Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Depresiasi Kompetensi - Masih Tentang Penghasilan Guru Tahfidz

Kabeldakwah.com

Depresiasi Kompetensi

Oleh: Ust. Rendy Saputra

Postingan status biru ini melintas di linimasa, dan di share beberapa penggerak dengan berbagai komentar nya. Tidak sedikit yang menjadikan ulasan di masing-masing postingan. Maklum, setelah membahas zakat, entah mengapa linimasa ini algoritma nya para ustadz-ustadz penggerak.

Saya posisinya sama dengan Ustadz Kamal; MIRIS.

Mengapa kami sama-sama miris, inilah yang akan saya jelaskan runut pada tulisan kali ini. InsyaAllah gak cuma miris, tapi ijin juga menyampaikan beberapa model solusi.

*

Tidak ada masalah dengan profesi apapun. Menjadi kurir, berdagang, buka gerobag kaki lima, bahkan menjadi tenaga panggul koper pun, selama itu halal, itu mulia di sisi Allah.

Seseorang yang lelah bekerja, lalu dia kelelehan di sore hari, dalam niatan ibadah kepada Allah, maka Allah hapuskan dosa-dosanya, yang mana dosa itu hanya bisa terhapus dengan lelahnya bekerja.

Konteks yang saya rasakan di suasana bathin Ustadz Kamal adalah "Depresiasi Kompetensi". Ini mungkin yang saya rasakan dalam membaca komen-komen dibawah status ini. Beliau sang pemilik status sebenarnya menyayangkan sebuah proses "depresiasi kompetensi terjadi".

*

Saya pernah kuliah di Bandung. Di kampus Teknik yang dosen-dosen nya banyak lulusan dari luar negeri. Jadi sempat juga lingkungan pergaulan saya doktor-doktor yang sekolahnya panjang di kampus-kampus kenamaan di Eropa, bahkan US. Belajar keilmuwan science, engineering.

Waktu itu PT DI di Bandung mem-PHK banyak tim ahli yang bekerja. Salah seorang Doktor yang jadi murabbiy kami saat itu bercerita di halaqah. Sahabatnya ahli baling-baling helikopter, harus kembali jualan kelapa di Kiara Condong.

Jual kelapa ini halal, dagang Kelapanya mulia. Namun yang terjadi adalah Depresiasi Kompetensi.

Beliau yang sudah diberikan kesempatan untuk belajar di Eropa dalam waktu yang lama, untuk jadi ahli baling-baling, kemudian harus jualan kelapa. Karena untuk jualan kelapa, setiap orang dengan kemauan jualan juga bisa melakukan. Kalo Doktor PhD jadi jualan kelapa pinggir jalan, ini bahasa anak sekarang "overkill".

Dan ini menuh-menuhin jalur kompetisi di kaki lima. Kasihan sama saya gak makan sekolahan. Maaf yah kalo gak setuju.

Kuliah di luar negeri itu previlege. Ada kesempatan beasiswa yang didapat, yang gak semuanya orang dapat. Proses akademik yang berjalan ini juga pilihan kaderisasi keilmuwan para Professor, agar ilmunya lestari, dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Maka depresiasi keilmuwan dan kompetensi inilah yang menjadikan hati kita miris. Dan sekarang arusnya makin-makin, karena banyak lulusan penerima LPDP negeri ini, yang kurang dihargai di negeri ini. Platform negeri ini belum begitu siap mendaya gunakan para lulusan expert ini.

Akhirnya balik lagi ke luar negeri. Sah-sah saja. Malah tiongkok juga strateginya begini, nyebar lulusannya kerja di luar. Tapi ini atas strategi besar, bukan karena kepaksa gak kepake didalam negeri kan?

*

Kampus diniyyah di timur tengah, seperti Universitas Islam Madinah, Universitas Ahgaf Yaman, Univestasitas Liga Arab di Pakistan dan Sudan, Universitas Al Azhar Cairo Mesir dan banyak lagi kampus-kampus timteng lainnya, juga berkonsep beasiswa berbatas kursi.

Diberikan kesempatan belajar, dengan menikmati beasiswa dari dana ummat, adalah sebuah kesempatan yang mahal. Pasti ummat punya harapan pada para thulab ini.

Entah pendanaannya dari wakaf produktif, atau infaq pendidikan dari para aghniya, kesempatan belajar keilmuwan ini mahal harganya. Saya makin-makin ngerti mahalnya keilmuwan ini setelah berguru dengan DR Ustadz Muhammad Fakhrurrazi Anshar , yang menghabiskan belajar belasan tahun di Sudan, sebelum Sudan Konflik, sampai PhD beliau selesai. Sosok berilmu memang muatan konten ajarnya jauh berbeda.

Nah, bayangkan saja, jika adik-adik kita yang sudah belajar lama disana, yang sudah menguasai banyak kitab, menguasai banyak topik, membawa sanad mulazamah pembelajaran dari banyak syeikh, harus balik ke Indonesia dengan aktivitas primer nya "jualan". Ini yang menurut saya Depresiasi Kompetensi, boleh setuju boleh nggak.

DR Fakhrur punya bisnis, punya boutique, punya travel Umroh. Tapi alhamdulillah tidak mengurangi khidmat beliau pada ilmu. Karena memang RAM energi diri nya tinggi. Dan kita harus faham, tidak semua ahli ilmu bisa disamakan, dan dituntut sama.

Tidak semuanya bisa berbisnis dan ngajar dalam waktu yang bersamaan. Tidak semuanya bisa memilih jalur dakwah publik seperti DR Fakhrur, bisa keliling menyentuh ummat, zonasi segmennya luas.

Ada ahli ilmu yang harus stay di pondok, stay di madrasah, harus duduk tenang ngajar tekun ke santri yang sama. Maka akhirnya gak bisa kita terapkan model Ahli Ilmu yang zona segmennya publik, dengan yang segmennya sempit.

Sehingga, ketika para ahli ilmu yang kemampuan intinya adalah ngajar dan mendidik tekun santri ini tidak tersupport kehidupannya, maka jangan salahkan pilihan mereka ketika akhirnya para ahli ilmu menggeser aktivitas primer hidupnya; dari fokus keilmuwan, jadi fokus jualan.

Kita harus jujur membaca sejarah kegemilangan Islam di masa lalu, walau masa lalu, tidak berarti tidak bisa diulang kan?

Para ulama di masa kejayaan Islam, kehidupannya dinaungi oleh institusi negara (daulah) dalam poros income Waqaf Produktif, Waqful Fuqoha, waqaf produktif untuk para 'alim faqih.

Ada kebun-kebun zaitun, yang didedikasikan hasilnya untuk ujroh upah pengajaran para ahli ilmu di madrasah-madrasah.

Maka ketika kita bawa hal ini ke hari ini, proses membangun wakaf produktif ini masih terbuka ruangnya. Sangat bisa diusahakan. Saya akan bahas ini mendetail di akhir tulisan, namun saat ini saya ingin membahas dampak atas model sosial ini.

Ketika para ulama ini diback up kehidupan primernya dengan baik, maka para ulama ini akan tenang mengajar. Akan tenang belajar. Akan tenang lakukan riset.

Proses mengajarnya pun ke murid, tanpa lagi dorongan transaksi benefit. Ini yang membuat Kutab dan Madrasah di masa kejayaan Islam, tak ber uang pangkal, tak ber SPP, karena source income pendidikannya ter back up.

Maka pendidikan berlangsung dengan izzah pengajaran. Para ulama bisa tegak mengajar tanpa memposisikan santri sebagai customer yang bayar, wali santri bukan user yang membayar jasa. Ini yang hilang hari ini, Wali santri ngerasa bayar, santri merasa jadi customer jasa pendidikan, para asatidz asatidzah ditekan untuk menyesuaikan selera market. Subhanallah.

Dengan back up dari waqaf produktif, para ulama juga bisa membagi waktunya, mana waktu ngajar, mana waktu belajar. Mengapa demikian?

Karena waktu belajar ini gak bisa menghasilkan secara produktif. Kalo Anda belajar puluhan kitab, menyimak youtube puluhan bahkan ratusan video, gak ada yang mau bayar Anda untuk aktivitas itu kan?

Kejadian sekarang di para ahli ilmu, amplop setara air time ngajar. Gak ngajar berarti gak ada income, akhirnya ngajar full pagi sampai malam, hampir tiap hari. Akhirnya gak sempat mulazamah kitab, gak sempat murojaah ilmu, gak sempat nulis lagi, gak sempat ikut dauroh tarqiyah dengan para syekh lagi, habis waktunya ngejar air time untuk cukupi kebutuhan hidup. Dan ini ujungnya depresiasi keilmuwan, depresiasi kompetensi. Ilmu kalo gak dimurojaah ya menyusut.

*

Panjang ya saya nulis, sabar. belum selesai. Ha ha ha.

Ada gagasan, dimana para ulama diminta dagang dan punya aktivitas sampingan, bahkan jualan ke wali santri, jualan ke komunitas.

Gagasan ini boleh-boleh saja, tapi saya ingin jelaskan ulang hal diatas dengan mendetail; gak semuanya bisa dituntut jalan dua-duanya.

Ada ulama besar yang ngajar iya juga, dagang ya iya juga, Imam Hanafi contohnya. Namun ada ulama yang berfokus pada keilmuwan saja, tidak berdagang sama sekali, benar-benar hidupnya diback up oleh isntitusi. Karena sangat banyak, kawan-kawan bisa search. Dari zaman nabi, zaman khulafaur rasyidin, zaman tabi'in, terbentang nama-nama ahli ilmu yang khidmat pada keilmuwan.

Apalagi jualan ke segmen santrinya, jualan ke wali santrinya. Ada muru'ah yang nantinya tercederai. Jangan sampai wali santri komplen produk, dan jangan sampai gurj jadi pilih kasih ke murid. Mana yang banyak belanja produk guru, itu yang disayang. Ini kacau balau muruah dunia pendidikan nantinya.

*

Kembali ke topik Guru Tahfidz. Menjadi penghafal Quran itu bukan proses yang ada garis finishnya. Setelah menghafal, selesai hafalan, ada tafsir yang menunggu, ada proses tadabbur yang menunggu, ada ribuan hadist yang perlu didalami.

Apalagi menjadi Guru Tahfidz, menyimak setoran hafalan baru santri-santri Quran, butuh waktu. Sesi ziyadah itu butuh waktu. Kalo pegang belasan santri, bisa setengah hari harus simak hafalan anak-anak kita.

Itu baru ziyadah, perlu juga guru tahfidz simak murojaah hafalan santrinya. Saling setor antar santri gak bisa sama kualitas koreksinya, berbeda dengan ketika yang menyimak adalah gurunya.

Dengan beban pengajaran dan penjagaan sepanjang ini, apakah kita TEGA bawa narasi ke guru-guru mulia ini;

"Dagang donk tadz, jangan dari ngajar aja, cari sampingan donk."

"Ya usaha donk tadz, jangan ngarepin gaji doank, apa kek gitu. dikerjain."

"Ya namanya juga dakwah tadz, ngajar Quran, ya segitu tadz, kalo mau lebih, tambah kerjaan aja, kerjain yang lain."

Apa tega begitu? Bagaimana nanti kita berhadapan di hadapan Rasulullah shallallahu'alaihi wassalam? Bagaimana kita berhadapan dengan Allah azza wa jalla di padang mahsyar?

Ini Al Quran, firman Allah, kemuliaan ayat-ayat Allah. Lalu bagaimana posisi kita nanti di akhirat, kalo kelakuan kita sama Al Quran kayak begini di dunia.

*

Saya meniatkan diri saya untuk ngajar. Orang-orang yang sayang dan perhatian sama saya minta saya fokus ngajar keilmuwan, misi hidupnya disitu.

Alhamdulillah saya Allah kasih karunia bisa nyambi. Masih bisa jualan jasa edukasi bisnis, masih bisa jualan jasa konseling bisnis. Kenapa saya milih bisnis di jasa edukasi, karena saya bisa selipkan dakwah sekaligus. Alhamdulillah. Khidmat keliling masjid di hari jumat, dan nulis-nulis begini, ngajar di youtube. gak harus transaksi base dengan keummatan.

Nuntut ada institusi yang ngeback up juga nggak. Karena saya mau berdiri inpenden, bisa masuk ke semua lembaga. Saya pengen posisinya begini memang.

Apakah nyaman? Tidak.

Apakah mudah? Tidak.

Namun ini adalah pilihan yang saya pilih. Rodhitubillahi Robba.

Namun JANGAN SAMAKAN dan TUNTUT semua penggerak dakwah seperti ini, jangan tuntut semua ulama bisa kerjain semuanya, karena kondisi beda, tugas beda, metode dakwah beda.

Tulisan ini jujur saja, saya mau membela para sahabat ulama yang namanya gak bisa saya sebut, yang kehidupannya saya gak bisa ceritakan, yang saya amat sayang sama sahabat-sahabat saya ini.

Ada ulama yang sangat butuh perhatian kita. Ada guru ngaji kampung berilmu, yang rumah kontrakannya jadi tempat belajar tiga ratus santri setiap hari. Riil, siang sore malem.

Guru-guru ngaji informal ini gak punya kompetensi bikin yayasan, fund raising, atau bikin sosmed yang campaign aktivitas mereka.

Guru-guru ngaji berilmu ini tersembunyi di kampung-kampung, di gang-gang, menjadi pasak keberkahan di bumi Allah ini. Menjaga agar generasi ini bisa kenal huruf Al Quran, bisa ngaji, punya adab akhlaq.

Ditengah terjangan kemaksiatan di kampung-kampung, di gang-gang. Para guru ngaji ini menjadikan rumah-rumah petak mereka sebagai pertahanan terakhir penjagaan generasi.

Dan saya melihat WA nya langsung, ketika sebuah lembaga membantu mereka dengan hadiah sekedar seratus ribu per bulan. Terima kasih nya besar, sampai shalat bareng mendoakan donatur.

Seratus ribu.

Hanya seratus ribu hadiah.

Begitu berarti.

Artinya, betapa terjalnya kehidupan para ahli ilmu di negeri ini.

Semoga Allah tolong kita semua.

Banyak lagi yang saya mau tuliskan, jadi serial kedepan saja. Sudah kepanjangan.

Maa syaa Allah, wa tabarakallah.

Baarokallahu fiikum.

KabeL DakwaH
KabeL DakwaH Owner Gudang Software Al-Amanah

Posting Komentar untuk "Depresiasi Kompetensi - Masih Tentang Penghasilan Guru Tahfidz"