Islamiyyah ‘Amman).
Penyusun (Artikel ini) berkata:
“Dalam hadits ini
terdapat perintah untuk meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
dalam berpakaian. Beliau juga tidak menebak-nebak apakah ‘Ubaid bin Khalid
melakukannya secara sombong (sehingga menyebabkan beliau menegurnya). Hadits
ini juga sekaligus membantah sebagian hujjah orang yang mengatakan bahwa hukum
asal dari pakaian adalah boleh sehingga tidak mengapa isbal asal tidak sombong.
Lihatlah, alasan ‘Ubaid yang kemukakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam “mirip” dengan alasan yang disampaikan kebanyakan orang. Perkataan
‘Ubaid: { إنما هي بردة
ملحاء} “sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja” ; bukankah
bisa kita kiaskan dengan alasan: “Bukankah ia hanya perkara adat keduniawian
saja”? (yang membolehkan di dalamnya isbal asalkan tidak sombong) Ternyata,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menerima alasan tersebut dan
bahkan memerintahkan untuk mencontoh keadaan pakaian yang beliau kenakan.
9. Hadits Abu Bakar
(lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhuma
عن عبد الله بن
عمر رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء
لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد
ذلك منه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنك لست تصنع ذلك خيلاء
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma
ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya di hari kiamat”. Maka Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya salah satu sisi
pakaianku selalu turun kecuali jika aku terus menjaganya”. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang
melakukannya dengan kesombongan” (HR. Al-Bukhari nomor 3465 dan Muslim nomor
2085).
Penyusun (artikel ini)
berkata:
“Hadits ini sering
dijadikan dalil tentang diperbolehkannya isbal tanpa ada niat kesombongan. Hal
ini tertolak dari beberapa segi:
a. Abu Bakar memahami
bahwa hakikat isbal itu merupakan kesombongan yang diharamkan, baik dengan atau
tanpa niat sombong.
b. Abu Bakar selalu
menjaganya agar tidak melorot. Hal ini tercermin dari perkataannya: { إلا أن أتعاهد } “kecuali jika aku terus
menjaganya”. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Abu Bakar tidak berniat
isbal. Sebab melorotnya baju Abu Bakar kemungkinan besar adalah karena tubuhnya
yang ringan (kurus) – sebagaimana dikenal dalam beberapa riwayat.
Al-Hafidh Ibnu Hajar
berkata: { قوله الا أن
أتعاهد ذلك منه أي يسترخي إذا غفلت عنه } “Perkataan Abu Bakar: Kecuali jika aku terus menjaganya ;
maknanya adalah selalu melorot/turun apabila ia terlupa darinya” (Fathul-Baari
juz 10 halaman 276 – Maktabah Sahab).
c. Jawaban Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam { إنك لست تصنع ذلك خيلاء} “Sesungguhnya kamu bukan
termasuk yang melakukannya dengan kesombongan” ; bukanlah sebagai pengakuan
bahwa isbal tanpa sombong itu boleh. Jawaban tersebut sebagai satu jawaban yang
menenangkan hati tentang kekhawatiran Abu Bakar bahwa ia termasuk katagori
orang yang sombong (sebagaimana Abu Juray di Nomor 7 tentang makhiilah).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa Abu Bakar sering
menjaganya, namun akhirnya sering melorot.
d. Perbedaan antara
keadaan Abu Bakar dan sebagian di antara mereka yang membolehkan isbal dengan
niat tidak sombong adalah sangat jelas. Setidaknya ada dua:
- Abu Bakar selalu
menjaga pakaiannya agar tidak melorot (isbal), sementara mereka melakukan isbal
dengan sengaja dan menjadi satu kebiasaan.
- Yang menegaskan bahwa
Abu Bakar bukanlah termasuk orang yang sombong dalam berpakaian adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; sedangkan mereka tidak.
Hadits tersebut dibawakan
juga oleh Al-Imam Ahmad dengan salah satu lafadhnya sebagai berikut:
عن زيد بن أسلم
سمعت بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من جر إزاره من الخيلاء
لم ينظر الله عز وجل إليه قال زيد وكان بن عمر يحدث ان النبي صلى الله عليه وسلم
رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا فقال من هذا فقلت انا عبد الله فقال ان كنت عبد
الله فارفع إزارك قال فرفعته قال زد قال فرفعته حتى بلغ نصف الساق قال ثم التفت
إلى أبي بكر فقال من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو
بكر انه يسترخي إزاري أحيانا فقال النبي صلى الله عليه وسلم لست منهم
Dari Zaid bin Aslam: Aku mendengar Ibnu ‘Umar
berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata:
“Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka
Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Berkata Zaid: Adalah Ibnu ‘Umar
mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat kain sarung yang
dikenakannya yang berbunyi karena terseret. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Siapakah ini”. Aku berkata: “Aku adalah Abdullah bin
‘Umar”. Beliau berkata: “Apabila engkau adalah Abdullah bin ‘Umar, angkatlah kain
sarungmu”. Maka ia pun mengangkat kain sarungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam menambahkan: “Tambah lagi”. Maka Abdullah bin ‘Umar mengangkat lagi
hingga sampai pertengahan betisnya. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar
kemudian bersabda: “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya
dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Maka Abu
Bakar berkata: “Bahwasannya kain sarungku sering turun/melorot”. Maka beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Sesungguhnya kamu bukan
termasuk mereka (orang-orang yang sombong)” (HR. Ahmad juz 2 nomor 6340).
Penyusun (artikel ini)
berkata:
“Dalam hadits tersebut
ada dua perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada dua orang
shahabat yang mulia yang sama-sama terkenal ittiba’-nya. Pada kesempatan
pertama beliau menegur Ibnu ‘Umar agar menaikkan pakaian yang dikenakannya. Dan
pada kesempatan kedua, beliau menegur Abu Bakar. Perbedaannya, dalam kasus Abu
Bakar, beliau menyatakan bahwa Abu Bakar bukan termasuk orang-orang yang
sombong. Kalau perkataan beliau kepada Abu Bakar kita anggap sebagai dalil
bolehnya isbal tanpa sombong, maka apakah di saat yang bersamaan akan kita
katakan bahwa Ibnu ‘Umar termasuk orang yang sombong sehingga beliau tetap
menyuruh untuk mengangkat pakaian yang dikenakannya? Tentu tidak. Hukum yang
berlaku pada Ibnu ‘Umar sama dengan yang berlaku pada Abu Bakar. Hanya saja Abu
Bakar telah menyatakan di riwayat sebelumnya bahwa pakaian tersebut turun jika
ia tidak menjaganya. Dan ia memang tidak sengaja melakukannya.
Dalam riwayat lain dari
Ibnu ‘Umar dari Al-Imam Muslim menunjukkan pelarangan adanya isbal secara
mutlak (dengan lafadh: istirkhaa’). Berikut
riwayat tersebut:
عن بن عمر قال
مررت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي إزاري استرخاء فقال يا عبد الله ارفع
إزارك فرفعته ثم قال زد فزدت فما زلت أتحراها بعد فقال بعض القوم إلى أين فقال
أنصاف الساقين
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia
berkata: “Aku melewati Rasulullah shallallaah ‘alaihi wasallam sedangkan kain
sarungku turun (istirkhaa’)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Wahai Abdullah, angkatlah kain sarungmu”. Maka akupun
mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda lagi: “Tambah !” Maka aku
menambahkannya. Maka semenjak saat itu aku selalu menjaganya. Maka sebagian
manusia bertanya kepada Ibnu ‘Umar: “Sampai batas mana kain sarung tersebut
diangkat?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab: “Sampai batas pertengahan kedua betis” (HR.
Muslim nomor 2086).
Kata istirkhaa’ di sini
menunjukkan ketidaksengajaan. Jikalau ketidaksengajaan saja beliau tetap
memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk mengangkatnya, lantas bagaimana halnya dengan
yang disegaja? (walau dengan alasan tidak sombong). Terkait dengan kasus Abu
Bakar, maka tidak ada ruang penafsiran untuk membawa ucapan Rasulullah
shalallaahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar sebagai dalil pembolehan isbal
dengan tidak sombong. Wallaahu a’lam.
Al-Hafidh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
قوله لست ممن
يصنعه خيلاء في رواية زيد بن أسلم لست منهم وفيه أنه لا حرج على من انجر إزاره
بغير قصده مطلقا
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam:
’Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan’ dan
pada riwayat Zaid bin Aslam ’Sesungguhnya engkau bukan termasuk mereka’ ; sabda
beliau tersebut menunjukkan bahwa orang yang pakaiannya melorot (sehingga
isbal) dengan tanpa sengaja adalah tidak mengapa” (Fathul-Baari juz 10 halaman
276).
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata:
“Maksud ucapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam (kepada Abu Bakar) adalah
bahwa orang yang menjaga pakaiannya apabila melorot lalu menaikkannya, dia
tidak termasuk orang yang melabuhkannya dengan sombong, karena dia tidak
melakukan hal itu dengan sengaja. Tetapi hanyalah sarung itu terkadang melorot lalu ia
naikkan. Tidak diragukan lagi bahwa ini dimaafkan….” (Al-Isbal li-Ghairi
Khuyalaa’ halaman 23).
Hal yang sama dikatakan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah dan
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fataawaa Haammah.
10. Hadits Ummu Salamah
(lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhum.
حديث ابن عمر ـ
رضي الله عنه ـ قال: قال رسول الله : (( مَنْ جرّ ثوْبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه
يوم القيامة )).
فقالت أم سلمة:
فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال: يرخين شبراً. فقالت: إذن تنكشف أقدامهن ! قال:
فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه.
وفي رواية: ((
رخص رسول الله لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن
إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata:
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang
memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari
kiamat”. Ummu Salamah berkata: “Bagaimana dengan pakaian yang dikenakan para wanita
di bagian belakang/bawahnya?”. Beliau menjawab: “Hendaknya ia memanjangkannya
sejengkal”. Ummu Salamah menimpali: “Jika begitu, kaki mereka masih
tersingkap/terlihat”. Maka beliau menjawab: “Maka hendaknya mereka menambah
sehasta dan tidak boleh lebih dari itu”.
Dalam riwayat yang lain
disebutkan: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah
(keringanan) bagi Ummahatul-Mukminin (untuk memanjangkan pakaian mereka) satu
jengkal. Kemudian mereka meminta agar ditambah lagi. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam menambah satu jengkal lagi. Kami pun mengukurnya bagi kami
yaitu sepanjang satu dzira’ (sehasta)” (HR. Al-Bukhari Kitaabul-Libas Bab Man
Jarra Tsaubuhu Minal-Khuyalaa 10/285 nomor 5791 di bagian awal hadits khususnya
bagian pertanyaan Ummu Salamah. Diriwayatkan juga secara sempurna oleh
At-Tirmidzi Abwaabul-Libaas: Bab Maa Jaa-a fii Jarri Dzuyuulin-Nisaa’ 4/223
nomor 1731 dan ia berkata: Hadits ini hasan shahih. Selengkapnya, lihat catatan
kaki. ---- Hadits beserta takhrijnya diambil dari Al-Qaulul-Mubiin fii
Akhthaail-Mushalliin oleh Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman, Maktabah
Al-Misykah halaman 14).
Hadits ini terdapat dalil
tentang diharamkannya isbal baik dengan atau tanpa sombong. Asy-Syaikh Masyhur menjelaskan sebagai berikut:
أنّه لو كان
كذلك لما كان في استفسار أم سلمة عن حكم النّساء في جرّ ذيولهنّ معنى ، بل فهمت
الزّجر عن الإسبال مطلقاً ، سواء كان عن مخيلة أم لا ، فسألت عن حكم النساء في ذلك
لاحتياجهنّ إلى الإسبال من أجل ستر العورة ، لأن جميع قدمها عورة ، فبيّن لها: أن
حكمهنّ في ذلك خارج عن حكم الرّجال في هذا المعنى فقط.
وقد نقل عياض
الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره
أم سلمة على فهمها.
والحاصل: أن
للرجل حالين:
حال استحباب:
وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق.
حال جواز: وهو إلى
الكعبين.
وكذلك للنّساء
حالان:
حال استحباب:
وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر.
حال جواز: بقدر
الذّراع.
وعلى هذا جرى
العمل من في عهد وما بعده.
“Bahwasannya apabila benar klaim mereka bahwa
larangan isbal itu adalah karena sombong, pasti Ummu Salamah tidak akan meminta
keterangan lagi tentang hukum para wanita yang memanjangkan bagian bawah
pakaian mereka. Bahkan, yang dipahami oleh Ummu Salamah adalah bahwa isbal itu
terlarang secara mutlak, baik karena sombong ataupun bukan karena sombong. Maka
ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang hukum
wanita yang melakukan isbal untuk menutup aurat mereka. Hal itu dikarenakan
seluruh bagian kaki adalah aurat. Oleh karena itu, beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam memberikan keterangan bahwa hukum isbal bagi wanita keluar (maksudnya:
berbeda) dari hukum isbal bagi laki-laki.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya
larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita.
Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau
atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Kesimpulannya, ada dua keadaan pakaian yang
diperbolehkan bagi laki-laki:
a. Keadaan yang disukai
(disunnahkan), yaitu memendekkan kain sarung sampai pertengahan betis.
b. Keadaan yang
diperbolehkan, yaitu keadaan panjang kain sarung hingga mata kaki (dan tidak
boleh lebih).
Begitu pula bagi wanita
ada dua keadaan:
a. Keadaan yang disukai
(disunnahkan), yaitu memanjangkan sejengkal dari batas yang diperbolehkan bagi
laki-laki (maksudnya: dipanjangkan sejengkal di bawah mata kaki).
b. Keadaan yang
diperbolehkan, yaitu memanjangkan satu hasta (satu dzira’) (Fathul-Baari 10/259)
Atas dasar inilah
dipraktekkan oleh orang-orang di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
atau setelahnya. (selesai perkataan Syaikh Masyhur – lihat selengkapnya di
Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin halaman 15 – Maktabah Al-Misykah).
11. Hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu
عن حذيفة قال
أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن
أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
Dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memegang urat betisku”. Maka beliau bersabda:
“Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di
bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk
melebihi mata kaki” (HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata: Ini adalah
hadits hasan shahih. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi juz 2
halaman 290).
Jika Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam menisbatkan panjang sarung dari pertengahan betis
sampai kedua mata kaki sebagai sesuatu yang Haq, dan selain daripada itu laisa
minal- haqq (ini redaksi saya – Penyusun (Artikel ini), sedangkan redaksi
hadits: Falaa Haqq). Maka hal itu dapat kita pahami bahwa memanjangkan kain di
bawah mata kaki adalah bathil. Sebab dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa
tidak ada setelah al-haqq itu melainkan kebathilan.
Hadits ini juga merupakan
pengharaman mutlak isbal, baik sombong maupun tidak sombong. Di situ tidak ada
qarinah apa-apa yang menunjukkan pelarangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam berkaitan dengan kesombongan.
12. Hadits
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم نعم الرجل خريم الأسدي لولا طول جمته وإسبال إزاره
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam: “Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim Al-Asady jika saja dia tidak
panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya” (HR. Ahmad nomor 17659; hasan
lighairihi).
Pendalilan dari hadits ini bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam menghukumi Khuraim dari dhahirnya saja yaitu pada
masalah rambut dan isbal. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan
(لولا طول جمته وإسبال إزاره خيلاء) “jika saja dia tidak
panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya dengan sombong”. Sebab, jika yang
dimaksud kesombongan di sini adalah kesombongan bathin, tentu adalah tidak
mungkin beliau mengatakannya. Kesombongan jenis itu tidakmungkin dihukumi dari sekedar
melihat rambut dan pakaian saja.
Kesimpulannya, hadits ini
menunjukkan tercelanya isbal secara umum, baik dengan atau tanpa kesombongan.
13. Atsar Anas bin Malik
radliyallaahu ‘anhu:
الازار إلى نصف
الساق أو إلى الكعبين، لا خير فيما هو أسفل من ذلك
“Panjang kain sarung itu
sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap
apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)” (Al-Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah juz 6 halaman 29; dengan sanad shahih).
Penyusun (Artikel ini) berkata:
“Dalam atsar tersebut
terdapat dua kalimat, yaitu:
a. Panjang kain sarung
itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki.
b. Tidak ada kebaikan
terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”
Kalimat pertama
menunjukkan tentang batas dibolehkannya dalam pakaian. Kalimat kedua
menunjukkan sisi hukum yang menyertai.
Di sini tidak ada qarinah
bahwa kalimat { لا خير} “tidak ada
kebaikan” dibatasi oleh alasan sombong. Bahkan itu umum, dengan dan tanpa
sombong. Dan adalah menjadi aneh jika hadits tersebut dimaknakan dengan
kesombongan, sehingga lafadh hadits tersebut ekuivalen dengan kalimat:
“Panjang kain sarung itu
sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap
apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki) yaitu jika disertai
kesombongan”.
Jika memang makna di atas
yang ingin dibawa, tentu kalimat pertama dalam hadits menjadi tidak berfungsi.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan dua keadaan ‘izar
(kain sarung) yang tidak ada ketiganya, yaitu: 1) Sampai pertengahan betis, 2)
Di bawah pertengahan betis sampai mata kaki. Di sinilah letak kebaikan. Di luar
keadaan ini, maka tidak ada nisbah kebaikan. Jika ada orang yang menginginkan
bahwa tidak apa-apa hukumnya melabuhkan pakaian di bawah mata kaki, maka dimana
letak kebaikannya di sini? Al-Jawab: "Tidak ada !". Tidak ada hukum
yang bisa dibawa kepada keadaan ketiga (melabuhkan pakaian di bawah mata
kaki/isbal dengan tidak sombong), kecuali dosa. Karena hal itu diluar dua
keadaan diperbolehkannya panjang ‘izar (kain sarung).
Wallaahu a'lam.
Oleh: Abul Jauzaa' Doni Arif Wibowo
(ini merupakan tulisan
saya beberapa waktu lampau, dengan referensi dari Maktabah Sahab dan yang
semisal, sehingga mungkin ada perbedaan dalam hal penomoran hadits dan halaman
pada referensi-referensi standar)
Posting Komentar untuk "Hadist Haramnya Isbal"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.