Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 11 – Para Penyihir Tidak Akan Pernah Mendapat Kemenangan Di Mana Pun Berada
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا يُفۡلِحُ السّٰحِرُ حَيۡثُ اَتٰ
“Penyihir tidak akan
mendapat kemenangan di mana pun” (QS. Thaha: 69)
Kaidah ini merupakan
salah satu kaidah qur`āniy yang baku. Kaidah ini harus disosialisasikan ke
masyarakat, khususnya pada zaman ini, di mana para penyihir dan dukun
merajalela. Semakna dengan kaidah ini adalah firman Allah Ta’ālā:
وَلَا يُفۡلِحُ السَّاحِرُوۡنَ
”Padahal para penyihir
itu tidaklah mendapat kemenangan.” (QS. Yūnus: 77)
Kaidah ini disebutkan
dalam kisah Musa dengan para penyihir Firaun dalam surah Ṭāha, setelah Musa
membuat janji untuk bertemu mereka pada hari tertentu. Ketika mereka telah berkumpul, (inilah kisahnya):
قَالُوۡا
يٰمُوۡسٰٓى اِمَّاۤ اَنۡ تُلۡقِىَ وَاِمَّاۤ اَنۡ نَّكُوۡنَ اَوَّلَ مَنۡ اَلۡقٰى
قَالَ بَلۡ
اَلۡقُوۡاۚ فَاِذَا حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ اِلَيۡهِ مِنۡ
سِحۡرِهِمۡ اَنَّهَا تَسۡعٰى
فَاَوۡجَسَ فِىۡ
نَفۡسِهٖ
خِيۡفَةً مُّوۡسٰى
قُلۡنَا لَا
تَخَفۡ اِنَّكَ اَنۡتَ الۡاَعۡلٰى
وَاَلۡقِ مَا
فِىۡ يَمِيۡنِكَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوۡا ؕاِنَّمَا
صَنَعُوۡا كَيۡدُ سٰحِرٍ ؕ
وَلَا يُفۡلِحُ السّٰحِرُ حَيۡثُ اَتٰى
“Mereka berkata, ‘Wahai Musa! Apakah engkau yang
melemparkan (dahulu) atau kami yang lebih dahulu melemparkan?’ Dia (Musa)
berkata, ‘Silakan kamu melemparkan!’ Maka tiba-tiba tali-tali dan
tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia merayap cepat,
karena sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman,
‘Jangan takut! Sungguh, engkaulah yang unggul (menang). Dan lemparkan apa yang
ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka buat. Apa yang
mereka buat itu hanyalah tipu daya penyihir (belaka). Dan tidak akan menang
penyihir itu, dari mana pun ia datang’.” (QS. Ṭāha: 65-69).
Penafian kemenangan dari
penyihir menjadi bukti kekufurannya, semoga Allah melindungi kita darinya,
sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Qur`ān dalam beberapa ayat yang lain, misalnya
firman Allah Ta’ālā:
وَمَا کَفَرَ
سُلَيۡمٰنُ وَلٰـكِنَّ الشَّيٰـطِيۡنَ كَفَرُوۡا يُعَلِّمُوۡنَ النَّاسَ السِّحۡرَ
”Sulaiman tidak kafir,
tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 102)
Firman Allah “Sulaiman
tidak kafir” menunjukkan bahwa seandainya dia penyihir, dan itu tentu tidak
akan terjadi, maka dia adalah orang yang kafir. Adapun firman Allah “Tetapi
setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia” maka
secara tegas menyatakan kekafiran orang yang mengajarkan sihir.
Sangat banyak ayat-ayat
yang berbicara tentang sihir dan tukang sihir dalam Kitabullah, menceritakan
tentang kesesatan mereka, dan kerugian mereka di dunia serta di akhirat. Namun,
kita sebagai orang beriman sangat merasa aneh dengan begitu maraknya pasar
sihir dan penyihir di negeri-negeri Islam.
Keanehan ini bukan karena
keberadaan penyihir laki-laki atau wanita, karena pada zaman terbaik pun, zaman
di mana Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam hidup terdapat juga para penyihir,
apalagi di zaman lainnya. Keanehan juga bukan pada usaha penyihir untuk
mendapatkan harta dengan cara apa pun. Namun yang menjadi keanehan adalah
ketika ada umat yang membaca Kitab Allah yang agung itu, membaca ayat-ayat yang
secara tegas dan jelas mengingatkan tentang sihir dan penyihir, menjelaskan
akhir kehidupan mereka yang jelek, baik di dunia maupun di akhirat; tetapi
tetap saja mereka baik sendiri ataupun beramai-ramai, ikut berlomba- lomba
mendatangi para penyihir yang merusak tersebut! Baik mereka mendatangi
rumah-rumah para penyihir itu, atau mengikuti siaran televisi yang menyebarkan
sihir dan perdukunan, yang pasarnya sangat marak semenjak beberapa tahun
belakangan ini. Tujuannya agar mereka minta dari para penyihir tersebut supaya
bisa memberikan mudarat kepada seseorang, atau menghilangkan mudarat itu dari
orang lain. Seolah-olah mereka tidak membaca
firman Allah Ta’ālā:
وَمَا هُمۡ
بِضَآرِّيۡنَ بِهٖ
مِنۡ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰهِؕ
وَيَتَعَلَّمُوۡنَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنۡفَعُهُمۡؕ
وَلَقَدۡ عَلِمُوۡا لَمَنِ اشۡتَرٰٮهُ مَا لَهٗ
فِى الۡاٰخِرَةِ مِنۡ خَلَاقٍؕ
وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡا بِهٖۤ
اَنۡفُسَهُمۡؕ
لَوۡ کَانُوۡا يَعۡلَمُوۡنَ
”Mereka tidak akan dapat
mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah. Mereka
mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka.
Dan sungguh, mereka sudah tahu, siapa saja yang membeli (menggunakan sihir)
itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah
buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka
tahu.” (QS. Al-Baqarah: 102)
Kita meyakini bahwa kalau
bukan karena manusia berbondong-bondong mendatangi para penyihir tersebut,
niscaya pasar mereka tidak akan ramai, dan kebatilan mereka tidak akan
tersebar.
Sakit keras yang dialami
seseorang atau kondisi kejiwaan yang mengguncang tidak bisa dijadikan
legitimasi untuk mendatangi penyihir tersebut. Bagaimana bisa mengharapkan
keuntungan dari orang-orang yang sudah jelas dicap Allah sebagai orang yang
merugi? Allah lebih penyayang dan lebih bijaksana dibandingkan mengharamkan
kepada mereka untuk mendatangi penyihir dan tidak menurunkan obat untuk
penyakit yang mereka derita! Sebagaimana Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap penyakit itu ada obatnya. Jika obat pas dengan penyakitnya
maka akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim: 2204, dari
Jābir)
Dalam riwayat Imam
Bukhari dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah tidak menurunkan sebuah penyakit melainkan Dia juga menurunkan obatnya.”
(HR. Bukhari: 5678)
Karena begitu dahsyatnya
kemudaratan yang ditimbulkan oleh sihir, maka semua syariat mengharamkannya.
Orang yang yakin bahwa penyihir itu tidak akan pernah beruntung di mana pun,
dan dia meyakini bahwa para penyihir tidak akan pernah sukses, maka semua itu
akan mendorongnya untuk melakukan berbagai tindakan, terutama sekali:
1. Tidak akan mendatangi
orang-orang seperti itu untuk berobat atau lainnya, yaitu orang-orang yang
secara tegas Allah sebutkan bahwa mereka tidak akan beruntung di dunia maupun
di akhirat.
2. Menjauhi pemikiran
untuk melakukan praktik salah satu jenis sihir, apa pun
alasannya, baik karena
ingin menyatukan ataupun memisahkan keluarga, sebagaimana dilakukan oleh
sebagian wanita. Dia mengira bahwa keinginan untuk disayangi suami, atau
melarangnya menikah lagi, dan berbagai macam syubhat lainnya, bisa menjadi
alasan untuk membolehkan perbuatannya tersebut. Padahal semua itu hanya
merupakan tipu daya setan.
3. Orang yang
mempraktikkan sihir atau menjadi penyebab terjadinya sihir hendaknya menyadari
bahwa dia berada dalam bahaya besar; dia telah menjual agamanya dengan harga
yang sangat murah, dan setan merupakan panutan dan gurunya dalam melakukan
praktik tersebut.
4. Jika jiwa berada dalam
kondisi lemah, dan ditipu oleh setan untuk melakukan perbuatan mungkar
tersebut, maka hendaknya dia segera bertobat, meninggalkan perbuatan batil
tersebut, dan meminta maaf terhadap orang yang telah ia sakiti dengan
perbuatannya itu, sebelum dia dihadapkan untuk penghisaban amalannya di hadapan
Allah yang Maha Mengetahui, yang mengetahui siapa yang jadi penyihir, siapa
yang disihir, dan siapa yang menjadi penyebab terjadinya sihir tersebut. Allah
akan mengkisas orang yang zalim untuk orang yang dizalimi. Pada saat itu, satu
kebaikan akan menjadi lebih berharga dibanding dunia beserta isinya.
Keyakinan seorang Mukmin
dengan kaidah ini: “penyihir tidak akan mendapat kemenangan di mana pun” akan
memperkuat ibadah tawakalnya, dan dia tidak akan takut dengan orang-orang dari
golongan ini, yaitu para penyihir. Dia akan selalu mengingat firman Allah:
اَلَيۡسَ
اللّٰهُ بِكَافٍ عَبۡدَهٗ ؕ
”Bukankah Allah yang
mencukupi (menjaga) hamba-Nya?!” (QS. Az-Zumar: 36)
Dalam redaksi lain dibaca
dengan:
“Bukankan Allah yang
mencukupi hamba-hamba-Nya?!” Jawabanya, tentu, demi Allah.
Di antara hal yang perlu
direnungkan dan dipikirkan adalah bahwa para penyihir tersebut, meskipun mereka
memiliki harta, dan hidup dari uang yang diberikan orang kepadanya, namun
mereka tetap termasuk orang yang paling sengsara dalam kehidupan, dan paling
kotor jiwanya. Ini tentu tidak aneh, karena siapa saja yang menyerahkan
kepemimpinannya kepada setan dan kafir kepada Rabb alam semesta, bagaimana
mungkin dia akan bisa sukses?!
(Qawaid Qur’aniyyah 50
Qa’idah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat, Syeikh DR. Umar Abdullah bin Abdullah
Al Muqbil)
Posting Komentar untuk "Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 11 – Para Penyihir Tidak Akan Pernah Mendapat Kemenangan Di Mana Pun Berada"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.