Kebaikan Istri - Antara Hak, Keikhlasan, dan Lautan Pahala
![]() |
| Kabeldakwah.com |
KH. Abdul Alim bin Abd pernah berpesan dengan kalimat yang sederhana, namun menghunjam dalam maknanya, "Banyak pekerjaan rumah tangga sejatinya bukan kewajiban istri. Akan tetapi Allah justru menanamkan kemauan dan kemampuan dalam diri seorang istri untuk mengerjakannya, agar ia memiliki lautan pahala dalam berbakti kepada suami yang sering kali tanpa ia sadari".
Pesan ini mengandung
kebijaksanaan yang dalam. Ia tidak berbicara tentang pembagian tugas secara
kaku, tetapi tentang rahmat Allah yang bekerja secara halus dalam kehidupan
rumah tangga. Sesuatu yang secara hukum fikih tidak wajib, oleh cinta dan niat
yang lurus, berubah menjadi ladang pahala yang luas. Istri tidak dipaksa oleh
syariat. Ia memilih. Dan dari pilihan itulah kemuliaan tumbuh.
Pekerjaan Rumah
Dalam kajian fikih
klasik, para ulama memang berbeda pendapat tentang kewajiban istri dalam
pekerjaan rumah. Mayoritas ulama Hanafiyah dan sebagian Malikiyah berpendapat
bahwa pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah bukan
kewajiban syar’i istri, melainkan bagian dari Mu‘asyarah bil Ma‘ruf (pergaulan
yang baik).
Imam Ibnu Qudamah
rahimahullah menyatakan dalam Al-Mughni:
وَلَيْسَ عَلَى
الْمَرْأَةِ خِدْمَةُ زَوْجِهَا فِي بَيْتِهِ
“Tidak wajib bagi seorang istri melayani
(pekerjaan rumah) suaminya di dalam rumah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)
Namun Islam tidak
berhenti pada hukum hitam-putih. Di atas fikih, ada akhlak. Di atas kewajiban,
ada keikhlasan. Di situlah pesan KH. Abdul Alim menemukan relevansinya.
Bahasa Cinta yang Paling Sunyi
Pekerjaan rumah, dalam
pandangan ini, bukan sekadar urusan dapur, sapu, atau cucian. Ia adalah bahasa
cinta yang paling sunyi. Tidak dipuji di mimbar. Tidak dicatat di laporan
prestasi. Tidak diviralkan di media sosial. Tetapi justru di sanalah Allah menyiapkan
ganjaran yang luas, karena dilakukan bukan atas kewajiban, melainkan
keikhlasan.
Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97)
Ayat ini menegaskan bahwa
nilai amal tidak ditentukan oleh besar-kecilnya di mata manusia, tetapi oleh
iman dan niat di hadapan Allah.
Keteladanan
dari Rumah Tangga Nabi ﷺ
Rasulullah ﷺ
sendiri memberikan teladan yang sangat indah dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam hadits shahih, Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang apa yang
dilakukan Nabi di rumah. Ia menjawab:
كَانَ فِي مِهْنَةِ
أَهْلِهِ
“Beliau biasa membantu pekerjaan keluarganya
(di rumah).” (HR. Bukhari, no. 676)
Hadits ini menampar
anggapan bahwa pekerjaan rumah adalah simbol kerendahan. Justru Nabi ﷺ (manusia termulia) melakukannya dengan penuh kerelaan. Ini sekaligus pesan halus
bagi para suami, jika Nabi saja membantu, lalu dengan dasar apa seorang suami
merasa paling berhak dilayani?
Pesan Halus untuk Para Suami
Di sinilah dawuh KH.
Abdul Alim juga menampar halus para suami. Jika sesuatu itu bukan kewajiban
istri, maka ia tidak pantas dituntut dengan nada hak. Ia hanya layak diterima
dengan rasa syukur.
Allah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan
mereka (para istri) secara patut.” (QS. An-Nisa: 19)
Ayat ini bukan hanya soal
tidak menyakiti, tetapi juga tentang sikap batin: menghargai, berterima kasih,
dan tidak menganggap pengorbanan istri sebagai sesuatu yang otomatis.
Ketika istri melakukan
lebih dari yang diwajibkan, seharusnya yang tumbuh pada diri suami bukan rasa
“memang seharusnya begitu”, melainkan perasaan berutang budi dan tanggung jawab
moral untuk membalas dengan kebaikan.
Ketaatan yang Bernilai Surga
Islam memang memuliakan
peran istri dalam keluarga, tanpa menutup mata terhadap hak-haknya. Rasulullah ﷺ
bersabda:
إِذَا صَلَّتِ
الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ
زَوْجَهَا، قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ
شِئْتِ
“Jika seorang istri menunaikan shalat lima
waktu, berpuasa Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka
dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau
kehendaki.’” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini tidak sedang
menindas perempuan. Ia sedang memuliakan niat dan pengorbanannya. Ketaatan yang
dimaksud tentu dalam perkara yang ma’ruf, bukan dalam kemaksiatan.
Tabungan Amal yang Tak Dihitung
Barangkali karena itu
banyak istri yang tampak lelah tapi tetap bertahan. Bukan karena tidak tahu
haknya, melainkan karena hatinya sedang menabung di sisi Allah. Dan sering
kali, tabungan itu tidak ia hitung sendiri.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى
الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang
yang sabar akan diberi pahala tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Kesabaran istri dalam
rumah tangga (selama tidak dalam kezaliman) adalah ladang pahala yang sangat
luas. Amal yang tidak diributkan, justru sering menjadi yang paling berat
timbangannya di akhirat.
Kemuliaan yang Sunyi
Di situlah rahasianya
bahwa pahala paling luas sering lahir dari amal yang paling tidak diributkan.
Islam tidak memaksa istri menjadi pelayan, tetapi memuliakan setiap pengorbanan
yang ia pilih dengan sadar dan ikhlas.
Dan bagi para suami,
pesan ini adalah cermin. jangan pernah merasa paling berhak atas kebaikan
istri. Sebab apa yang ia lakukan bukan sekadar rutinitas rumah, melainkan amal
sunyi yang mungkin kelak menyelamatkannya (dan juga menyelamatkan kita) di
hadapan Allah.
Disusun oleh: Ahmadi Assambasy, M.Pd.
--- Dikembangkan dari
pesan K.H. Abdul Alim bin Abd ---

Posting Komentar untuk "Kebaikan Istri - Antara Hak, Keikhlasan, dan Lautan Pahala"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.