Beginilah Para Prajurit Pangeran Diponegoro Melanjutkan Perjuangan Melalui Pesantren
Oleh: Dr. Adian
Husaini
Tokoh Pesantren
Indonesia, KH Sholeh Iskandar, menyebut bahwa Pondok Pesantren adalah lembaga
tafaqquh fid-din dan iqamatud-din (lembaga untuk mendalami dan memperjuangkan
tegaknya agama). Itu memang sesuai dengan berdirinya berbagai pondok pesantren
di Pulau Jawa, yang dimotori oleh para panglima dan prajurit Pangeran
Diponegoro.
Perang Diponegoro telah
membawa dampak besar bagi penjajah Belanda. Sebanyak 15 ribu tentara Belanda
mati. Ironisnya, dari 15 ribu itu, ada 7000 serdadu Belanda yang berkebangsaan
pribumi. Inilah yang menjadi tantangan berat bagi pasukan Diponegoro. Mereka
harus berperang melawan sesama warga Indonesia. Bahkan, banyak yang masih punya
hubungan saudara.
Meskipun begitu, Belanda
akhirnya berhasil mengakhiri peperangan besar itu dengan cara yang licik.
Pangeran Diponegoro ditangkap saat melakukan perundingan. Penangkapan
Diponegoro kemudian mengakhiri perlawanan secara militer. Tapi, perjuangan
melawan penjajah tidak berakhir. Para panglima perang pasukan Diponegoro
kemudian melanjutkan perjuangan melalui pendidikan, yakni melalui pondok-pondok
pesantren.
Berikut ini sejumlah
contoh panglima dan pasukan perang Diponegoro yang mendirikan pondok-pondok
pesantren sebagai bentuk baru perjuangan melawan penjajahan. Data diambil dari
buku: Laskar Ulama-Santri dan Resolusi
Jihad (Ciputat: Pustaka Compass, 2014), karya Zainul Milal Bizawi.
(1) Kyai Abdus Salam. Ia
adalah salah satu pemimpin pasukan Diponegoro, yang juga dikenal sebagai
pendekar dan dai. Sebenarnya, Kyai ini
masih keturunan Prabu Brawijaya dari jalur Joko Tingkir (Mas Karebet).
Menyusul ditangkapnya P. Diponegoro, Kyai Abdus Salam menggeser perlawananannya dari Tegalrejo Yogyakarta ke Tambak Beras Jombang. Di sinilah, ia membangun langgar dan tempat pemondokan untuk 25 santri, sehingga dikenal juga sebagai “Pondok Selawe”.
Lembaga pendidikan inilah
yang di kemudian hari dikenal sebagai Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras.
Salah satu putrinya kemudian dinikahi oleh santrinya bernama Kyai Usman. Salah
satu putri Kyai Usman dinikahi oleh Kyai Asy’ari, ayah dari KH Hasyim Asy’ari,
tokoh pendiri NU. Putri Kyai Abdus Salam lainnya disunting oleh santrinya
bernama Kyai Said, dan memiliki anak bernama Kyai Chasbullah Said. Kyai
Chasbullah Said memiliki anak bernama KH Abdul Wahab Chasbullah, yang juga
pendiri NU.
(2)
Pangeran Rojoyo (Syech Abul Ghanaim). Ia mendirikan pondok
pesantren pertama di Kota Batu. Seluruh prajurit dan punggawa Pengeran Rojoyo
menjadi santri pertama pondok ini. Pesantren ini menyebarkan santri-santrinya
untuk berdakwah di beberapa daerah sekitar Batu, sampai ke Malang. Di setiap
daerah, Pangeran Rojoyo menempatkan satu santrinya untuk menyiarkan agama
Islam.
(3) Kyai Umar di
Semarang. Putra Kyai Umar, yakni Kyai Sholeh Darat merupakan tokoh yang berperan
penting dalam perkembangan perjuangan di Indonesia. Ia adalah guru spiritual RA
Kartini dan juga guru KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.
(4) Kyai Hasan Basyari
II. Ia adalah ajudan Pangeran Diponegoro. Salah seorang cucunya adalah KH
Moenawir, pendiri Pesanren Krapyak Yogyakarta. Diantara keturunan Kyai Hasan
Basyari nantinya ada yang mendirikan Pesantren Gontor.
(5) Syekh Baing Yusuf di
Purwakarta. Anggota Pasukan Diponegoro ini adalah guru dari Syekh Nawawi
al-Bantani, seorang ulama besar Indonesia.
(6) Kyai Muta’ad. Ia juga
anggota Pasukan Diponegoro yang kemudian mendirikan pesantren di Cirebon. Putra
Kyai Muta’ad, yaitu KH Abdul Djamil, dikenal sebagai ulama yang menemukan
potensi KH Hasyim Asy’ari. Ia juga membawa putranya, KH Abbas, ke Hijaz untuk
bersama-sama menuntut ilmu bersama KH Hasyim Asy’ari.
***
Begitulah, para ulama
tidak pernah berhenti berjuang fi-sabilillah dalam menegakkan agama Allah.
Ketika perjuangan secara militer mengalami kekalahan, maka mereka beralih ke
bidang pendidikan untuk menyiapkan kader-kader pejuang di masa depan. Peran
para santri didikan para prajurit Diponegoro itu menonjol, menyusul
dikeluarkannya Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ri, Oktober 1945.
Jadi, begitulah riwayat
pendirian pondok-pondok pesantren oleh para panglima dan prajurit Pangeran
Diponegoro. Karena itu, sangatlah tepat jika pesantren tetap dipertahankan
sebagai lembaga perjuangan. Sebab, pesantren memiliki kewajiban sejarah untuk
melanjutkan perjaungan para pendirinya.
Di era modern ini,
penjajahan di Indonesia tidak lagi dalam bentuk fisik, secara militer.
Tetapi, penjajahan terjadi dalam bidang
ekonomi, pemikiran dan kebudayaan. Pesantren tidak boleh terjebak ke dalam
pemikiran sekulerisme dan materialisme yang akan menggerus semangat perjuangan
dan membawa pesanren menuju kehancuran. Semoga
hal itu tidak terjadi! (Depok, 3 Mei 2023).
Posting Komentar untuk "Beginilah Para Prajurit Pangeran Diponegoro Melanjutkan Perjuangan Melalui Pesantren"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.