Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Qawaid Qur'aniyah Kaidah ke 3 - Jangan Melupakan Kebaikan Orang Lain

Jangan Melupakan Kebaikan Orang Lain


Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَ لَا تَنۡسَوُا الۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ

Artinya: “Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah 237)

 

Kaidah ini adalah kaidah Akhlak dan perilaku yang menunjukkan kebesaran dan kokohnya dasar-dasar islam yang dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidup.

Kaidah ini pada awalnya berbicara pada konteks perceraian antara pasangan suami istri. Dimana Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada pasangan suami istri yang telah mengikat tali hubungan kemanusiaan yang paling sakral dan suci yaitu pernikahan. Namun tidak sedikit pasangan suami istri yang tidak dapat menahan terpaan badai yang menghantam mahligai rumah tangga. Sehingga mengenai hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan solusi yang terbaik, yaitu jalur percerain. Namun setiap kita harus mengetahui bahwa perceraian adalah perkara yang di benci atau tidak di sukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dalam sebuah hadist:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perbuatan halal yang dibenci oleh Allah Ta’ala adalah talak (cerai).” (HR. Abu Daud, no. 2178; Ibnu Majah, no. 2018. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa cerai tidak disukai oleh Allah karena mafsadat dan bahayanya yang begitu banyak pada suami-istri dan anak-anak. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa talak (cerai) itu dijauhi sebisa mungkin dan tidak boleh untuk bermudah-mudahan dalam perkara perceraian.

Namun apabila kedua belah pihak sudah tidak dapat disatukan kembali dan memang harus memilih jalan perceraian, maka hendaknya keduanya tidak saling melupakan kebaikan antara satu dengan yang lainnya di saat dahulu masih dalam ikatan pernikahan serta untuk saling memaafkan.

Memang perkara lupa adalah suatu perkara yang wajar dan lumrah, karena memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Sehingga oleh karena itu kaidah ini kami hadirkan untuk mengingatkan manusia agar jangan menjadi pribadi yang mudah lupa, kurang perhatian bahkan abai sama sekali. Sehingga pada akhir ayat diatas yaitu:

اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah 237)

Akhir ayat inilah yang merupakan pendorong dan motivasi agar kedua belah pihak tidak melupakan keutmaan dan kebaikan pasangannya meskipun sudah tidak dalam ikatan pernikahan, serta menerangkan bahwa pemaafan adalah jalan yang tepat untuk menuju ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Semua itu tidak akan lepas dari penglihatan dan pengawasan-Nya dan Dia Maha Kuasa untuk memberi balasan atas kebaikan yang ditunaikan.

 

Syekh Dr. Umar bin Abdullah Al Muqbil dalam tulisannya beliau menyebutkan kisah yang pernah terjadi pada salah satu teman dekatnya. Kisah seperti ini jarang sekali terjadi. Beliau mengisahkan:

“Teman dekat itu menceraikan istrinya. Saat bercerai, keduanya telah dikaruniai beberapa anak. Cara yang ditempuh adalah menempatkan istrinya yang dicerai itu di lantai paling atas bersama anak-anaknya, Sementara ia sendiri tinggal dilantai dasar. Setelah proses perceraian terjadi, ia tetap selalu membayar tagihan rekening listrik, juga tagihan telepon mereka. Hal itu dilakukan sebagai bentuk kebaikan yang ia bisa lakukan atas istri yang diceraikannya. Dan menariknya lagi, para tetangga yang tinggal disekitar mereka, tidak pernah mengetahui bahwa ia telah bercerai dengan istrinya.”

Tentu ini adalah salah satu contoh konkrit yang menjelaskan pada diri manusia itu sendiri bahwa sebenarnya memiliki banyak stok kebaikan.

Kemudian Syekh Dr. Umar bin Abdullah Al Muqbil juga menceritakan kisah yang pernah disampaikan oleh Syaikh Ali At Tanthawi terkait seputar masalah pertikaian yang acapkali terjadi pada sebuah mahligai rumah tangga. Beliau mengisahkan:

“Suatu hari, Sepasang suami istri bertengkar dalam kurun waktu yang cukup lama. Perselisihan itu semakin parah dan menemui jalan buntu hingga akhirnya keduanya mengadukan permasalahan rumah tangganya kepadaku (Syaikh Ali At Tanthawi). Keduanya saling mengemukakan alibi yang menguatkan tindakannya, saling mengklaim bahwa pasangannyalah yang berperangai buruk dan selalu meminta hak-haknya harus dipenuhi. Lalu, sambil memeluk anak-anaknya, pihak perempuan mendesak dan menggesa agar ia diceraikan oleh suaminya.”

Setelah itu Syaikh Ali At Tanthawi mempelajari dan merenungi masalah ini dengan detail, kemudian berkesimpulan bahwa dengan kondisi yang begini keduanya tidak mungkin kembali bersatu dan berdamai. Pada awalnya beliau mengusulkan sebuah usulan Islah (untuk menyatukan). Namun kedua belah pihak menolak. Sehingga pihak suami pun mengambil keputusan menjatuhkan talak pada istrinya.

Kemudian setelah itu beliau pun terdorong untuk mengingatkan kepada keduanya akan hak dan kebutuhan untuk mencintai, disayangi serta tanggung jawab besar kepada buah hatinya, kemudian beliau pun membacakan dihadapan keduanya firman Allah ta’ala: “Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Pada Saat itu tiba-tiba sang suami berubah pikiran dan berkata, “jika masalahnya adalah cinta, kasih sayang dan anak-anak, maka aku tidak jadi menceraikannya dan aku akan selalu memberi nafkah kepada keluargaku (anak-anaknya) selama mereka bersama ibunya. Demikian juga dengan sang istri mengatakan hal yang sama, menarik lagi ucapannya untuk bercerai dengan suaminya.

Diketahui bahwa salah satu penyebab keduanya ingin berpisah, karena setiap kali mereka bertengkar, sang istri selalu kembali kerumah ibunya sehingga suaminya melarang untuk mengambil baju lain selain yang dikenakan saat bertengkar.

Walhamdulillah, setelah itu keadaannya pun berubah, sang suami berkata kepada istrinya, “ini kunci rumah untukmu, ambillah isinya sesukamu dan abaikan apa yang kamu tidak suka”. (Shina’ At Tarikh Khilal Tsalatsah Qurun, Syeikh Abdul Aziz Al Uwaid, hlm. 90)

 

Kaidah inipun sebenarnya telah di contohkan oleh suri tauladan kita yakni Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam meskipun yang telah berbuat kebaikan adalah orang kafir. Bermula pada sebuah peristiwa ketika Rasulullah meninggalkan Thaif, setelah sebulan lamanya beliau menetap di kota itu untuk mengajak penduduknya memeluk Islam. Namun, selama tinggal di Thaif, Beliau tidak mendapatkan respon positif, yang beliau dapat justru malah ejekan dan penghinaan. Beliau pun memutuskan untuk kembali ke Mekkah dan meminta perlindungan di rumah Muth’im bin Adi. Muth’im memerintahkan keempat putranya memanggul senjata dan masing-masing berdiri disetiap sudut Ka’bah dan pergi bersama Rasulullah ke Ka’bah. Orang-orang Quraisy berkata kepada Muth’im, “Kamu seorang laki-laki pemberani dan kami tidak akan mengganggu orang yang sedang berada dalam lindunganmu”.

Atas Taqdir Allah, Muth’im meninggal dalam keadaan musyrik. Akan tetapi Rasulullah tidak pernah melupakan jasa dan kebaikan Muth’im. Oleh karena itu ketika perang Badr telah usai, beliau berkata:

لو كانَ المُطْعِمُ بنُ عَدِيٍّ حَيًّا، ثُمَّ كَلَّمَنِي في هَؤُلَاءِ النَّتْنَى؛ لَتَرَكْتُهُمْ له

“Seandainya Muth’im bin Adi masih hidup, kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti akan kubebaskan mereka untuknya.” (HR. Al Bukhari no. 3139)

Hal tersebut Rasullah akan lakukan sebagai bentuk balas jasa dan kebaikan yang pernah dilakukan oleh Muth’im saat ia bersedia melindungi Rasulullah dari gangguan orang-orang musyrik ketika di mekkah.

 

Saudaraku yang semoga di rahmati Allah subhanahu wa ta’ala, mari kita terapkan kaidah ini dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama kepada kelurga, tetangga, sahabat maupun karib kerabat, maka jangan kita lupakan kebaikan mereka dengan harapan agar cinta senantiasa hadir dan langgeng, agar hak-hak manusia tetap terjaga, saling menyayangi terajut dalam satu benang persaudaraan yang kokoh. Semoga Allah ta’ala memberi pertolongan kepada kita semua.

Semoga Bermanfaat, Baarokallahu Fiikum…

(Ringkasan dengan beberapa penambahan dari kitab Qawaidu Qur’aniyyah. 50 Qaidah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat. Syekh DR. Umar bin Abdullah al Muqbil)

 

Ahmadi As-Sambasy

Cilacap, 28 Agustus 2021

Posting Komentar untuk "Qawaid Qur'aniyah Kaidah ke 3 - Jangan Melupakan Kebaikan Orang Lain "