Bolehkah ikut serta merayakan dan mengucapkan Hari Raya orang kafir?
Selalu saja berulang
setiap tahun pembahasan tentang: bolehkah ikut serta merayakan dan mengucapkan
hari raya orang kafir? Seakan-akan telah menjadi agenda tahunan kaum muslimin
membicarakannya. Dan memang hanya kaum muslimin yang menaruh perhatian terhadap
kemurnian ‘aqidah mereka. Meskipun orang-orang kafir dan para penjilat dari
kalangan munafiqin sangat getol menjajakan kolak basi mereka yang meracuni umat
Islam, alhamdulillah, senantiasa ada orang-orang yang berdiri menjelaskan dan
membela agama-Nya, sepanjang masa, hingga kelak menjelang kiamat tiba.
Para ulama telah semenjak
dulu menjelaskan keharaman dua perkara tersebut bagi kaum muslimin.
Allah ﷻ
berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ
عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا
وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada
kamu di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari
dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” (QS. An-Nisaa’: 140)
Al-Qurthubiy rahimahullah menjelaskan:
فدل بهذا على
وجوب اجتناب أصحاب المعاصي إذا ظهر منهم منكر ؛ لأن من لم يجتنبهم فقد رضي فعلهم،
والرضا بالكفر كفر، قال الله عز وجل: ﴿إنَّكُمْ إذًا مِّثْلُهُمْ﴾ فكل من جلس في
مجلس معصية ولم ينكر عليهم يكون معهم في الوزر سواء، وينبغي أن ينكر عليهم إذا
تكلموا بالمعصية وعملوا بها، فإن لم يقدر على النكير عليهم فينبغي أن يقوم عنهم
حتى لا يكون من أهل هذه الآية. وإذا ثبت تجنب أصحاب المعاصي كما بينا فتجنب أهل
البدع والأهواء أولى
”Ayat tersebut menunjukkan wajibnya menjauhi
para pelaku kemaksiatan apabila nampak pada diri mereka kemunkaran, karena
orang yang tidak menjauhi mereka berarti meridlai perbuatan mereka, sementara
ridla terhadap kekufuran merupakan kekufuran. Allah ’azza wa jalla
berfirman: ”Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu
serupa dengan mereka”. Maka setiap orang yang berada di dalam majelis
kemaksiatan sedangkan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, maka ia akan
menanggung dosa yang sama bersama mereka. Jadi seharusnya ia mengingkari
perbuatan mereka ketika mereka berbicara dan melakukan kemaksiatan. Apabila ia
tidak sanggup mengingkarinya, hendaknya ia meninggalkan mereka sehingga ia
tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini.
Apabila ditetapkan dalam syari’at Islam sikap menjauhi para pelaku maksiat
sebagaimana telah kami jelaskan, maka menjauhi ahlul-bid’ah dan pengikut hawa
nafsu lebih layak lagi” (Tafsir Al-Qurthubi 5/418)
Kemunkaran perayaan hari
besar orang kafir berupa kesyirikan, kekejian, dan kemaksiatan bukan sesuatu
yang samar. Bagaimana kita - kaum muslimin - bisa ridla hadir dalam majelis
perayaan mereka yang berisi penuhanan selain Allah, pengagungan terhadap dewa
dan setan, atau penampakan syi’ar-syiar kekufuran yang sangat dicela dalam
syariat Islam?.
Ketika menjelaskan
tentang ‘ibaadurrahmaan’ (hamba-hamba Ar-Rahmaan yang shalih), Allah ﷻ berfirman tentang salah satu
diantara ciri-ciri mereka:
وَالَّذِينَ لا
يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
"Dan orang-orang
yang tidak menghadiri 'az-zuur', dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya" (QS. Al-Furqaan: 72)
Tidak menghadiri az-zuur,
diantara maknanya adalah tidak menghadiri perayaan hari raya orang kafir atau
majelis-majelis kesyirikan, kemaksiatan, dan kedustaan. Telah menjadi
pengetahuan yang pasti dalam ‘aqidah kaum muslimin bahwa perayaan hari raya
orang kafir mengandung berbagai kemaksiatan mulai kelas plankton hingga paus
biru.
Abi Ja’far Ath-Thabariy
rahimahullah berkata:
وَأَصْلُ
الزُّورِ تَحْسِينُ الشَّيْءِ، وَوَصَفُهُ بِخِلافِ صِفَتِهِ، حَتَّى يُخَيَّلَ
إِلَى مَنْ يَسْمَعُهُ أَوْ يَرَاهُ أَنَّهُ بخِلافَ مَا هُوَ بِهِ، وَالشِّرْكُ
قَدْ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ ؛ لأَنَّهُ مُحَسَّنٌ لأَهْلِهِ، حَتَّى قَدْ ظَنُّوا
أَنَّهُ حَقٌّ، وَهُوَ بَاطِلٌ
“Asal makna dari az-zuur adalah menganggap
baik sesuatu dan mensifatinya dengan sifat yang berlainan, hingga orang yang
mendengar atau melihatnya beranggapan sesuatu tersebut berlainan dengan yang
sebenarnya. Dan kesyirikan kadang termasuk dalam hal tersebut, karena ia
dinampakkan baik bagi pelakunya sehingga dirinya menyangka kesyirikan itu
adalah kebenaran, padahal kebatilan” (Jaami’ul-Bayaan, 17/523)
Al-Farraa’ rahimahullah
saat menafsirkan ayat di atas berkata:
لا يحضرونَ
مجالسَ الكذب والمعاصي ويُقال: أعياد المشركين لا يشهدونها لأنها زُور وكذب، إذ
كانت لغير الله
“(Yaitu), tidak
menghadiri majelis-majelis kedustaan dan kemaksiatan. Dan dikatakan juga
(maknanya): ‘Hari raya orang-orang musyrik (‘iedul-musyrikiin), yaitu mereka
mereka tidak menghadirinya karena hal tersebut merupakan kepalsuan dan
kedustaan, serta diadakan untuk selain Allah” (Ma’aanil-Qur’aan, 2/273-274)
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وهذه أيضا من
صفات عباد الرحمن، أنهم: { لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ } قيل: هو الشرك وعبادة
الأصنام. وقيل: الكذب، والفسق، واللغو، والباطل.
وقال محمد بن
الحنفية: (هو) اللهو والغناء.
وقال أبو
العالية، وطاوس، ومحمد بن سيرين، والضحاك، والربيع بن أنس، وغيرهم: هي أعياد
المشركين.
وقال عمرو بن
قيس: هي مجالس السوء والخنا.
وقال مالك، عن
الزهري: (شرب الخمر) لا يحضرونه ولا يرغبون فيه، كما جاء في الحديث: "من كان
يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يجلس على مائدة يدار عليها الخمر"
“Dan ini juga diantara
sifat ‘ibaadurrahmaan, bahwa mereka ‘tidak menghadiri az-zuur’. Dikatakan:
‘Az-zuur adalah kesyirikan dan peribadahan terhadap berhala’. Dikatakan
maknanya adalah kedustaan, kefasikan, obrolan sia-sia, dan kebatilan. Muhammad
bin Al-Hanafiyyah berkata: ‘Az-zuur adalah omongan sia-sia dan nyanyian’.
Abul-‘Aaliyyah, Thaawus, Muhammad bin Siiriin, Adl-Dlahhaak, Ar-Rabii’ bin
Anas, dan yang lainnya berkata: ‘Itu adalah hari raya orang-orang musyrik’.
‘Amru bin Qais berkata: ‘Itu adalah majelis-majelis yang berisi kejelekan dan
omongan keji’. Telah berkata Maalik dari Az-Zuhriy: ‘Minum khamr, mereka tidak
menghadirinya dan tidak juga ingin (hadir) padanya, sebagaimana dalam hadits:
‘“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah duduk di
meja yang dihidangkan padanya khamr (minuman keras)” (Tafsiir Ibni Katsiir,
6/130)
Jika Nabi ﷺ melarang kita hadir dalam
majelis yang padanya dihidangkan khamr (tanpa ikut meminumnya), lantas
bagaimana dengan majelis yang padanya terdapat aktivitas pengagungan terhadap
selain Allah ﷻ?.
أَخْبَرَنَا
أَبُو يَزِيدَ الْقَرَاطِيسِيُّ فِيِمَا كَتَبَ إِلَيَّ، أنبأ أَصْبَغُ، قَالَ:
سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ زَيْدٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ: " وَالَّذِينَ
لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ، قَالَ: وَالزُّورُ قَوْلُهُمْ لآلِهَتِهِمْ
وَتَعْظِيمُهُمْ إِيَّاهَا مَا كَانُوا فِيهِ مِنَ الْبَاطِلِ، وَقَرَأَ:
وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ "
Telah mengkabarkan kepada kami Abu Yaziid
Al-Qaraathiisiy dalam surat yang ia tuliskan kepadaku: Telah memberitakan
kepada kami Ashbagh, ia berkata: Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Zaid tentang
firman Allah ﷻ: ‘Dan orang-orang
yang tidak menghadiri 'az-zuur' (QS. Al-Furqaan: 72), ia berkata: “Az-zuur
adalah perkataan mereka kepada tuhan-tuhan mereka (dalam peribadahan) dan
pengagungan mereka terhadapnya yang itu merupakan kebatilan”. Dan kemudian ia membaca
ayat: ‘Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta’ (QS. Al-Hajj: 30)” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 15461; shahih)
Dosa kesyirikan jauh
lebih besar daripada dosa minum khamr, korupsi, atau pembunuhan jiwa tanpa hak,
sehingga larangan menjauhi majelis berisi kesyirikan lebih keras daripada
berisi kemaksiatan lainnya. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ
يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن
يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisaa’:
48)
حدثني هارون بن
سعيد الأيلي. حدثنا ابن وهب. قال: حدثني سليمان بن بلال، عن ثور بن زيد، عن أبي
الغيث، عن أبي هريرة؛ أن رسول الله ﷺ قال: اجتنبوا السبع الموبقات" قيل: يا
رسول الله! وما هن؟ قال: "الشرك بالله. والسحر. وقتل النفس التي حرم الله إلا
بالحق. وأكل مال اليتيم. وأكل الربا. والتولي يوم الزحف. وقذف المحصنات الغافلات
المؤمنات
Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Sa’iid
Al-Ailiy: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata: Telah
menceritakan kepadaku Sulaimaan bin Bilaal, dari Tsaur bin Zaid, dari
Abul-Ghaits, dari Abu Hurairah: Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang
membinasakan”. Dikatakan: “Wahai Rasulullah, apakah itu?”. Beliau menjawab:
“Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari peperangan,
dan menuduh wanita mukminah baik-baik lagi suci telah berbuat zina” (Diriwayatkan
oleh Muslim no. 89)
Ibnul-Qayyim rahimahullah menukil:
وقال أبو الحسن
الآمدي لا يجوز شهود أعياد النصارى واليهود نص عليه أحمد في رواية مهنا واحتج
بقوله تعالى والذين لا يشهدون الزور قال الشعانين وأعيادهم
“Abul-Hasan Al-Aamidiy
berkata: ‘Tidak boleh menghadiri peringatan hari-hari raya (‘Ied) orang Nasrani
dan Yahudi. Hal tersebut dikatakan oleh Ahmad dalam riwayat Muhannaa dan ia
berhujjah dengan firman Allah ﷻ: ‘Dan
orang-orang yang tidak menghadiri 'az-zuur' (QS. Al-Furqaan: 72), ia berkata:
‘asy-sya’aaniin(1) dan hari raya mereka” (Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, 3/1249. Lihat
juga Al-Aadaabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih, 3/416)
Ibnu Hajar Al-Haitamiy
rahimahullah berkata:
ثم رأيت بعض
أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال: ومن أقبح البدع موافقة المسلمين
النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس
اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل
قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما
ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر
منع المسلمين من ذلك
“Kemudian aku melihat sebagian imam kita dari
kalangan muta’akhkhirin menyebutkan pendapat yang berkesesuaian dengan apa yang
telah aku sebutkan. Ia berkata: ‘Dan termasuk bid’ah yang paling buruk adalah
persetujuan kaum muslimin terhadap orang Nasrani dalam hari raya mereka dengan
tasyabbuh melalui makanan mereka, memberikan hadiah kepada mereka, dan menerima
hadiah dari mereka pada hari raya mereka itu. Dan kebanyakan manusia
yang menaruh perhatian terhadapnya adalah penduduk Mesir. Padahal Nabi ﷺ bersabda: ‘Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka’. Bahkan Ibnul-Haaj
berkata: ‘Tidak halal bagi seorang muslim menjual sesuatu kepada orang Nasrani
untuk maslahat (penyelenggaraan) hari raya mereka, baik berupa daging, kulit,
maupun pakaian. Dan tidak boleh pula meminjamkan sesuatu walaupun berupa hewan
tunggangan apabila itu mendukung mereka dalam kekufuran mereka. Dan wajib bagi
penguasa melarang kaum muslimin dari hal tersebut” (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyyah
Al-Kubraa, 4/238-239)
Bahkan ‘Abdullah bin
‘Amru radliyallaahu ‘anhuma telah memperingatkan dengan sangat keras, jauh
sebelum barisan satpam dangdutan itu ada wujudnya mencemari dunia. Ia (‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu
‘anhumaa) berkata:
مَنْ بَنَى فِي
بِلادِ الأَعَاجِمِ، وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ
بِهِمْ، حَتَّى يَمُوتَ، وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang tinggal di negeri orang
‘Ajam, lalu ikut merayakan hari Nairuuz dan Mihrajaan mereka serta tasyabbuh
dengan mereka hingga ia meninggal dalam keadaan seperti itu (belum bertaubat –
Abul-Jauzaa’), maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat” (Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/234; shahih)
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
قال العلماء:
ومن موالاتهم التَّشبُّه بهم، وإظهارُ أعيادهم، وهم مأمورون بإخفائها في بلاد
المسلمين، فإذا فعلها المسلم معهم، فقد أعانهم على إظهارها
“Para ulama berkata: ‘Dan termasuk perbuatan
ber-walaa’ kepada mereka (orang kafir) adalah tasyabbuh dengan mereka dan
menampakkan hari raya mereka, sementara kaum muslimin diperintahkan untuk
menyembunyikan/tidak menampakkannya di negeri kaum muslimin(2) Maka apabila ada
seorang muslim melakukannya bersama mereka, sungguh ia telah menolong mereka
dalam menampakkannya(3)” (Tasybiihul-Khasiis bi-Ahlil-Khamiis, hal. 23)
Para ulama di atas
berdalil dengan larangan tasyabbuh bil-kuffaar (penyerupaan terhadap orang
kafir) sebagaimana dalam hadits:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah ﷺ:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 4031, Ahmad 2/50 & 2/92, dan yang lainnya; shahih(4))
Ash-Shan’aaniy rahimahullah berkata:
وَالْحَدِيثُ
دَالٌّ عَلَى أَنَّ مَنْ تَشَبَّهَ بِالْفُسَّاقِ كَانَ مِنْهُمْ أَوْ
بِالْكُفَّارِ أَوْ بِالْمُبْتَدِعَةِ فِي أَيِّ شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّونَ بِهِ
مِنْ مَلْبُوسٍ أَوْ مَرْكُوبٍ أَوْ هَيْئَةٍ ، قَالُوا: فَإِذَا تَشَبَّهَ
بِالْكَافِرِ فِي زِيٍّ وَاعْتَقَدَ أَنْ يَكُونَ بِذَلِكَ مِثْلَهُ كَفَرَ فَإِنْ
لَمْ يَعْتَقِدْ فَفِيهِ خِلَافٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ:
يَكْفُرُ وَهُوَ ظَاهِرُ الْحَدِيثِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَكْفُرُ وَلَكِنْ
يُؤَدَّبُ
“Hadits tersebut
menunjukkan bahwa barangsiapa yang menyerupai orang-orang fasiq, maka ia
termasuk golongan mereka. Atau menyerupai orang-orang kafir atau mubtadi’
(pelaku bid’ah) dalam hal apa saja yang menjadi kekhususan mereka dengannya
dalam gaya berpakaian, berkendaraan, atau gaya/tata cara yang lainnya. Mereka
(para ulama) berkata: Barangsiapa yang menyerupai orang kafir dalam pakaian
mereka dan berkeyakinan dengan hal tersebut semisal dengannya, maka ia kafir.
Namun apabila ia tidak berkeyakinan, terdapat pebedaan pendapat di kalangan
fuqahaa’. Diantara mereka ada yang berpendapat ia kafir, dan itu sesuai dhahir
hadits. Sementara yang lain berpendapat ia tidak kafir, akan tetapi ia harus
dididik” (Subulus-Salaam, 4/347)
Hari raya orang kafir
adalah kekhususan mereka yang kita dilarang ikut-ikutan bertasyabbuh dalam
perkara tersebut. Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ
قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum
mempunyai hari raya (‘Ied), dan ini adalah hari raya kita” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 952)
Hadits ini secara jelas
menunjukkan umat Islam mempunyai ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa sebagai
kekhususan kita (kaum muslimin), sedangkan orang kafir mempunyai hari rayanya
yang itu menjadi kekhususan mereka. Nabi ﷺ telah membuat garis yang sangat jelas mana yang
boleh/dianjurkan berpartisipasi merayakannya.
Dalil lain yang semakna
dengan di atas adalah sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللَّهَ
قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ
الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk
kalian yang lebih baik dari dua raya itu (Nairuuz dan Mihrajaan), yaitu: Hari
Raya Fithr (‘Iedul-Fithri) dan Hari Raya Kurban (‘Iedul Adlha)” (Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 1134, An-Nasaa’iy no. 1556, dan yang lainnya; shahih)
Al-Haafidh Ibnu Hajar
Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkomentar tentang hadits di atas:
وَاسْتُنْبِطَ
مِنْهُ كَرَاهَةُ اَلْفَرَحِ فِي أَعْيَادِ اَلْمُشْرِكِينَ وَالتَّشَبُّهِ بِهِمْ
، وَبَالَغَ اَلشَّيْخُ أَبُو حَفْص اَلْكَبِير اَلنَّسَفِيُّ مِنْ
اَلْحَنَفِيَّةِ فَقَالَ: مَنْ أَهْدَى فِيهِ بَيْضَة إِلَى مُشْرِكٍ تَعْظِيمًا
لِلْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ بِاَللَّهِ تَعَالَى
“Dan diambil kesimpulan
hukum dari hadits tersebut dibencinya bergembira pada hari raya orang-orang
musyrik dan tasyabbuh terhadap mereka. Dan Asy-Syaikh Abu Hafsh Al-Kabiir
An-Nasafiy dari kalangan Hanafiyyah sangat keras dalam permasalahan ini, dimana
ia berkata: ‘Barangsiapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada seorang
musyrik dalam rangka pengagungan terhadap hari raya mereka, ia telah kafir
kepada Allah ta’ala” (Fathul-Baariy, 2/442)
Al-‘Adhiim Aabaadiy
rahimahullah menjelaskan:
قَالَ
الْمُظْهِر: فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ تَعْظِيم النَّيْرُوز وَالْمِهْرَجَان
وَغَيْرهمَا أَيْ مِنْ أَعْيَاد الْكُفَّار مَنْهِيّ عَنْهُ . قَالَ أَبُو حَفْص
الْكَبِير الْحَنَفِيّ: مَنْ أَهْدَى فِي النَّيْرُوز بَيْضَة إِلَى مُشْرِك
تَعْظِيمًا لِلْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ بِاَللَّهِ تَعَالَى وَأَحْبَطَ أَعْمَاله
وَقَالَ الْقَاضِي أَبُو الْمَحَاسِن الْحَسَن بْن مَنْصُور الْحَنَفِيّ: مَنْ
اِشْتَرَى فِيهِ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ يَشْتَرِيه فِي غَيْره أَوْ أَهْدَى فِيهِ
هَدِيَّة إِلَى غَيْره ، فَإِنْ أَرَادَ بِذَلِكَ تَعْظِيم الْيَوْم كَمَا
يُعَظِّمهُ الْكَفَرَة ، فَقَدْ كَفَرَ ، وَإِنْ أَرَادَ بِالشِّرَاءِ التَّنَعُّم
، وَالتَّنَزُّه ، وَبِالْإِهْدَاءِ النِّحَاب جَرْيًا عَلَى الْعَادَة ، لَمْ
يَكُنْ كُفْرًا ، لَكِنَّهُ مَكْرُوه كَرَاهَة التَّشْبِيه بِالْكَفَرَةِ حِينَئِذٍ
فَيُحْتَرَز عَنْهُ . قَالَهُ عَلِيّ الْقَارِي
.
“Al-Mudhhir berkata: ‘Dalam hadits itu
terdapat dalil bahwa pengagungan terhadap hari raya Nairuuz, Mihrajaan, dan
hari raya orang kafir lainnya adalah terlarang’. Abu Hafsh Al-Kabiir Al-Hanafiy
berkata: ‘Barangsiapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik
dalam rangka pengagungan terhadap hari raya mereka, sungguh ia telah kafir
kepada Allah ta’ala dan sia-sia segala amalannya’. Al-Qaadliy Abul-Mahaasin
Al-Hasan bin Manshuur Al-Hanafiy berkata: ‘Barangsiapa yang membeli sesuatu
pada hari raya orang kafir yang ia tidak membelinya di hari yang lain, atau
menghadiahkan suatu hadiah kepada orang lain pada hari tersebut; jika ia
menginginkan darinya pengagungan terhadap hari tersebut sebagaimana orang kafir
mengagungkannya, sungguh ia telah kafir. Namun jika ia menginginkan dari pembelian tersebut
sekedar untuk bersenang-senang dan piknik, atau dengan hadiah tersebut saling
mengasihi sebagaimana kebiasaan orang-orang, tidak kafir. Akan tetapi perbuatan
tersebut makruh dengan kemakruhan tasyabbuh terhadap orang kafir, sehingga
wajib untuk berhat-hati darinya. Pendapat ini dikatakan oleh ‘Aliy Al-Qaariy” (‘Aunul-Ma’buud,
3/342)
Clear !!
Adapun tentang masalah
ucapan selamat, sama. Ucapan selamat dalam KBBI disebut tahniah yang merupakan
serapan dari bahasa Arab. Tahniah lawan kata dari ta’ziyah. Tahniah adalah
ucapan yang mengandung doa (kebaikan) karena bahagia. Jika dikatakan kepada
seseorang: hunni’ta wa laa tunkah (هُنِّئْتَ ولا تُنْكَهْ), artinya: ‘semoga engkau
mendapatkan kebaikan dan tidak mendapatkan kemudlaratan’ – yaitu mendoakan
kebaikan kepadanya (Ash-Shihhaah fil-Lughah, 2/232)
Dalam konteks ucapan
selamat hari raya orang kafir/musyrikin – dimana mereka merayakannya sebagai
bentuk peribadahan agama mereka yang mengandung kekufuran, kesyirikan, dan/atau
kemaksiatan - ; maka ucapan tahniah ini mengandung makna doa agar mereka mendapatkan
kebahagiaan, kebaikan, dan dijauhkan dari segala mudlarat dalam hari raya
mereka. Yang mengucapkannya senang dan ridla dengan apa yang mereka lakukan di
hari itu.
Ucapan “Selamat Hari Natal(5) (Christmas -
Xmas)”, misalnya. Hari Natal diperingati orang-orang Nasrani sebagai kelahiran
Yesus anak tuhan; bukan Yesus sebagai utusan Allah (the messenger of Allah)(6)
Jadi ketika kita mengucapkan tahniah tersebut kepada mereka, maka artinya:
Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan dalam hari kelahiran anak
tuhan yang sedang Anda rayakan – dan kita dalam keadaan ikut bergembira saat
mengucapkannya.
Bagaimana bisa seorang muslim bertauhid
sanggup mengucapkan tahniah tersebut sementara Allah ﷻ
berfirman:
وَقَالُوا
اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا * لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا * تَكَادُ
السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ
هَدًّا * أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا * وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ
يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي
الرَّحْمَنِ عَبْدًا
"Dan mereka berkata:
"Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya
kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR, hampir-hampir
langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh,
karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak
bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun
di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah
selaku seorang hamba" (QS. Maryam: 88-93)
???
Saya pun sangat heran
dengan para badut penjual agama yang bilang ‘ucapan selamat Natal tidak
mengganggu aqidah selama saya tetap berkeyakinan Allah tuhan saya dan KTP saya
tertulis Islam’. Jangan-jangan mereka akan bilang: ‘Ikut ritual menyembah
berhala(7) tidak akan akan mengganggu aqidah saya’. Perkataan tersebut hanyalah
merepro perkataan sekte Murji’ah. Adapun Ahlus-Sunnah mengatakan: Barangsiapa
yang mengucapkan kalimat kekufuran sedangkan dirinya tahu kalimat tersebut
adalah kekufuran atau dilarang agama, maka kafir.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
الردة هي قطع
الإسلام بنية، أو قول كفر، أو فعل، سواء قاله استهزاء، أو عنادا، أو اعتقادا
“Riddah keluar dari
Islam/murtad) adalah memutus (tali) Islam dengan niat, perkataan, atau
perbuatan kekufuran. Baik ia mengatakannya karena mengolok-olok, keras kepala,
atau keyakinannya” (Minhaajuth-Thaalibiin, hal. 293)
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
فمن قال بلسانه
كلمة الكفر من غير حاجة عامدا لها عالما بأنها كلمة كفر فإنه يكفر بذلك ظاهرا و
باطنا
“Maka barangsiapa yang mengucapkan kalimat
kekufuran dengan lisannya tanpa hajat, secara sengaja dan tahu bahwa itu adalah
kalimat kekufuran, maka ia kafir secara lahir dan batin dengan sebab itu” (Ash-Shaarimul-Masluul,
1/523)
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy
rahimahullah saat menjelaskan hadits tentang Khawaarij: ‘(Akan tetapi) mereka
keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya’, ia berkata:
وَفِيهِ أَنَّ
مِنْ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَخْرُج مِنْ الدِّين مِنْ غَيْر أَنْ يَقْصِد الْخُرُوج
مِنْهُ وَمِنْ غَيْر أَنْ يَخْتَار دِينًا عَلَى دِين الْإِسْلَام
“Padanya terdapat dalil bahwa ada diantara
kaum muslimin yang keluar dari agama (murtad) tanpa dirinya bermaksud untuk
keluar dari agama dan tanpa berkeinginan memilih agama lain selain agama Islam”
(Fathul-Baariy, 12/301-302)
Mengucapkan tahniah hari raya orang kafir
termasuk perbuatan mempopulerkan dan menyemarakkan kelanggengan kekufuran
mereka.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، أنبأ الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ، ثنا يَزِيدُ بْنُ
زُرَيْعٍ، ثنا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قوله: " لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ،
قَالَ: لا يُسَاعِدُونَ أَهْلَ الْبَاطِلِ عَلَى بَاطِلِهِمْ وَلا
يُمَالِئُونَهُمْ فِيهِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Yahyaa: Telah memberitakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Waliid: Telah
menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’: Telah menceritakan kepada kami
Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya ﷻ:
‘Dan orang-orang yang tidak menghadiri 'az-zuur' (QS. Al-Furqaan: 72), ia
berkata: “Tidak menolong/mempromosikan para pelaku kebatilan pada kebatilan
mereka dan tidak membantu mereka padanya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim
dalam Tafsiir-nya no. 15449; shahih)
Sebagaimana di awal, sifat ‘ibaadurrahmaan
adalah tidak ikut mempromosikan dan menolong kebatilan yang terkandung dalam
ajaran agama orang-orang kafir dengan ucapan tahniah.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وأما التهنئة
بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد
مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه
“Adapun ucapan selamat (tahniah) dengan
syiar-syiar kekufuran yang khusus, maka diharamkan berdasarkan kesepakatan
(ulama), seperti ucapan selamat kepada mereka dengan hari raya dan puasa
mereka. Misalnya ia mengucapkan ‘iedul-mubaarak untuk kalian, selamat hari
raya, atau semisalnya” (Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, 1/441)
Wallaahu a’lam.
Footnote:
(1) Lihat:
https://id.wikipedia.org/wiki/Minggu_Palma
(2) Meskipun bukan berada
di negeri kaum muslimin, bukan berarti seorang muslim boleh ber-tasyabbuh
kepada orang kafir dan menampakkan syi’ar-syi’ar mereka. Menjauhi sikap
loyalitas yang terlarang dalam agama dalam bentuk apapun dituntut bagi setiap
muslim dimanapun ia berada.
NB: Ada hal yang rumit
ketika kita hidup di negeri kita yang tercinta ini. Ketika kita katakan negeri
kita adalah negeri/negara Islam, mereka (ekstrimis sekuler) menolak karena
konstitusi menyatakan bukan negeri/negara Islam. Selain itu, mereka pekewuh
dengan orang-orang non-muslim, berdampak buruk terhadap mesin politik, dan
kontra dengan kampanye kebhinekaan. Sebaliknya, ketika kita katakan
negeri/negara kafir, mereka marah menuduh kita sebagai radikalis, lalu nama
kita dimasukkan dalam daftar antrean Lapas Gunung Sindur. Jadi, maunya apa
mereka ini….
Adapun saya pribadi,
negeri yang saya tinggali adalah negeri Islam yang tegak padanya syiar-syiar
besar seperti adzan, shalat Jum’at, shalat ‘Iedain, dan haji. Penguasanya
adalah muslim, alhamdulillah, yang berhak untuk ditaati dalam perkara ma'ruf,
dinasihati, dan didoakan kebaikan.
(3) Senada dengan
Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah yang berkata:
على أن ليس لكم
أن تظهروا في شيء من أمصار المسلمين الصليب، ولا تعلنوا بالشرك، ولا تبنوا كنيسة،
ولا موضع مجتمع لصلاتكم، ولا تضربوا بناقوس، ولا تظهروا قولكم بالشرك في عيسى ابن
مريم، ولا في غيره لأحد من المسلمين
“Wajib bagi kalian (kaum muslimin) untuk tidak
menampakkan salib dalam bentuk apapun di negeri-negeri kaum muslimin, jangan
mempublikasikan secara terang-terangan kesyirikan, jangan membangun gereja dan
tempat berkumpul untuk peribadahan mereka, jangan memukul/membunyikan lonceng,
dan jangan menampakkan perkataan kalian dengan kesyirikan terhadap ‘Isaa bin
Maryam atau yang lainnya kepada seorang pun dari kaum muslimin” (Al-Umm, 5/473)
(4) Takhrij hadits ini dibahas dalam artikel:
Takhrij Hadits: “Barangsiapa
yang Menyerupai Suatu Kaum, Maka Ia Termasuk Golongan Mereka” dan Faedah
Ringkas yang Terdapat di dalamnya.
(5) “Natal” dalam KBBI
artinya:
n kelahiran seseorang
n kelahiran Isa Almasih
(Yesus Kristus): hari -- hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Almasih
(tanggal 25 Desember)
(6) Makanya agak kocak
juga pendalilan seorang mubtadi’ dlaal yang membolehkan ucapan selamat Natal
dengan ayat:
وَالسَّلامُ
عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga
dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan
pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS. Maryam: 33)
Katanya, ayat ini
mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi
mulia itu.
Bagaimana bisa ayat ini
digunakan sebagai dalil keabsahan bolehnya tahniah hari raya Natal kepada
orang-orang Nasrani?. Orang-orang Nasrani merayakannya sebagai hari kelahiran
tuhan mereka, sementara mubtadi’ dlaal tersebut mengucapkan selamat kepada
mereka dengan dalih ucapan selamat kepada ‘Isa sebagai utusan Allah ﷻ. Pendalilan ruwet.
Jika si mubtadi’
membolehkan dirinya mengucapkan tahniah hari Natal kepada orang Nasrani,
artinya ia ridla dengan keyakinan mereka yang menjadi sebab mereka bergembira
di hari tersebut (yaitu kelahiran anak tuhan)
Jika si mubtadi’ tidak
meyakini Yesus sebagai anak tuhan, namun hanya sekedar utusan Allah ﷻ; SEHARUSNYA ia tidak akan
mengucapkan tahniah hari Natal kepada orang-orang Nasrani.
Paradoks.
(7) Seperti foto yang
terekam dari orang yang merasa paling Pancasilais se-Indonesia. Terakhir, orang
tersebut mengigau bahwa tidak cukup belajar agama, karena kalau besar bisa
bunuh orang. Mungkin yang diinginkannya jika ingin menjadi seorang Indonesian
sejati, orang-orang yang belajar agama harus ditambah kurikulum belajar
tafsiran Pancasila yang ada di otaknya. Na’uudzubillahi min dzaalik. Seseorang
yang belajar agama dengan benar, tidak akan membunuh tanpa hak. Lebih dari itu,
bagi seorang muslim, Islam adalah pedoman hidup yang sempurna yang tidak akan
membuat manusia tersesat di dunia dan akhirat SELAMA-LAMANYA.
Allah ﷻ
berfirman:
فَإِمَّا
يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا
هُمْ يَحْزَنُونَ
“Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu,
maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran
atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS. Al-Baqarah: 38)
Nabi ﷺ
bersabda:
فَإِنَّ هَذَا
الْقُرْآنَ سَبَبٌ طَرَفُهُ بِيَدِ اللَّهِ، وَطَرَفُهُ بِأَيْدِيكُمْ،
فَتَمَسَّكُوا بِهِ، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَضِلُّوا، وَلَنْ تَهْلِكُوا بَعْدَهُ
أَبَدًا
“Karena sesungguhnya
Al-Qur’an ini adalah perantara yang satu ujungnya ada di tangan Allah dan
ujungnya yang lain ada di tangan kalian. Maka berpegangteguhlah kalian
dengannya (Al-Qur’an), niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibbaan no. 122, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Musnad no. 483, dan yang
lainnya; shahih – lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah no. 713)
Allah ﷻ
berfirman:
وَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan
Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum
kamu ketahui” (QS. An-Nisaa’: 113)
حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ
قَتَادَةَ، وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin
Mu’aadz, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah: ‘dan Al-Hikmah’, ia berkata:
“Maksudnya As-Sunnah” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan,
3/87; sanadnya hasan)
Berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan pemahaman yang benar (bifahmis-salaf), jaminan keselamatan, jauh dari
kesesatan, dan tidak mungkin jadi teroris.
Tidak ingatkah kita
dengan sejarah bagaimana seorang tokoh menafsirkan Pancasila kompatibel dengan
komunisme?. Bukti ini menunjukkan bahwa manusia selain Nabi ﷺ tidak ma’shum, tempatnya salah
dan lupa. Apalagi mereka yang tidak doyan agama.
Oleh: Abul Jauzaa’ Doni Arif Wibowo
Posting Komentar untuk "Bolehkah ikut serta merayakan dan mengucapkan Hari Raya orang kafir?"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.