Hukum Takbir di Awal Bulan Dzulhijjah
Firman Allah ta’ala:
وَيَذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ
الأنْعَامِ
“Dan supaya mereka
menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah
telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak” (QS. Al-Hajj: 28).
وَاذْكُرُوا
اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ
عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan berzikirlah (dengan
menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang. Barangsiapa yang ingin
cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan
barang siapa yang ingin menangguhkan keberangkatannya dari dua hari itu), maka
tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah:
203).
Tentang penafsiran ‘beberapa hari yang telah ditentukan’ (أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ) dan ‘beberapa hari yang terbilang’ (أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ), ada beberapa riwayat berkaitan, di antaranya:
وَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ
وَالْأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ
Telah berkata Ibnu ‘Abbaas: “Dan berdzikirlah
(dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang telah ditentukan, yaitu
sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah), dan firman-Nya: ‘beberapa hari yang
terbilang’, yaitu hari-hari tasyriq” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara
mu’allaq di atas hadits no. 969).
أَخْبَرَنَاهُ
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى، قَالا: نا أَبُو
الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ، نا عَفَّانُ بْنُ
مُسْلِمٍ، عَنْ هُشَيْمٍ، نا أَبُو بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " الأَيَّامُ الْمَعْلُومَاتُ أَيَّامُ الْعَشْرِ،
وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ
"
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah
Al-Haafidh(1) dan Muhammad bin Muusaa(2), mereka berdua berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham(3): Telah mengkhabarkan kepada
kami Ibraahiim bin Marzuuq(4): Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Affaan bin
Muslim(5), dari Husyaim(6): Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bisyr(7), dari
Sa’iid bin Jubair(8), dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Beberapa hari yang telah
ditentukan’ yaitu sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah), dan ‘beberapa hari
yang terbilang’, yaitu hari-hari tasyriiq” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul-Iimaan no. 2552; shahih).
أَخْبَرَنَا
ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ،
أَنَّهُ سَأَلَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الأَيَّامِ الْمَعْلُومَاتِ،
قَالَ جَابِرٌ: هِيَ أَيَّامُ الْعَشْرِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb(9),
ia berkata: Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Lahii’ah(10), dari Abuz-Zubair(11),
bahwasannya ia pernah bertanya kepada Jaabir bin ‘Abdillah tentang makna
‘hari-hari yang telah ditentukan’. Jaabir berkata: “Ia adalah sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dalam Al-Jaami’ fii
Tafsiiril-Qur’aan, no. 191; hasan).
أَنْبَأَنِي
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، إِجَازَةً عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ، عَنِ
الرَّبِيعِ، قَالَ: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: " الأَيَّامُ
الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ مِنًى ثَلاثَةٌ بَعْدَ يَوْمِ النَّحْرِ وَهِيَ أَيَّامُ
التَّشْرِيقِ، وَالأَيَّامُ الْمَعْلُومَاتُ أَيَّامُ الْعَشْرِ فِيهَا يَوْمُ
النَّحْرِ "
Telah memberitakan kepadaku Abu ‘Abdillah
Al-Haafidh(12) dengan ijaazah, dari Abul-‘Abbaas(13), dari Ar-Rabii’(14), ia
berkata: Telah berkata Asy-Syaafi’iy rahimahullah(15): “Maksud ‘beberapa hari
yang terbilang’ adalah hari-hari Mina, yaitu tiga hari setelah hari Nahr
(‘Iedul-Adlhaa). Itulah hari-hari tasyriiq. Adapun ‘beberapa hari yang telah
ditentukan’, maksudnya adalah sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) yang termasuk di
dalamnya hari Nahr” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan
wal-Atsar no. 3275; shahih).
Dan yang lainnya.(16)
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سُلَيْمَانَ، عَنْ
مُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " مَا الْعَمَلُ
فِي أَيَّامٍ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ، قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ،
قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ
فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Ar’arah(17), ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah(18), dari
Sulaimaan(19), dari Muslim Al-Bathiin(20), dari Sa’iid bin Jubair(21), dari
Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau
bersabda: “Tidak ada amal (yang dilakukan) dalam hari-hari lain yang lebih
utama di dalamnya daripada (amal-amal) yang dilakukan pada sepuluh hari ini”.
Mereka (para shahabat) bertanya: “Tidak pula dengan jihad?”. Beliau menjawab:
“Tidak pula dengan jihad, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan jiwa dan
hartanya lalu ia tidak kembali membawa apapun (yaitu ia syahid)” (Shahiih
Al-Bukhaariy no. 969).
Dalam riwayat Ad-Daarimiy, ditambahkan
keterangan:
وَكَانَ سَعِيدُ
بْنُ جُبَيْرٍ إِذَا دَخَلَ أَيَّامُ الْعَشْرِ، اجْتَهَدَ اجْتِهَادًا شَدِيدًا
حَتَّى مَا يَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ
“Dan Sa’iid bin Jubair apabila memasuki
sepuluh hari bulan Dzulhijjah, ia sangat bersungguh-sungguh (dalam melaksanakan
ibadah) hingga hampir tidak sanggup melaksanakannya” (Sunan Ad-Daarimiy no.
1774; shahih).
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah
ditanya manakah yang lebih utama antara sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
dengan sepuluh hari terakhir bulan Ramadlaan. Beliau menjawab:
عشر الأواخر من
رمضان أفضل من جهة الليل ؛ لأن فيها ليلة القدر ، والعشر الأول من ذي الحجة أفضل
من جهة النهار ؛ لأن فيها يوم عرفة ، وفيها يوم النحر ، وهما أفضل أيام الدنيا ،
هذا هو المعتمد عند المحققين من أهل العلم ، فعشر ذي الحجة أفضل من جهة النهار ،
وعشر رمضان أفضل من جهة الليل ، لأن فيها ليلة القدر وهي أفضل الليالي، والله
المستعان
“Sepuluh hari terakhir
bulan Ramadlan lebih utama dari sisi malamnya, karena padanya terdapat
Lailatul-Qadr. Dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sisi
siangnya, karena padanya terdapat hari ‘Arafah dan hari Nahr dimana keduanya
merupakan seutama-tama hari di dunia. Inilah yang mu’tamad menurut para
peneliti dari kalangan ulama. Maka, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih
utama dari sisi siangnya, dan sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan lebih utama
dari sisi malamnya, karena padanya terdapat Lailatul-Qadr yang merupakan malam
yang paling utama. Wallaahul-musta’aan” (sumber: sini).
Akan tetapi ada ulama
lain yang menegaskan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama
sesuai dengan kemutlakannya.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
وهذا كله يدل
على أن عشر ذي الحجة أفضل من غيره من الأيام من غير استثناء هذا في أيامه.
فأما لياليه فمن
المتأخرين من زعم أن ليالي عشر رمضان أفضل من لياليه لاشتمالها على ليلة القدر
وهذا بعيد جدا.
“Dan ini semua
menunjukkan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari
hari-hari lain tanpa ada pengecualian dalam hari-harinya. Adapun
malam-malamnya, di kalangan muta’khkhiriin ada yang menyangka bahwa malam-malam
sepuluh hari terakhir lebih utama dari malam-malamnya (sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah) karena terdapat padanya lailatul-qadr. Pendapat ini sangat
jauh dari kebenaran....” (Lathaaiful-Ma’aarif, hal. 267).
Lailatul-qadar adalah
malam yang paling utama. Dikarenakan ia hanya satu malam saja, maka ia tidaklah
meliputi hari-hari lain di sepuluh hari terakhir bulan Ramadlaan.
Pendapat Ibnu Raajab ini
sesuai dengan dhahir hadits Ibnu ‘Abbaas di atas, dan juga dikuatkan oleh
lafadh lain dari jalan Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhum:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ جَبَلَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ، عَنْ
هِشَامٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا مِنْ أَيَّامٍ أَفْضَلُ عِنْدَ
اللَّهِ مِنْ أَيَّامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ
".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
‘Amru bin Habalah(22): Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwaan(23),
dari Hisyaam(24), dari Abuz-Zubair(25), dari Jaabir, ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah ada hari-hari yang lebih
utama di sisi Allah daripada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah” (Diriwayatkan
oleh Abu Ya’laa no. 2090; hasan).
حَدَّثَنَا
أَبُو كَامِلٍ، ثنا أَبُو النَّضْرِ، يَعْنِي: عَاصِمَ بْنَ هِلالٍ، عَنْ
أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامُ
الْعَشْرِ "، يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحَجَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil(26):
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nadlr, yaitu ‘Aashim bin Hilaal(27), dari
Ayyuub(28), dari Abuz-Zubair(29), dari Jaabir, bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Seutama-utama hari dunia adalah hari-hari
sepuluh” – yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.... (Diriwayatkan oleh
Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1125 dengan sanad dla’iif karena ‘Aashim –
ia perawi dla’iif - , namun menjadi hasan dengan penguat hadits sebelumnya).
Salah satu dzikir yang disyari’atkan bagi kaum
muslimin untuk memperbanyak pengucapannya ketika memasuki awal bulan Dzulhijjah
(tanggal 1) hingga berakhirnya hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) adalah
takbir.
وَكَانَ ابْنُ
عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ
يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ
عَلِيٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ
“Ibnu ‘Umar dan Abu
Hurairah pernah keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama (bulan
Dzulhijjah). Mereka berdua bertakbir, dan kemudian orang-orang pun bertakbir
mengikuti takbir mereka berdua. Dan Muhammad bin ‘Aliy bertakbir ketika selesai
shalat sunnah” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq di atas hadits
no. 969).
حَدَّثَنِي
إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ، عَنْ عَفَّانَ بْنِ مُسْلِمٍ، قَالَ: ثنا سَلامُ
بْنُ سُلَيْمَانَ أَبُو الْمُنْذِرِ الْقَارِئُ، قَالَ: ثنا حُمَيْدٌ الأَعْرَجُ،
عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: " كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا يَخْرُجَانِ أَيَّامَ الْعَشْرِ إِلَى السُّوقِ،
فَيُكَبِّرَانِ، فَيُكَبِّرُ النَّاسُ مَعَهُمَا، لا يَأْتِيَانِ السُّوقَ إِلا
لِذَلِكَ "
Telah mengkhabarkan kepadaku Ibraahiim bin
Ya’quub(30), dari ‘Affaan bin Muslim(31), ia berkata: Telah menceritakan kepada
kami Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir Al-Qaariy(32), ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Humaid Al-A’raj(33), dari Mujaahid(34), ia berkata:
“Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah keluar pada waktu
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah menuju pasar. Kemudian mereka
bertakbir, lalu bertakbirlah orang-orang bersama mereka berdua. Keduanya tidak
mendatangi pasar kecuali untuk hal tersebut (bertakbir)” (Diriwayatkan oleh
Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah no. 1643; hasan).
حَدَّثَنَا
أَبُو بِشْرٍ، قَالَ: ثنا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ
ثَابِتٍ، قَالَ: " كَانَ النَّاسُ يُكَبِّرُونَ أَيَّامَ الْعَشْرِ حَتَّى
نَهَاهُمُ الْحَجَّاجُ " وَالأَمْرُ بِمَكَّةَ عَلَى ذَلِكَ إِلَى الْيَوْمِ،
يُكَبِّرُ النَّاسُ فِي الأَسْوَاقِ فِي الْعَشْرِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr(35),
ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin ‘Umar(36), dari Hammaad
bin Salamah(37), dari Tsaabit(38), ia berkata: “Orang-orang biasa bertakbir pada
sepuluh hari pertama hingga Al-Hajjaaj (bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy) melarang
mereka”. Dan di Makkah hal itu masih dilakukan hingga hari ini, dimana
orang-orang bertakbir di pasar-pasar pada waktu sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah (Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah no 1645; shahih).
Catatan:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ شُعْبَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ الْحَكَمَ
وَحَمَّادًا عَنِ " التَّكْبِيرِ أَيَّامَ الْعَشْرِ ؟ فَقَالَا: مُحْدَثٌ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan
bin Mahdiy(39), dari Syu’bah(40), ia berkata: Aku bertanya kepada Al-Hakam(41)
dan Hammaad(42) tentang takbir pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka
mereka berdua menjawab: “Muhdats (bid’ah)” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
no. 14095; shahih).
Perkataan keduanya bahwa takbir pada sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah adalah muhdats dilatarbelakangi karena
ketidaktahuan mereka bahwa hal itu dilakukan oleh manusia, terutama salaf dari
kalangan shahabat, sebagaimana ditunjukkan riwayat berikut:
حَدَّثَنَا
أَبُو بِشْرٍ، قَالَ: ثنا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ شُعْبَةَ، قَالَ: "
سَأَلْتُ الْحَكَمَ، وَحَمَّادًا عَنِ التَّكْبِيرِ، أَيَّامَ الْعَشْرِ، فَلَمْ
يَعْرِفَاهُ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr(43),
ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin ‘Umar(44), dari Syu’bah(45),
ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Al-Hakam(46) dan Hammaad(47) tentang
takbir pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah, dan mereka berdua tidak
mengetahuinya (Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah no. 1644;
shahih).
è Orang yang mengetahui
menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui.
فَأَخْبَرَنِي
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ثنا
شُعْبَةُ بْنُ الْحَجَّاجِ، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءً، يُحَدِّثُ عَنْ عُبَيْدِ
بْنِ عُمَيْرٍ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاةِ
الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى صَلاةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ
التَّشْرِيقِ "
Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Bakr Muhammad
bin Ahmad bin Baalawaih(48): Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal(49): Telah menceritakan kepadaku ayahku(50): Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Ja’far(51): Telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin
Al-Hajjaaj(52), ia berkata: Aku mendengar ‘Athaa’(53) menceritakan dari hadits
dari ‘Ubaid bin ‘Umair(54), ia berkata: “’Umar bin Al-Khaththaab bertakbir
setelah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga shalat Dhuhur pada akhir hari-hari
tasyriiq” (Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 1/299; shahih).
فَحَدَّثَنَاهُ
أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أَنْبَأَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا
هَنَّادٌ، ثنا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ
شَقِيقٍ، قَالَ: كَانَ عَلِيٌّ " يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ غَدَاةَ
عَرَفَةَ، ثُمَّ لا يَقْطَعُ حَتَّى يُصَلِّيَ الإِمَامُ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ
التَّشْرِيقِ، ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ
"
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr
bin Ishaaq(55): Telah memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad(56): Telah
menceritakan kepada kami Hanaad(57): Telah menceritakan kepada kami Husain bin
‘Aliy(58), dari Zaaidah(59), dari ‘Aashim(60), dari Syaqiiq(61), ia berkata:
“’Aliy bertakbir setelah shalat Shubuh di hari ‘Arafah, lalu ia tidak menghentikannya
hingga imam shalat di akhir hari-hari tasyriq, kemudian ia bertakbir setelah
Ashar” (Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 1/299; hasan).
حَدَّثَنَا
جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ نُبَيْطٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ: أَنَّهُ
كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ
مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin ‘Aun(62),
dari Salamah bin Nubaith(63), dari Adl-Dlahhaak(64): Bahwasannya ia biasa
bertakbir mulai shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga shalat ‘Ashar pada akhir
hari-hari tasyriq (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5688; shahih).
Sebagian ulama ada yang membagi takbir menjadi
takbir muthlaq dan muqayyad. Yang dimaksud dengan takbir muthlaq adalah takbir
yang diucapkan ketika masuk awal bulan Dzulhijjah hingga penghujung hari
tasyriq. Adapun takbir muqayyad adalah takbir yang mulai diucapkan setelah
shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga akhir shalat ‘Ashar atau shalat Maghrib
pada akhir hari tasyriq, setiap selesai shalat wajib.
Al-Qaadliy Abu Ya’laa rahimahullah berkata:
التكبير في
الأضحى مطلق ومقيد؛ فالمقيد عقيب الصلوات، والمطلق في كل حال في الأسواق وفي كل
زمان
“Takbir pada hari Adlhaa itu ada yang muthlaq
dan muqayyad. Takbir muqayyad diucapkan setelah shalat-shalat, dan takbir
muthlaq diucapkan pada setiap keadaan, di pasar-pasar dan di semua waktu yang ada”
(Al-Mughniy, 3/256).
Hal serupa di atas juga
difatwakan oleh sebagian ulama kontemporer, semoga Allah menjaga dan memberikan
rahmat kepada mereka.
Akan tetapi, pembatasan
takbir yang diucapkan setiap usai shalat wajib, maka itu tidak didasarkan pada
dalil.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy
rahimahullah berkata:
ليس -فيما نعلم-
للتكبير المُعتاد دُبر الصَّلوات في أيامِ العيد؛ ليس له وقتٌ مَحدود في السُّنة؛
وإنما التَّكبير هو من شِعار هذه الأيام؛ بل أعتقد أن تقييدَها بدُبر الصلوات أمرٌ
حادِث لم يكنْ في عهدِ النبي -صلى الله عليه وآله وسلم.
فلذلك يكون
الجواب البدهي: أن تقديم الأذكار المعروفة دبر الصلوات هو السُّنة، أما التكبير؛
فيجوز له في كل وقت
“Sepanjang yang kami ketahui, takbir yang
dibiasakan pada setiap akhir shalat pada hari-hari ‘Ied tidaklah mempunyai
waktu yang ditentukan (khusus) dalam sunnah. Takbir itu merupakan syi’aar bagi
hari-hari ini (yaitu hari ‘Ied – Abul-Jauzaa’). Bahkan aku meyakini bahwa
membatasinya pada akhir shalat-shalat (wajib) merupakan perkara yang
baru/diada-adakan yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi
wa sallam. Oleh karena itu jawaban yang tidak memerlukan penjelasan:
mendahulukan dzikir-dzikir yang ma’ruf pada akhir shalat-shalat (wajib) itulah
yang sunnah. Adapun takbir, maka ia diperbolehkan pada setiap waktu” (Dari kaset
Silsilatul-Hudaa wan-Nuur no. 392 – menit 00:46:27).
السائل: هل يقيد
التكبير في أيام التشريق فيما بعد الصلوات
الشيخ: لا، لا
يقيد؛ بل تقييدُه مِن البدع؛ إنما التكبير بكل وقتٍ من أيام التشريق.
السائل: وأيام
العشر
الشيخ: وأيام
العشر كذلك.
Penanya: “Apakah takbir pada hari-hari
tasyriiq ditaqyid/dibatasi setelah selesai shalat-shalat (wajib)?”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy: “Tidak, tidak
dibatasi, bahkan membatasinya termasuk bid’ah. Takbir itu dilakukan di
seluruh waktu pada hari-hari tasyriiq”.
Penanya: “Dan juga
sepuluh hari bulan Dzulhijjah?”.
Asy-Syaikh Al-Albaaniy:
“Sepuluh hari bulan Dzulhijjah juga seperti itu”.
(Silsilatul-Hudaa
wan-Nuur, kaset no. 410 – menit 00:36:12).
Baca juga penjelasan
Asy-Syaikh Al-Firkuuz hafidhahullah yang semisal di sini.
Apa yang dikatakan oleh
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah tersebut kuat, karena riwayat-riwayat para
shahabat yang disebutkan di atas tidak ada yang menjelaskan kekhususan takbir
setelah selesai shalat fardlu. Bahkan ia diucapkan di semua waktu, termasuk
padanya seusai shalat fardlu. Perhatikan
juga beberapa atsar berikut:
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ
أَبُو عُبَيْدٍ: فَحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ
عَطَاءٍ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ "
كَانَ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ
فَيُكَبِّرُونَ، فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ السُّوقِ فَيُكَبِّرُونَ، حَتَّى تَرْتَجَّ
مِنًى تَكْبِيرًا وَاحِدًا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah
Al-Haafidh(65): Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq(66), ia
berkata: Telah berkata Abu ‘Ubaid(67): Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin
Sa’iid(68), dari Ibnu Juraij(69), dari ‘Athaa’(70), dari ‘Ubaid bin ‘Umair(71),
dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya ia pernah
bertakbir di kubbahnya di Minaa, lalu orang-orang yang ada di masjid
mendengarnya dan kemudian ikut bertakbir. Orang yang ada di pasar
pun mendengarnya dan mereka ikut bertakbir, hingga Minaa bergemuruh oleh takbir
yang satu. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 3/312. Sanadnya terputus, akan
tetapi secara keseluruhan atsar ini shahih. Khusus untuk lafadh 'takbiiran
wahidan', hanya dibawakan oleh Al-Baihaqiy. Silakan
baca artikel ini).
ثَنَا أَحْمَدُ،
قَالَ: ثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ نَافِعٍ "
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ تِلْكَ الْأَيَّامَ بِمِنًى فِي دُبُرِ
الصَّلَوَاتِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَفِي مَمْشَاهُ وَفِي طَرِيقِهِ، تِلْكَ
الْأَيَّامَ جَمِيعًا "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad(72), ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid(73), dari Ibnu Juraij(74),
dari Naafi’(75): Bahwasannya Ibnu ‘Umar bertakbir pada hari-hari tersebut di
Minaa di akhir shalat-shalatnya, di kemahnya, dan di jalannya pada hari-hari
itu semuanya (Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Masaail Ahmad no. 799; shahih.
‘An’anah Ibnu Juraij dari Naafi’ ini tidak merusak atsar ini, karena dalam
riwayat yang dibawakan Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath, ia telah menjelaskan
penyimakan riwayatnya dari Naafi’).
Atau jika kita coba
memahami antara kedua pendapat tersebut secara bersamaan, maka tidaklah
bertentangan, karena hanya perbedaan istilah saja. Sebab, jika seseorang jika
bertakbir seusai shalat bersamaan itu juga ia juga bertakbir di waktu yang
lain, maka pada hakekatnya ia tidak melakukan pembatasan. Wallaahu a’lam.
Bagaimana lafadh takbir
tersebut?.
Tidak ada lafadh takbir
dalam bahasan ini yang marfuu’ lagi shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Akan tetapi yang ada adalah beberapa lafadh yang diucapkan oleh para
shahabat (mauquuf). Di antaranya
sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَارِثِ الْفَقِيهُ، أنبأ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ،
ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا بُنْدَارٌ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ
الْحَكَمِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ " يُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ
عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ النَّفْرِ، لا يُكَبِّرُ فِي الْمَغْرِبِ: اللَّهُ
أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ
أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin
Al-Haarits Al-Faqiih(76): Telah memberitakan Abu Muhammad bin Hayyaan(77):
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa(78): Telah menceritakan
kepada kami Bundaar(79): Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid(80),
dari Al-Hakam(81), dari ‘Ikrimah(82), dari Ibnu ‘Abbaas: Bahwasannya ia
bertakbir mulai waktu pagi/shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari nafar,
dan tidak bertakbir pada waktu maghrib: Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu
akbar, wa lillaahil-hamd, Allaahu akbar wa ajallu, Allaahu akbar ‘alaa maa
hadaanaa” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 3/315; shahih).
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ، عَنْ أَبِي بَكَّارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ: " أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ
عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ لَا يُكَبِّرُ فِي الْمَغْرِبِ:
" اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ
وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
"
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Sa’iid Al-Qaththaan(83), dari Abu Bakkaar(84), dari ‘Ikrimah(85), dari Ibnu
‘Abbaas: Bahwasannya ia (Ibnu ‘Abbaas) bertakbir mulai shalat Shubuh pada hari
‘Arafah hingga akhir hari-hari tasyriiq pada shalat Maghrib dengan mengucapkan:
‘Allaahu akbar kabiiraa, Allaahu akbar kabiiraa, Allaahu akbar wa ajallu,
Allaahu akbar, wa lillaahil-hamd” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/73;
shahih).
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ، قَالَ: ثنا ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ،
قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: " اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ
الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ
الْحَمْدُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ
وَلَهُ الْحَمْدُ........
Telah menceritakan kepada kami Ahmad(86), ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah(87), dari At-Taimiy(88),
dari Abu Mijlaz(89), ia berkata: “Adalah Ibnu ‘Umar berkata: ‘Allaahu akbar wa
lillaahil-hamd, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd, Allaahu akbar wa
lillaahil-hamd, Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-Mulku wa
lahul-hamdu…..(kemudian ia berdoa)” (Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam
Al-Masaail no. 706; shahih).
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ حَسَنِ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي
الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ: " أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ
التَّشْرِيقِ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،
وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’(90),
dari Hasan bin Shaalih(91), dari Abu Ishaaq(92), dari Abul-Ahwash(93), dari
‘Abdullah (bin Mas’uud): Bahwasannya ia bertakbir pada hari-hari tasyriiq:
‘Allaahu akbar, Allaahu akbar, Laa ilaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu
akbar wa lillaahil-hamd” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/74; shahih –
atsar ini mempunyai beberapa penguat).
Hukum Takbir Jama'iy atau Takbir Berjamaah?
Para ulama dalam Lajnah
Daaimah menjelaskan:
فالتكبير مشروع
في ليلتي العيدين، وفي عشر ذي الحجة مطلقاً، وعقب الصلوات من فجر يوم عرفة إلى آخر
أيام التشريق؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
عَلَى مَا هَدَاكُمْ) (البقرة: من الآية185)، وقوله تعالى: (وَاذْكُرُوا اللَّهَ
فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ) (البقرة: من الآية203)، ونقل عن الإمام أحمد - رحمه
الله - أنه سئل: أي حديث تذهب إلى أن التكبير من صلاة الفجر يوم عرفة إلى آخر أيام
التشريق؟ قال: بالإجماع. لكن التكبير الجماعي بصوت واحد ليس بمشروع بل ذلك بدعة؛
لما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: "من أحدث في أمرنا هذا ما ليس
منه فهو رد"، ولم يفعله السلف الصالح، لا من الصحابة، ولا من التابعين، ولا
تابعيهم، وهم القدوة، والواجب الاتباع وعدم الابتداع في الدين. والله ولي التوفيق.
وصلى الله على
نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
“Takbir itu disyari’atkan diucapkan pada malam
‘Iedain, dan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah secara muthlaq dan
setelah shalat-shalat (fardlu) mulai fajar hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari
tasyriiq. Hal itu berdasarkan firman Allah ta’ala: ‘Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu’ (QS. Al-Baqarah: 185), dan juga firman-Nya ta’ala: ‘Dan berzikirlah
(dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang’ (QS. Al-Baqarah:
183). Dan ternukil dari Al-Imaam Ahmad – rahimahullah – bahwasannya ia pernah
ditanya: ‘Berdasarkan hadits yang manakah engkau berpendapat bahwa takbir
dilakukan mulai dari shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari tasyriiq?’.
Ia menjawab: ‘Dengan ijmaa’’.
Akan tetapi takbir
jama’iy dengan suara yang satu tidaklah disyari’atkan, bahkan itu merupakan
bid’ah, ketika shahih hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan
agama kami yang bukan merupakan bagian darinya, maka tertolak’. Perbuatan itu
tidak pernah dilakukan para as-salafush-shaalih, tidak dari kalangan shahabat,
tabi’iin, dan taabi’ut-taabi’iin; dan mereka adalah panutan (dalam agama). Dan
yang wajib adalah ittiba’ dan meniadakan ibtidaa’ (berbuat bid’ah) dalam agama.
Wallaahu waliyyut-taufiiq. Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa ‘alaa
aalihi wa shahbihi ajma’iin” (Fatwa no. 9887 – dengan ketua Ibnu Baaz
rahimahullah).
Ini saja yang dapat saya
tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam
bishs-shawwaab.
Oleh: Abul Jauzaa' Dony Arif Wibowo
NB: Penomoran
hadits/atsar dalam artikel ini sepenuhnya mengacu pada penomoran hadits pada
software Jawaami’ul-Kalim 4.5, untuk menghemat waktu. Mohon untuk dimaklumi.
Footnote:
(1) Muhammad bin
‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy
Ath-Thuhmaaniy An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim; seorang
imam, tsiqah, pemilik banyak tulisan. Lahir tahun 321 H dan wafat tahun 405 H (lihat:
Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 460-462 no. 161).
(2) Muhammad bin Muusaa
bin Al-Fadhl bin Syaadzaan, Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru Ash-Shairafiy
An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun. Wafat tahun 421 H (lihat:
Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 500-503 no. 178).
(3) Muhammad bin Ya’quub
bin Yuunus bin Ma’qil bin Sinaan – terkenal dengan nama Al-Asham; seorang
muhaddits di jamannya, tsiqah, ma’muun, tidak diperselisihkan tentang kejujuran
dan keshahihan penyimakan haditsnya (lihat: Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
15/452-460 no. 258).
(4) Ibraahiim bin Marzuuq
bin Diinaar Al-Umawiy, Abu Ishaaq Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-11, wafat tahun 270 H di Mesir. Dipakai oleh An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 115 no. 249).
(5) ‘Affaan bin Muslim
bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang
tsiqah, tsabt, lagi haafidh. Termasuk thabaqah 10, wafat tahun 219 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 681-682 no. 4659 dan Al-Kaasyif, 2/27-28 no.
3827).
(6) Husyaim bin Basyiir
bin Al-Qaasim As-Sulamiy Abu Mu’aawiyyah; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun
banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun
104/105 H, dan wafat tahun 183 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal.
1023 no. 7362).
(7) Ja’far bin Iyaas, Abu
Bisyr Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun
125/126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 198 no. 938).
(8) Sa’iid bin Jubair bin
Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi
faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 95 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 374-375 no. 2291).
(9) ‘Abdullah bin Wahb
bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang
yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H,
dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no.
3718).
(10) ‘Abdullah bin
Lahii’ah bin ‘Uqbah Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Nashr Al-Mishriy; seorang
yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Termasuk
thabaqah ke-7, wafat tahun 174 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 538 no. 3587).
Namun dalam riwayat ini,
Ibnu Wahb meriwayatkan darinya sebelum kitabnya terbakar sehingga riwayatnya
lurus.
(11) Muhammad bin Muslim
bin Tadrus Al-Qurasyiy Al-Asadiy Abuz-Zubair Al-Makkiy; seorang yang tsiqah,
namun sering melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 126 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 895 no. 6331).
(12) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(13) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(14) Ar-Rabii’ bin
Sulaimaan bin ‘Abdil-Jabbaar bin Kaamil Al-Muradiy Al-Muadzdzin,
shaahibusy-Syaafi’iy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun
270 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 320 no. 1904).
(15) Muhammad bin Idriis
bin Al-‘Abbaas bin ‘Utsmaan bin Syaafi’ Al-Muthallibiy Al-Qurasyiy, Abu
‘Abdillah Asy-Syaafi’iy Al-Makkiy; seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan
lagi. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 823-824 no. 5754).
(16) Ada beberapa
penafsiran lain selain yang disebutkan di atas, di antaranya:
حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُنْقِذٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، عَنْ
حَيْوَةَ بْنِ شُرَيْحٍ، وَغَيْرِهِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلانَ، عَنْ نَافِعٍ،
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، كَانَ يَقُولُ: " الأَيَّامُ الْمَعْلُومَاتُ يَوْمُ
النَّحْرِ وَيَوْمَانِ بَعْدَهُ، يَعْنِي أَيَّامَ التَّشْرِيقِ، وَأَيَّامُ
الْمَعْدُودَاتُ هِيَ الأَيَّامُ الثَّلاثَةُ لَيْسَ فِيهَا يَوْمُ النَّحْرِ "
Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin
Munqidz, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb, dari
Haiwah bin Syuraih dan yang lainnya, dari Muhammad bin ‘Ajlaan, dari Naafi’,
dari Ibnu ‘Umar, ia pernah berkata: “Beberapa hari yang telah ditentukan’,
yaitu hari Nahr dan dua hari setelahnya, yaitu hari-hari tasyriiq. Adapun
‘beberapa hari yang terbilang’, yaitu hari-hari tasyriiq yang tiga tanpa
mengikutkan hari Nahr” (Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no.
2193; hasan).
(17) Muhammad bin ‘Ar’arah bin Al-Barnad
Al-Qurasyiy As-Saamiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-9, wafat tahun 213 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, dan Abu Daawud (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 878 no. 6177).
(18) Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward
Al-‘Atakiy Al-Azdiy Abul-Busthaam Al-Waasithiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah,
haafidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
(Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805).
(19) Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy
Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat.
Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 414 no. 2630).
(20) Muslim bin ‘Imraan Al-Bathiin, Abu
‘Imraan/‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 940 no. 6682).
(21) Telah lewat penyebutan keterangannya.
(22) Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbaad bin
Habalah bin Abi Ruwaad Al-‘Atakiy, Abu Ja’far Al-Bashriy; seorang yang shaduuq.
Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 234 H. Dipakai oleh Muslim dan Abu Daawud (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 883 no. 6226).
(23) Muhammad bin Marwaan bin Qudaamah
Al-‘Uqailiy, Abu Bakr Al-Bashriy – ma’ruf dengan laqab Al-‘Ijliy; seorang yang
shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai
oleh Abu Daawud dalam An-Naasikh dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 894
no. 6322).
(24) Hisyaam bin Abi ‘Abdillah Sanbur
Ad-Dastawaa’iy, Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk
thabaqah ke-7, lahir tahun 76 H, dan wafat tahun 154 H. Dipakai Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1022 no. 7349).
(25) Telah lewat penyebutan keterangannya.
(26) Fudlail bin Husain bin Thalhah
Al-Bashriy, Abu Kaamil Al-Jahdariy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk
thabaqah ke-10, wafat tahun 237 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq,
Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 785 no. 5461).
(27) ‘Aashim bin Hilaal Al-Baaraqiy,
Abun-Nadlr Al-Bashriy; seorang yang padanya ada kelemahan (layyin). Termasuk
thabaqah ke-7. Dipakai oleh An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 474 no.3098 ).
(28) Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sukhtiyaaniy,
Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah. Termasuk
thabaqah ke-5, dan wafat tahun 131 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal.
158 no. 610).
(29) Telah lewat penyebutan keterangannya.
(30) Ibraahiim bin Ya’quub bin Ishaaq
As-Sa’diy, Abu Ishaaq Al-Juuzajaaniy; seorang yang tsiqah lagi haafidh.
Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 259 H. Dipakai oleh Abu Daawud,
At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 275).
(31) Telah lewat penyebutan keterangannya.
(32) Sallaam bin Sulaimaan Al-Muzanniy,
Abul-Mundzir Al-Qaari’; seorang yang shaduuq, namun sering ragu (yahimu).
Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 171 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy
(Taqriibut-Tahdziib, hal. 426 no. 2720).
(33) Humaid bin Qais Al-A’raj Al-Makkiy, Abu
Shafwaan Al-Qaari’ Al-Asadiy; seorang yang dikatakan: Laa ba’sa bih (tidak
mengapa dengannya). Termasuk thabaqah 6, wafat tahun 130 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 275 no. 1565).
Akan tetapi penilaian
padanya lebih condong pada ketsiqahan. Ia telah ditsiqahkan jumhur ahli hadits
seperti: Ibnu Hibbaan, Abu Daawud, Ahmad dalam satu riwayat, Abu Zur’ah,
At-Tirmidziy, Al-‘Ijliy, Al-Bukhaariy, Ibnu Sa’d, Ibnu Ma’iin dalam satu
riwayat, Al-Fasawiy, Ibnu Khiraasy, Ibnu ‘Abdil-Barr, Adz-Dzahabiy.
(34) Mujaahid bin Jabr,
Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang
tafsir. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 921 no. 6523).
(35) Bakr bin Khalaf
Al-Bashriy, Abu Bisyr; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat
setelah tahun 240 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud, dan
Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 175 no. 746).
Akan tetapi yang benar –
wallaahu a’lam - , ia seorang yang tsiqah sebagaimana disimpulkan oleh
Adz-Dzahabiy. Telah ditsiqahkan oleh Abu Haatim Ar-Raaziy, Ibnu Hibbaan, dan
Maslamah bin Al-Qaasim. Tidak ada ulama yang memberikan jarh padanya, dan hanya
Ibnu Ma’iin yang mengatakan shaduuq atau maa ba’sa bih (tidak mengapa
dengannya).
(36) Bisyr bin ‘Umar bin
Al-Hakam bin ‘Uqbah Az-Zahraaniy Al-Azdiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang
yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 207/209 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 170 no. 704).
(37) Hammaad bin Salamah
bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah bin Abi Sakhrah maulaa Rabii’ah bin Maalik
bin Handhalah bin Bani Tamiim; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang
paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya
di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507).
(38) Tsaabit bin Aslam
Al-Bunaaniy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk
thabaqah ke-4, wafat tahun 123 H/127 H. Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 185 no.
818).
(39) ‘Abdurrahmaan bin
Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy; seorang
yang tsiqah, tsabt, lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 135 H,
dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no.
4044).
(40) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(41) Al-Hakam bin
‘Utaibah Al-Kindiy, Abu Muhammad/’Abdillah/’Umar Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah, tsabat, lagi faqiih, namun kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah
ke-5, dan wafat tahun 113 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 263 no. 1461).
(42) Hammaad bin Abi
Sulaimaan Muslim Al-Asy’ariy, Abu Ismaa’iil Al-Kuufiy; seorang yang faqiih lagi
shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat
tahun 120 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad,
Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 269 no. 1508)
(43) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(44) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(45) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(46) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(47) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(48) Muhammad bin Ahmad
bin Baalawaih, Abu Bakr Al-Jalaab An-Naisaabuuriy; seorang imam di jamannya.
Termasuk thabaqah ke-15, dan wafat tahun 340 H (Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
15/419 no. 233).
(49) ‘Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan
Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun
290 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 490 no. 3222).
(50) Ahmad bin bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdillah
Al-Marwaziy; seorang imam yang tsiqah, haafidh, faqiih, lagi hujjah. Termasuk
thabaqah ke-10, lahir tahun 164 H, dan wafat tahun 241 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 98 no. 97).
(51) Muhammad bin Ja’far
Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy, dikenal dengan nama Ghundar; seorang
yang tsiqah shahiihul-kitaab, namun padanya ada (sedikit) kelalaian (ghaflah).
Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 293 H/294 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 833 no. 5824).
(52) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(53) ‘Athaa’ bin Abi
Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan. Termasuk
thabaqah ke-3, lahir tahun 88 H, dan wafat tahun 114 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 677 no. 4623).
(54) ‘Ubaid bin ‘Umair
bin Qataadah bin Sa’d Al-Laitsiy, Abu ‘Aashim Al-Makkiy; seorang yang
disepakati akan ketsiqahannya. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 68 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 651 no. 4416).
(55) Abu Bakr Ahmad bin
Ishaaq bin Ayyuub bin Yaziid An-Naisaabuuriy Asy-Syaafi’iy Ash-Shibghiy;
seorang imam, mufti, muhaddits, syaikhul-Islaam, lagi tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-14, lahir tahun 258 H, dan wafat tahun 342 H (Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
15/483-489 no. 274).
(56) ‘Abdullah bin
Muhammad bin ‘Ubaid bin Sufyaan Al-Qurasyiy, Abu Bakr bin Abid-Dun-yaa
Al-Baghdaadiy Al-Haafidh; seorang yang shaduuq, mempunyai banyak tulisan.
Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 281 H. Dipakai oleh Ibnu Maajah dalam
At-Tafsiir (Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3616).
(57) Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi
Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10,
lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 243 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam
Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1025 no. 7370).
(58) Al-Husain bin ‘Aliy bin Al-Waliid
Al-Ju’fiy, Abu ‘Abdillah/Muhammad Al-Kuufiy Al-Muqri’; seorang yang tsiqah lagi
‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 203/204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 249 no. 1344).
(59) Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy,
Abush-Shalt Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi shaahibus-sunnah.
Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H atau setelahnya. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 333 no. 1993).
(60) ‘Aashim bin Bahdalah, Ibnu Abi Nujuud
Al-Asadiy Al-Kuufiy, Abu Bakr Al-Muqri’; seorang yang shaduuq, namun mempunyai
beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 127 H/128 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 471 no. 3071).
(61) Syaqiiq bin Salamah Al-Asadiy, Abu Waail
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, wafat pada pemerintahan
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 439 no.
2832).
(62) Ja’far bin ‘Aun bin Ja’far bin ‘Amru bin
Huraits Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu ‘Aun Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq.
Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 120 H/130 H, dan wafat tahun 206 H/207 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 200 no. 956).
Bahkan, penilaian kepadanya cenderung pada
ketsiqahan, karena ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahiin,
Al-‘Ijliy, Ibnu Qaani’, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Ma’iin tanpa diketahui adanya jarh
kepadanya. Wallaahu a’lam.
(63) Salamah bin Nubaith bin Syariith bin Anas
Al-Asyja’iy, Abul-Farraas Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-5. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 402 no. 2524).
(64) Adl-Dlahhaak bin Muzaahim Al-Hilaaliy,
Abul-Qaasim/Muhammad Al-Khurasaaniy; seorang yang shaduuq, namun banyak
melakukan irsaal. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat setelah tahun 100 H.
Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 459 no. 2995).
(65) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(66) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(67) Al-Qaasim bin Salaam
Al-Baghdaadiy Al-Harawiy, Abu ‘Ubaid Al-Faqiih Al-Qaadliy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy
secara mu’allaq, Abu Daawud, dan At-Tirmidziy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 791 no.
5497).
(68) Yahyaa bin Sa’iid
bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin, haafidh,
imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1055-1056 no. 7607).
(69) ‘Abdul-Malik bin
‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid; seorangyang
tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan
irsaal. Termasuk thabaqah ke-6, lahir tahun 76 H, dan wafat tahun 149 H/150
H/151 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221).
(70) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(71) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(72) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(73) Telah lewat penyebutan
keterangannya.
(74) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(75) Naafi’ Abu ‘Abdillah
Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur
(w. 117 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136).
(76) Ahmad bin Muhammad
bin Ahmad bin ‘Abdillah bin Al-Haarits Al-Faqiih, Abu Bakr At-Tamiimiy
Al-Ashbahaaniy; seorang imam yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-18, dan wafat
tahun 430 H (Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 96-98
no. 21).
(77) Namanya: ‘Abdullah
bin Muhammad bin Ja’far bin Hayyaan – terkenal dengan nama Abusy-Syaikh;
seorang imam yang tsiqah, ma’muun, lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-15, lahir
tahun 274, dan wafat tahun 369 H (Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/276-280 no. 196).
(78) Muhammad bin Yahyaa
bin Sulaimaan Al-Marwaziy Al-Baghdaadiy, Abu Bakr; seorang imam yang shaduuq.
Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 298 H (Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
14/48-49 no. 21).
(79) Muhammad bin Basyaar
bin ‘Utsmaan Al-‘Abdiy Abu Bakr Al-Bashriy yang terkenal dengan sebutan
Bundaar; seorang perawi yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 167
H, dan wafat tahun 252 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 828 no.
5791).
(80) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(81) Al-Hakam bin
Farruukh, Abu Bakkaar Al-Ghazzaal Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-6. Dipakai oleh An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 263 no. 1465).
(82) ‘Ikrimah Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah,tsabat, lagi
faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 104 H, atau dikatakan setelah itu,
di Madinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no. 4707).
(83) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(84) Telah lewat
penyebutan keterangannya (catatan kaki no. 81).
(85) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(86) Telah lewat
penyebutan keterangannya.
(87) Ismaa’il bin
Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy Al-Bashriy, yang terkenal dengan nama Ibnu
‘Ulayyah; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun
110 H, dan wafat tahun 193 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 136 no.
420).
(88) Sulaimaan bin
Tharkhaan At-Taimiy, Abul-Mu’tamir Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid.
Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 46 H, dan wafat tahun 143 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 409 no. 2590).
(89) Laahiq bin Humaid bin
Sa’iid As-Saduusiy, Abu Mijlaz Al-Bashriy Al-A’war; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 106 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1046 no. 7540).
(90) Wakii’ bin
Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah
tsabat, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 127 H/128 H/129 H, dan
wafat tahun 196 H/197 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no.
7464).
(91) Al-Hasan bin Shaalih
bin Shaalih bin Hay Al-Hamdaaniy Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang
yang tsiqah lagi ‘aabid, tertuduh ber-tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-7, lahir
tahun 100 H, dan wafat tahun 169 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam
Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 239 no. 1260).
(92) ‘Amru bin ‘Abdillah
bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy Al-Kuufiy, Abu Ishaaq As-Sabii’iy; seorang yang tsiqah,
banyak haditsnya, ‘aabid, namun bercampur hapalannya di akhir umurnya. Termasuk
thabaqah ke-3, dan wafat tahun 129 H dalam usia 96 tahun. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 739 no. 5100).
(93) ‘Auf bin Maalik bin Nadhlah Al-Asyja’iy Al-Jusyamiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 758 no. 5253).
Posting Komentar untuk "Hukum Takbir di Awal Bulan Dzulhijjah"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.