Quiet Quitting "Kerja Teng Go", Lembur "Thank You" - Tren Gen Z yang Mengubah Dunia Kerja
![]() |
Kabeldakwah.com |
Pernah dengar istilah
quiet quitting? Bukan berarti karyawan diam-diam mengundurkan diri, melainkan
mereka tetap bekerja, namun hanya sebatas yang tertulis di kontrak. Tak ada
lagi lembur tanpa bayaran. Tak ada ambisi mengejar promosi yang penuh tekanan.
Mereka bekerja seperlunya, lalu pulang. Fokus pada hidup di luar pekerjaan,
bukan sekadar jadi roda yang terus berputar dalam mesin korporasi.
Fenomena ini pertama kali populer di Amerika Serikat pada 2022. Tapi kini, tren serupa mulai menyebar ke Jepang dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Survei Mynavi di Jepang mencatat bahwa 45% pekerja, terutama generasi muda hanya menyelesaikan pekerjaan sesuai kebutuhan minimum. Tak lagi ingin naik jabatan jika harus mengorbankan waktu pribadi. Mereka lebih memilih menikmati hobi, berkumpul dengan keluarga, atau sekadar beristirahat.
Alasan utama munculnya
quiet quitting adalah karena banyak pekerja merasa tak dihargai. Gaji stagnan,
beban kerja berat, dan penghargaan yang minim membuat mereka lelah secara
mental. Terlebih lagi, hilangnya jaminan kerja seumur hidup, pemotongan tunjangan,
serta bonus yang tak lagi sebanding dengan pengorbanan membuat loyalitas
terhadap pekerjaan semakin memudar.
Profesor Izumi Tsuji dari
Universitas Tokyo menyebutkan bahwa tren ini bukan semata bentuk kemalasan,
tapi respons alami terhadap sistem kerja yang terlalu menekan. Generasi muda
Jepang lebih rasional. Mereka tahu bahwa pengorbanan besar tidak selalu dibayar
setimpal. Mereka yang melakukan quiet quitting tetap profesional. Mereka tidak
bolos kerja, tidak menyabotase tugas, atau lalai dalam tanggung jawab.
Mereka hanya memilih
untuk tidak memberi energi ekstra pada pekerjaan yang tidak memberi mereka
makna atau imbalan yang sepadan. Mereka menarik batas, dan itu adalah bentuk
perlindungan diri. Menurut penelitian dari Gallup, hanya 15% pekerja di seluruh
dunia yang benar-benar terlibat secara aktif dalam pekerjaan mereka. Sisanya
berada dalam zona abu-abu, bekerja karena harus, bukan karena cinta. Dan quiet
quitting muncul dari kelompok yang lelah, tapi belum benar-benar menyerah.
Meski belum ada survei
nasional khusus, tanda-tanda quiet quitting di Indonesia mulai terasa. Di media
sosial, istilah “kerja buat hidup, bukan hidup buat kerja” semakin populer.
Banyak anak muda, terutama Gen Z berani menolak lembur tanpa bayaran, menolak
komunikasi pekerjaan di luar jam kantor, dan mulai mencari makna di luar
pencapaian karier.
Salah satu bukti tren ini
adalah meningkatnya minat pada pekerjaan remote dan freelance. Berdasarkan
laporan dari Jobstreet Indonesia 2024, sekitar 43% pencari kerja Gen Z
menyatakan bahwa fleksibilitas dan work-life balance lebih penting daripada
gaji besar. Mereka tidak malas, mereka hanya ingin hidup yang lebih utuh.
Sumei Kawakami, seorang
jurnalis Jepang yang juga aktif memantau tren ketenagakerjaan, menyebut bahwa
quiet quitting adalah gejala dari perubahan budaya kerja.Saat ini kita hidup di
era pasca-pandemi. Banyak orang menyadari bahwa waktu bersama keluarga, kesehatan
mental, dan kehidupan pribadi tidak bisa ditukar dengan lembur atau target yang
tak pernah ada habisnya.
Hal ini sejalan dengan
pendekatan psikologi kerja modern, yang lebih menekankan pada kesejahteraan dan
keberlanjutan karier. Psikolog industri-organisasi dari UI, Dr. Ratna Mulyani,
menegaskan bahwa jika perusahaan tak segera menyesuaikan diri, mereka bisa
kehilangan talenta terbaiknya. Anak muda sekarang lebih peka terhadap
nilai-nilai kehidupan. Mereka tak hanya bekerja untuk uang, tapi juga untuk
tujuan dan kebebasan.
Perusahaan harus
beradaptasi. Tidak semua orang termotivasi oleh promosi atau bonus. Bagi Gen Z,
fleksibilitas, penghargaan, dan makna jauh lebih penting. Perusahaan perlu
membangun budaya kerja yang mendengarkan, bukan hanya menuntut. Karyawan berhak
menetapkan batas. Quiet quitting mengajarkan bahwa menjaga diri adalah bentuk
kedewasaan. Menolak lembur atau menjaga waktu pribadi bukanlah dosa, tapi
bentuk kesadaran diri. Work-life balance bukan mitos. Kini semakin banyak bukti
bahwa pekerja yang bahagia justru lebih produktif. Jadi menjaga keseimbangan
bukan hanya untuk karyawan, tapi juga demi keberlangsungan bisnis itu sendiri.
Indonesia perlu mempersiapkan. Dengan demografi muda yang besar, Indonesia
harus bersiap menyambut pola pikir kerja baru. Sistem kerja yang lentur, peran
HR yang lebih humanis, dan pemimpin yang empatik adalah kuncinya.
Quiet quitting bukan
tentang berhenti bekerja. Ini tentang bagaimana seseorang memilih untuk
menyeimbangkan kehidupan, tidak menjadikan pekerjaan sebagai satu-satunya
sumber identitas. Mungkin kamu tidak harus ikut-ikutan, tapi setidaknya, ini
bisa jadi cermin. Apakah masih mengejar validasi kantor tanpa sempat menikmati
hidupmu? Atau mulai bertanya, apa hidupku hanya tentang bekerja?
Setiap orang punya pilihan, Dan setiap pilihan punya konsekuensi. Tapi satu hal yang pasti, hidup terlalu singkat jika hanya dihabiskan untuk mengejar hal yang tak pernah cukup.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan
ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan
masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan
berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik
maupun karya jurnalistik.
#pecahtelur
#ceritabisnis
Posting Komentar untuk "Quiet Quitting "Kerja Teng Go", Lembur "Thank You" - Tren Gen Z yang Mengubah Dunia Kerja"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.