Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 12 – Orang yang Paling Mulia di Sisi Allah

 

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ‌

“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al Hujurat: 13)

Kaidah ini merupakan salah satu kaidah qur`āniy yang baku. Kaidah ini menunjukkan keagungan dan ketinggian agama ini, serta keluhuran prinsip- prinsipnya.

Kaidah agung ini terdapat dalam surah Al-Ḥujurāt. Setelah menyebutkan sejumlah etika yang agung, akhlak yang mulia, dan larangan dari sejumlah etika rendahan dan tabiat yang jelek, maka Allah Ta’ālā menetapkan sebuah dasar yang komprehensif yang menjadi sumber semua akhlak baik, dan bisa menghancur leburkan semua akhlak jelek. Dasar ini juga menjadi standar keutamaan dan kemuliaan di sisi Allah, yaitu:

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا‌ ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, lagi Mahateliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)

Sungguh, ayat ini sangat agung, di mana ia menonjolkan timbangan keadilan yang rinciannya belum pernah ada kecuali hanya dalam agama Islam.

Kedudukan ayat ini tidak akan terlihat dengan jelas kecuali jika Anda membayangkan standar interaksi orang Arab jahiliah dalam memandang kabilah lain yang bukan merupakan kabilah mereka, baik karena kabilah lain itu lebih rendah status sosialnya dari mereka, atau karena mereka merupakan kabilah asing. Demikian juga dengan interaksi mereka terhadap para budak dan mantan budak.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian untuk mendidik para sahabat dengan kaidah ini. Beliau mengulanginya dengan berbagai metode verbal dan aplikatif. Saya akan menyebutkan dua peristiwa saja yang mungkin tidak akan pernah dilupakan selama-lamanya oleh orang Arab dan juga suku Quraisy.

Peristiwa Pertama

Peristiwa ini terjadi pada hari pembebasan kota Mekah, yaitu Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilāl untuk naik ke atas Kakbah agar mengumandangkan azan. Tidak pernah terbayang oleh sebagian orang yang baru masuk Islam, apalagi orang-orang kafir Quraisy, bahwa selama hidupnya mereka akan melihat budak Ethiopia ini berdiri dengan pemandangan seperti itu. Tetapi, itulah kemuliaan Islam dan petunjuk nabawiy yang mendidik manusia dengan perbuatan dan ucapan.

Pada hari yang sama, yaitu hari pembebasan kota Mekah juga, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam Kakbah dan salat di dalamnya. Anda bisa memikirkan, kira-kira siapa saja orang yang beruntung untuk mendapatkan kemuliaan mendampingi beliau memasukinya, di mana pintu akan ditutup setelah mereka masuk? Tidak ada yang ikut masuk bersama beliau selain Usāmah bin Zaid, putra mantan budak beliau, kemudian Bilāl Al-Ḥabasyi, serta Uṡmān bin Ṭalḥah, penanggungjawab kunci Kakbah. (HR. Bukhari: 2826, Muslim: 1329, dari Ibnu Umar)

Bukti aplikatif apalagi yang bisa meleburkan standarisasi jahiliah yang lebih kuat dari kejadian ini? Padahal, saat itu juga hadir orang-orang yang lebih afdal dari Bilāl dan Usāmah, seperti para khalifah yang empat serta enam sahabat lainnya yang dijamin masuk surga.

Peristiwa Kedua

Kejadian ini terjadi pada peristiwa paling agung yang terjadi di dunia pada saat itu, yaitu haji Wadak. Di beberapa momen haji Wadak, ketika manusia sedang bersiap untuk berangkat meninggalkan Arafah, tiba-tiba pandangan mereka tertuju pada hewan yang dikendarai oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertanya-tanya, siapa kira-kira yang akan beruntung untuk menaikinya bersama Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam? Ternyata tidak ada yang mereka lihat selain Usāmah, anak muda berkulit hitam yang merupakan putra mantan budak beliau.

Dia membonceng di belakang Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, sementara orang lain melihat saja!

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini setelah beliau menyampaikan pidato yang sangat agung, yaitu pidato yang menetapkan dasar-dasar tauhid dan Islam dan menghancurkan dasar-dasar kemusyrikan dan kejahiliahan. Beliau menyampaikan ucapan yang sangat terkenal, “Sesungguhnya semua urusan jahiliah berada di bawah kedua telapak kakiku ini.”

Kedua peristiwa tersebut merupakan setetes air yang diambil dari lautan kehidupan Rasululullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang penuh pesona.

Di antara bentuk keagungan agama ini adalah dia tidak mengaitkan kedudukan manusia di sisi Allah dengan sesuatu yang tidak sanggup untuk diraihnya. Manusia tidak bisa memilih supaya berasal dari keturunan terhormat. Kalau itu bisa dilakukan, pasti setiap orang akan memilih untuk menjadi bagian dari keturunan Nabi. Islam juga tidak mengaitkan kedudukan manusia dengan fisik yang tinggi atau rendah, cantik atau jelek, dan berbagai standar lainnya yang bukan merupakan pilihan manusia. Tetapi Islam mengaitkannya dengan standar yang bisa digapai oleh manusia. Oleh karena itu, tidak ada satu ayat pun dalam Kitab Allah yang memuji atau mencela seseorang karena nasabnya. Yang ada hanyalah pujian karena keimanan dan ketakwaan, serta celaan karena kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Sebagai buktinya, Allah Ta’ālā menurunkan satu surah lengkap untuk mencela Abu Lahab karena kekufuran dan permusuhannya kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Allah juga melarang Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengusir orang- orang mukmin yang lemah meskipun dengan tujuan menarik hati para pembesar Quraisy.

Namun sangat disayangkan, pada zaman kita sekarang, banyak contoh kejadian yang menyalahi kaidah yang agung ini: “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Hal itu bisa dilihat dari kembalinya sikap fanatik kejahiliahan terhadap kabilah. Fenomena ini tidak berhenti sebatas untuk saling kenal mengenal di antara individu kabilah saja, dan juga tidak berhenti pada batas saling memuji dengan pujian yang dibolehkan, tetapi lebih dari itu sampai pada sikap guluw (berlebihan) dalam memuji, loyalitas yang berlebihan terhadap kabilah, dan kadang-kadang sampai menyindir kabilah atau penduduk kota lain. Itu semua menghilangkan standar-standar syariat di sebagian orang karena melakukan hal-hal tersebut. Orang-orang yang mendengar dan membaca firman Tuhannya; “Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” hendaknya takut kepada Allah dengan tidak melakukan sikap bangga yang tercela tersebut. Hendaknya setiap mukmin mengetahui bahwa siapa yang lalai beramal maka nasabnya tidak akan bisa memberikannya manfaat.

(Qawaid Qur’aniyyah 50 Qa’idah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat, Syeikh DR. Umar Abdullah bin Abdullah Al Muqbil)


KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Al-Amanah

Posting Komentar untuk "Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 12 – Orang yang Paling Mulia di Sisi Allah"