Qawaid Qur'aniyah Kaidah Ke 8 - Seseorang tidak Tidak Akan Memikul Dosa Orang lain Selama Tidak Menjadi Penyebab Orang Itu Melakukan Dosa
“Seseorang tidak Tidak Akan Memikul Dosa Orang lain Selama Tidak Menjadi Penyebab Orang Itu Melakukan Dosa”
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزۡرَ اُخۡرٰى
“Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain.” (QS. Az Zumar: 7)
Ayat ini merupakan kaidah Al Quran yang sangat agung dalam membangun pondasi yang paling mulia yaitu pondasi keadilan. Kaidah ini seringkali dijadikan dalil oleh para ulama dan Ahli hikmah, karena ayat ini membawa pengaruh yang besar pada pembahasan keadilan dan objektivitas.
Seseorang yang sudah memikul beban syariat akan mendapatkan balasan dan imbalan berdasarkan amalan-amalan mereka. Jika mereka berbuat baik, maka akan mendapatkan buah kebaikannya. Jika mereka berbuat buruk maka mereka akan mendapatkan buah keburukannya. Seseorang tidak memikul kesalahan dan dosa orang lain selama ia tidak menjadi penyebab orang itu melakukan dosa. Ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan keadilan dan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala.
Bunyi kaidah yang senada dengan ayat di atas terulang sebanyak 5 kali dalam Al Qur’an dan tentunya setiap penyebutan memiliki makna, tujuan, dan kandungan yang mendalam tersendiri.
Makna kaidah ini tidak dikhususkan hanya untuk umat Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa sallam saja, namun kaidah ini bersifat menyeluruh untuk semua umat dan syariat. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أَفَرَأَيْتَ الَّذِي تَوَلَّى (33) وَأَعْطَى قَلِيلًا وَأَكْدَى (34) أَعِنْدَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى (35) أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى (36) وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (37) أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (40) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى (41)
“Maka tidakkah engkau melihat orang yang berpaling (dari Al-Qur'an)? dan dia memberikan sedikit (dari apa yang dijanjikan) lalu menahan sisanya. Apakah dia mempunyai ilmu tentang yang gaib sehingga dia dapat melihat(nya)? Ataukah belum diberitakan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (Kitab Suci yang diturunkan kepada) Musa? Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. An Najm: 33-41)
Makna kaidah ini (Seseorang tidak Tidak Akan Memikul Dosa Orang lain Selama Tidak Menjadi Penyebab Orang Itu Melakukan Dosa) juga tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang lain seperti dalam firman-Nya:
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ
“Dan mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa yang lain bersama dosa mereka, dan pada hari Kiamat mereka pasti akan ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan.” (QS. Al ‘Ankabut: 13)
Dan juga tidak bertentangan dengan firman Allah:
لِيَحۡمِلُوۡۤا اَوۡزَارَهُمۡ كَامِلَةً يَّوۡمَ الۡقِيٰمَةِۙ وَمِنۡ اَوۡزَارِ الَّذِيۡنَ يُضِلُّوۡنَهُمۡ بِغَيۡرِ عِلۡمٍؕ اَلَا سَآءَ مَا يَزِرُوۡنَ
“(ucapan mereka) menyebabkan mereka pada hari Kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya (dosa) yang mereka pikul itu.” (QS. An Nahl: 25)
Mengapa tidak bertentangan, karena konteks ayat diatas menunjukkan bahwa manusia akan memikul dosa yang dilakukannya sendiri dan dosa orang-orang yang disesatkannya baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Begitu pula sebaliknya, Allah ta’ala juga akan membalas kebaikan karena amal mereka sendiri dan orang-orang yang mendapat petunjuk karena sebab mereka, dimana mereka mengambil manfaat dan ilmu darinya. Ini menunjukkan keadilan dan kebijaksanaannya Allah subhanahu wa ta’ala. Benarlah kaidah ini bahwa Seseorang tidak memikul kesalahan dan dosa orang lain selama ia tidak menjadi penyebab orang itu melakukan dosa.
Diantara contoh dari penerapan kaidah ini yaitu:
1. Kisah Nabi Yusuf Alaihissalam Dengan Saudara-saudaranya
Ketika Nabi Yusuf memasukkan piala (tempat minum) kedalam sarung saudaranya. Maka saudara-saudara Yusuf berkata sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya:
قَالُوا يَاأَيُّهَا الْعَزِيزُ إِنَّ لَهُ أَبًا شَيْخًا كَبِيرًا فَخُذْ أَحَدَنَا مَكَانَهُ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (78) قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ نَأْخُذَ إِلَّا مَنْ وَجَدْنَا مَتَاعَنَا عِنْدَهُ إِنَّا إِذًا لَظَالِمُونَ (79)
“Mereka berkata, "Wahai Al-Aziz! Dia mempunyai ayah yang sudah lanjut usia, karena itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat engkau termasuk orang-orang yang berbuat baik. Dia (Yusuf) berkata, "Aku memohon perlindungan kepada Allah dari menahan (seseorang), kecuali orang yang kami temukan harta kami padanya, jika kami (berbuat) demikian, berarti kami orang yang zhalim." (QS. Yusuf: 78-79)
Nabi Yusuf tidak mau menjadikan orang yang tidak ditemui bukti pada dirinya sebagai gantinya.
2. Kisah Fir’aun
Firaun tidak menerapkan kaidah ini dan memang kisahnya kami hadirkan adalah sebagai contoh dari seorang pembangkang dari kaidah ini terlebih lagi membangkang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kisah ini bermula ketika firaun mendengar para penyihirnya berkata, “kelak akan dilahirkan seorang anak dari bani Israel dan kerajaanmu akan berakhir di tangannya”. Kemudian setelah mendengar hal ini, firaun justru membunuh semua anak laki-laki yang lahir dari kalangan bani Israel. Jumlah yang dibunuh bahkan sampai ribuan anak. Yang dikhawatirkan oleh firaun hanya satu anak, namun justru semua anak yang ia bunuh. Padahal anak-anak yang ia bunuh seharusnya tidak menanggung hal tersebut.
Dalam realitanya, ada orang yang mengikuti jejak langkah Nabi Yusuf. Anda melihatnya tidak menghukum kecuali orang yang bersalah, atau menjadi penyebab terjadinya kesalahan. Dia tidak memperluas area kecaman sampai pada orang yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan, baik dengan alasan kekerabatan, persahabatan, dan pertemanan selama tidak terbukti hal sebaliknya. Namun di sisi lain ada orang yang melibatkan orang-orang baik dan orang-orang yang tidak bersalah ke dalam dosa pelaku kejahatan.
Ada sebagian pihak yang salah memahami kaidah Al Qur’an ini. Mereka mengklaim bahwa kaidah ini menyalahi apa yang di pandang oleh agama, bahwa hukuman Allah yang merata menimpa semua masyarakat atau negeri ketika kemunkaran, maksiat, dan kejahatan merajalela bertentangan dengan kaidah quran diatas.
Bantahan: Padahal hukuman Allah terjadi secara merata itu juga ada sebabnya, yaitu ketika kezhaliman merajalela dan tidak ada yang mengingkarinya. Maka hal ini tidak bertentangan dengan kaidah quraniyah di atas.
Wallahu a’lam, Semoga bermanfaat, baarokallahu fiikum…
(Ringkasan dengan beberapa penambahan dari kitab Qawaidu Qur’aniyyah. 50 Qaidah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat. Syekh DR. Umar bin Abdullah al Muqbil)
Ahmadi As-Sambasy
Cilacap, 11 September 2021
Posting Komentar untuk "Qawaid Qur'aniyah Kaidah Ke 8 - Seseorang tidak Tidak Akan Memikul Dosa Orang lain Selama Tidak Menjadi Penyebab Orang Itu Melakukan Dosa"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.