Takfiriyyuun Mengkafirkan Penguasa Yang Berhukum Dengan Selain Hukum Allah (Posisi Al Hafidz Ibnu Katsir dalam Menyanggah Syubhat Ini)
Sebagian
takfiriyyuun membawakan hujjah perkataan Al-Haafidh Ibnu Katsir rahimahullah
untuk mengkafirkan penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah
(undang-undang buatan) dengan tanpa perincian – sebagaimana pemahaman
Ahlus-Sunnah. Berikut perkataan beliau (Ibnu Katsir) saat menjelaskan kekafiran
penguasa Tartar, yang kemudian mereka jadikan ‘tameng’ atas kesesatan mereka (1)
:
وفي ذلك كله مخالفة
لشرائع الله المنزلة على عباده الانبياء عليهم الصلاة والسلام، فمن ترك الشرع المحكم
المنزل على محمد بن عبد الله خاتم الانبياء وتحاكم إلى غيره من الشرائع المنسوخة كفر،
فكيف بمن تحاكم إلى الياسا وقدمها عليه ؟ من فعل ذلك كفر بإجماع المسلمين.
“Dalam
semua hal itu terdapat penyelisihan terhadap syari’at Allah yang diturunkan
kepada para Nabi ‘alaihimush-shalaatu was-salaam. Barangsiapa yang meninggalkan
syari’at-syari’at yang diturunkan kepada Muhammad bin ‘Abdillah, penutup para
Nabi, dan sekaligus berhukum dengan syari’at-syari’at yang telah dihapuskan,
maka ia kafir. Lantas, bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Yaasiq dan
lebih mengutamakannya daripada hukum Allah? Siapa saja yang berbuat demikian,
maka ia kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin”. (Al-Bidaayah wan-Nihaayah,
13/139, tahqiq: ‘Aliy Syiiriy; Daaru Ihyaa At-Turaats Al-‘Arabiy, Cet. 1/1408 H)
Para
takfiriyyun telah keliru karena melihat perkataan Ibnu Katsir dengan ‘kaca mata
kuda’, dengan tanpa memperhatikan keterangan-keterangan lain yang menjelaskan
perkataan beliau tersebut.
Ketahuilah
wahai ikhwan yang dirahmati Allah, perkataan Ibnu Katsir di atas dikatakan saat
membahas kekafiran penguasa Tartar. Mereka (penguasa Tartar) telah mengutamakan
hukum Yaasiq dan mengunggulkannya di atas syari’at Allah ta’ala. Dan lebih
rinci seperti apa keadaan mereka, berikut penjelasannya – sebagaimana dikatakan
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah -:
1. يجعلون دين الإسلام كدين اليهود والنصارى،
وأن هذه كلها طرق إلى الله، بمنزلة المذاهب الأربعة عند المسلمين. ثم منهم من يرجح
دين اليهود أو دين النصارى، ومنهم من يرجح دين المسلمين
“Mereka
menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi dan Nashrani, dan bahwa semua
(agama) ini merupakan jalan menuju Allah. (Kedudukan agama-agama tersebut)
seperti kedudukan madzhab yang empat pada kaum muslimin. Lalu di antara mereka
ada yang memilih agama Yahudi, Nashrani, atau agama Islam”. (Majmu’
Al-Fataawaa, 28/523)
2. حتى إن وزيرهم الخبيث الملحد المنافق صنف
مصنفًا، مضمونه أن النبى صلى الله عليه وسلم رضى بدين اليهود والنصارى، وأنه لا ينكر
عليهم، ولا يذمون ولا ينهون عن دينهم، ولا يؤمرون بالانتقال إلى الإسلام
“Hingga
wazir (menteri) mereka yang buruk, mulhid (atheis), lagi munafiq menulis satu
tulisan yang isinya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meridlai agama
Yahudi dan Nashrani, dan beliau tidak mengingkari mereka, tidak mencela mereka,
tidak melarang mereka dari agama mereka, serta tidak menyuruh mereka untuk
pindah kepada agama Islam”. (idem, 28/526)
3. فهذا وأمثاله من مقدميهم كان غايته بعد الإسلام
أن يجعل محمداً صلى الله عليه وسلم بمنزلة هذا الملعون. ومعلوم أن مسيلمة الكـذاب
كان أقل ضرراً على المسلمين من هذا، وادعى أنه شريك محمد فى الرساله، وبهذا استحل الصحابة
قتاله وقتال أصحابه المرتدين، فكيف بمن كان فيما يظهره من الإسلام يجعل محمدًا كجنكسخان؟!
“Orang
ini dan semisalnya dari pendahulu mereka mempunyai tujuan – setelah Islam –
untuk menjadikan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti kedudukan
orang terlaknat ini (yaitu Jenghis Khaan) Dan telah diketahui bahwa Musailamah
al-kadzdzaab lebih sedikit kemudlaratannya pada keum muslimin daripada orang
ini. Musailamah dulu mendakwakan dirinya sebagai sekutu Muhammad dalam hal
risalahnya. Atas dasar ini, para shahabat menghalalkan untuk membunuhnya dan
membunuh para pendukungnya dari kalangan murtadiin. Lantas, bagaimana dengan
orang yang menampakkan dirinya sebagai seorang muslim namun menjadikan Muhammad
seperti Jenghis Khaan?!”. (idem, 28/522)
4. كما قال أكبر مقدميهم الذين قدموا إلى الشام،
وهو يخاطب رسل المسلمين ويتقرب إليهم بأنا مسلمون. فقال: هذان آيتان عظيمتان جاءا
من عند الله، محمد وجنكسخان. فهذا غاية ما يتقرب به أكبر مقدميهم إلى المسلمين، أن
يسوى بين رسول الله وأكرم الخلق عليه وسيد ولد آدم وخاتم المرسلين، وبين ملك كافر مشرك
من أعظم المشركين كفراً وفساداً وعدواناً من جنس بختنصر وأمثاله
“Sebagaimana
dikatakan orang terbesar mereka tedahulu saat datang ke negeri Syaam, yang
berbicara kepada utusan-utusan kaum muslimin dan mendekat kepada mereka serta
mengaku bahwa mereka adalah kaum muslimin. Ia berkata: ‘Dua orang ini adalah
ayat terbesar yang datang dari sisi Allah’, mereka adalah Muhammad dan Jenghis
Khaan. Maka ini tujuan orang terbesar mereka terdahulu ketika mengadakan
pendekatan kepada kaum muslimin dengan menyamakan Rasulullah – makhluk paling
mulia, penghulu anak Adam, dan penutup para Rasul – dengan raja kafir, musyrik
yang dia itu termasuk sebesar-besar orang musyrik dalam kekafiran, kerusakan,
permusuhan, seperti Nebukadnezar dan semisalnya”. (idem, 28/521)
5. وذلك أن اعتقاد هؤلاء التتار كان فى جنكسخان
عظيما، فإنهم يعتقدون أنه ابن الله من جنس ما يعتقده النصارى فى المسيح، ويقولون:
إن الشمس حبلت أمه، وأنها كانت فى خيمة فنزلت الشمس من كوة الخيمة فدخلت فيها حتى حبلت.
ومعلوم عند كل ذى دين أن هذا كذب. وهذا دليل على أنه ولد زنا، وأن أمه زنت فكتمت
زناها، وادعت هذا حتى تدفع عنها مَعَرَّة الزنا
“Yang
demikian itu karena keyakinan orang-orang Tartar terhadap Jenghis Khan sangat
besar. Mereka meyakini bahwa ia adalah anak Allah seperti keyakinan orang
Nashrani terhadap Al-Masih. Mereka mengatakan: Sesungguhnya matahari menghamili
ibunya, dahulu ibunya ada di sebuah kemah lalu turunlah matahari dari lubang
kemah dan masuk ke dalamnya hingga hamil. Padahal sudah diketahui oleh setiap
orang yang beragama bahwa ini adalah sebuah kedustaan, dan ini merupakan dalil
bahwa ia adalah anak zina, dan ibunya berzina, lalu menyembunyikan perbuatannya
itu dan mendakwakan hal ini agar terlepas dari aib perzinaan”. (idem, 28/521)
6. وهم مع هذا يجعلونه أعظم رسول عند الله فى
تعظيم ما سنه لهم وشرعه بظنه وهواه،حتى يقولوا لما عندهم من المال:هذا رزق جنكسخان،ويشكرونه
على أكلهم وشربهم، وهم يستحلون قتل من عادى ما سنه لهم هذا الكافر الملعون المعادى
لله ولأنبيائه ورسوله وعباده المؤمنين
“Mereka
juga menjadikannya sebagai utusan yang paling mulia di sisi Allah dalam
pengagungan apa-apa yang disunnahkan dan disyari’atkannya atas dasar prasangka
dan hawa nafsunya, sampai-sampai mereka mengatakan ketika mereka memiliki
sebagian harta: ‘Ini adalah rizki dari Jenghis Khan’. Mereka mensyukurinya
ketika makan dan minum, mereka menghalalkan untuk membunuh orang yang memusuhi
apa-apa yang disunnahkan bagi mereka oleh orang kafir yang terlaknat ini, yang
memusuhi Allah, para Nabi dan Rasul-Nya, serta para hamba-Nya yang beriman”. (idem,
28/521-522)
Inilah
di antara keadaan raja Tartar yang masuk agama Islam dan berhukum dengan selain
yang diturunkan Allah dengan pengingkaran dan penghalalan. Mereka juga
tenggelam dalam hal-hal yang membatalkan ke-Islaman mereka. Jika demikian, maka
tidak ada perbedaan pendapat mengenai kekafiran mereka ini. Inilah yang
dimaksud dengan objek ijma’ kekafiran orang yang tidak berhukum dengan hukum
Allah. Sekaligus, ini sebagai penjelas apa yang dituliskan oleh Ibnu Katsir
saat menafsirkan QS. Al-Maaidah ayat 50:
ينكر تعالى على من
خرج عن حكم الله المُحْكَم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من
الآراء والأهواء والاصطلاحات، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان
أهل الجاهلية يحكمون به من الضلالات والجهالات، مما يضعونها بآرائهم وأهوائهم، وكما
يحكم به التتار من السياسات الملكية المأخوذة عن ملكهم جنكزخان، الذي وضع لهم اليَساق
وهو عبارة عن كتاب مجموع من أحكام قد اقتبسها عن شرائع شتى، من اليهودية والنصرانية
والملة الإسلامية، وفيها كثير من الأحكام أخذها من مجرد نظره وهواه، فصارت في بنيه
شرعًا متبعًا، يقدمونها على الحكم بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم. ومن فعل
ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله، حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله (صلى الله عليه وسلم) فلا
يحكم سواه في قليل ولا كثير،
“Allah
ta’ala mengingkari orang-orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam dan
mencakup segala kebaikan, yang mencegah segala bentuk kejahatan, dan berpaling
kepada selain hukum Allah berupa pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, hawa
nafsu, dan berbagai istilah yang dibuat oleh orang-orang dengan tidak
didasarkan pada syari’at Allah sebagaimana dilakukan oleh kaum jahiliyyah yang
berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang diletakkan berdasarkan pada
pandangan dan hawa nafsu mereka. Sebagaimana orang-orang Tartar berhukum dengan
hal-hal tersebut dalam politik kerajaan yang diambil dari raja mereka Jenghis
Khaan yang dibuat oleh Yaasiq, berupa sebuah kitab yang mengandung hukum yang
bersumber dari bermacam-macam syari’at: Yahudi, Nashrani, dan Islam. Di
dalamnya terdapat banyak hukum yang diambil yang hanya berdasarkan pendapat dan
hawa nafsu, lalu menjadi syari’at yang diikuti oleh anak cucunya. Mereka
mengutamakannya daripada berhukum kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang berbuat seperti itu di antara
mereka, maka ia kafir dan wajib diperangi hingga ia kembali kepada hukum Allah
dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak menjadikan selainnya sebagai hakim
sedikit ataupun banyak”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/131)
Penjelasan
Ibnu Katsir di atas kembali kepada keadaan para raja Tartar sebagaimana telah
dijelaskan. Orang yang dikafirkan dalam konteks ini adalah orang yang mengikuti
raja-raja Tartar dalam hal pengingkaran dan penghalalan terhadap selain hukum
Allah, serta ketenggelaman mereka dalam hal-hal yang membatalkan Islam,
sehingga akhirnya keluar (murtad) dari agama Islam.
Hal
ini sangat selaras dengan perincian yang disebutkan Ibnu Katsir saat membahas
ayat hukum:
﴿وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ﴾ لأنهم جحدوا حكم الله قصداً منهم وعناداً وعمداً، وقال ههنا:
﴿فَأُوْلَـئِكَ هُم الظَّالِمُون﴾ لأنهم لم ينصفوا المظلوم من الظالم في الأمر الذي
أمر الله بالعدل والتسوية بين الجميع فيه، فخالفوا وظلموا وتعدوا
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maaidah: 44) Yang demikian itu karena mereka
mengingkari (juhd) hukum Allah secara sengaja dan penuh pembangkangan.
Sedangkan dalam ayat ini Allah ta’ala berfirman: ‘(Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah), Maka mereka itu adalah
orang-orang yang dhaalim’ (QS. Al-Maaidah: 45) Yang demikian itu karena mereka
tidak berlaku adil kepada yang didhalimi atas tindakan orang dhalim dalam
perkara yang telah diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan
(memberlakukan) secara sama di antara semua umat manusia. Namun mereka
menyalahi dan berbuat dhalim”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/120, tahqiq: Saamiy bin
Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayibah, Cet. 2/1420 H)
Perhatikan!
Al-Haafidh Ibnu Katsir telah memerinci siapa yang kafir dan siapa yang tidak
kafir ketika seseorang berhukum dengan hukum selain yang diturunkan Allah.
Mereka yang kafir adalah mereka yang mengingkari dengan penuh pembangkangan.
Sedangkan yang orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena terpengaruh
hawa nafsunya, sementara dalam hatinya masih mengakui eksistensi dan kewajiban
untuk berhukum dengan hukum Allah – tidak dikafirkan. Ia termasuk orang yang
salah lagi dhalim.
Dan
sebelumnya, beliau juga membawakan riwayat:
وقال علي بن أبي
طلحة، عن ابن عباس، قوله: { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ } قال: من جحد ما أنزل الله فقد كفر. ومن أقر به ولم يحكم فهو ظالم
فاسق. رواه ابن جرير.
“Telah
berkata ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; ia berkata: Barangsiapa yang mengingkari
apa yang telah diturunkan Allah, berarti ia benar-benar kafir. Dan barangsiapa
yang mengakuinya, namun tidak menjalankannya, maka adalah orang yang dhalim
lagi fasiq”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/119)
Penjelasan
perincian dari Ibnu Katsir mengenai masalah tahkim (berhukum) dengan selain
yang diturunkan Allah adalah menyepakati perincian yang telah ditetapkan oleh
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma di atas (baca juga artikel: Shahih Atsar Ibnu
‘Abbas: Kufrun Duuna Kufrin – Menjawab Sebagian Syubhat Takfiiriyyuun) Sungguh
sangat berbeda dengan prinsip takfiriyyuun yang telah membutakan mata mereka
atas penjelasan Ibnu Katsir yang terangnya melebihi matahari di siang hari.
Oleh
sebab itu, pengkafiran orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah
ditetapkan secara mutlak, namun tetap memerlukan perincian di sisi Al-Haafidh
Ibnu Katsir rahimahullah.
Wallaahu
ta’ala a’lam.
Footnote:
(1) Di antara mereka adalah Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisiy –
yang kemudian banyak di-taqlidi oleh bapak Ustadz Aman ‘Abdurrahman – tokoh bom
Cimanggis. Orang-orang HASMI Bogor juga banyak mengikuti pemikiran ini.
(Banyak
mengambil penjelasan dari buku Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah karya Dr.
Khaalid Al-Anbariy, kitab yang telah dipuji oleh Asy-Syaikh Al-Albani dan
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallaah, yang diberikan taqdim oleh
Asy-Syaikh Prof. Dr. Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hafidhahullah)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Takfiriyyuun Mengkafirkan Penguasa Yang Berhukum Dengan Selain Hukum Allah (Posisi Al Hafidz Ibnu Katsir dalam Menyanggah Syubhat Ini)"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.