Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 14 – Tidak Akan Tenang Para Pengikut Hawa Nafsu
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
فَاِنۡ لَّمۡ يَسۡتَجِيۡبُوۡا لَكَ فَاعۡلَمۡ اَنَّمَا يَـتَّبِعُوۡنَ
اَهۡوَآءَهُمۡ
“Jika mereka tidak
menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka.” (QS. Al Qashash: 50)
Kaidah ini merupakan
kaidah qur`āniy yang baku. Kaidah ini menampakkan makna yang sangat agung dan
penting dalam masalah berserah diri dan tunduk pada perintah Allah dan
Rasul-Nya, serta tunduk pada hukum syariat.
Ayat yang mulia itu
terdapat dalam surah Al-Qaṣaṣ dalam konteks perdebatan dengan orang-orang musyrik,
serta penjelasan tentang metode mereka dalam membangkang untuk menolak syariat,
serta menuduh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai tuduhan nista.
Allah Ta’ālā juga
menjelaskan kaidah ini di ayat lain. Dia berfirman,
فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ الۡحَـقُّ ۚ فَمَاذَا بَعۡدَ الۡحَـقِّ اِلَّا
الضَّلٰلُ ۚ فَاَنّٰى تُصۡرَفُوۡنَ
”Maka itulah Allah, Tuhan
kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.
Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)?” (QS. Yūnus: 32)
Ibnu Al-Qayyim
menjelaskan kaidah ini dengan mengatakan, «Jadi, tidak ada pilihan selain hawa
nafsu atau wahyu. Sebagaimana Allah Ta›ālā berfirman,
وَمَا يَنۡطِقُ عَنِ الۡهَوٰىؕ
اِنۡ هُوَ اِلَّا وَحۡىٌ يُّوۡحٰىۙ
“Dan yang diucapkannya
itu bukanlah menurut keinginannya (hawa nafsu). Tidak lain (Al-Qur`ān itu)
adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3 - 4)
Maka siapa yang tidak
menjawab seruannya padahal sudah nyata baginya bahwa itu adalah sunnah, dan
berpaling dengan melakukan yang sebaliknya, maka berarti dia telah mengikuti
keinginan hawa nafsunya.” (Ash Shawa’iq Al Mursalah 4/1526)
Kebutuhan untuk selalu
mengingatkan tentang kaidah yang agung ini sangat penting, khususnya pada saat
ini di mana hawa nafsu semakin merajalela dan semakin banyak trik untuk
berkelit ketika berinteraksi dengan nas-nas syariat dengan berbagai alasan. Ada
orang yang melakukannya untuk mendukung perbuatan bidahnya, ada yang
melakukannya untuk memasarkan metodologinya dalam memahami nas, dan ada juga
yang melakukannya untuk mencari berbagai macam rukhsah yang cocok dengan
keinginan hawa nafsunya, bukan cocok dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya.
Sungguh pernah ada suatu
masa yang datang kepada manusia, di mana seseorang tidak butuh untuk melaksanakan
perintah atau meninggalkan larangan kecuali dengan sekadar dikatakan kepadanya,
“Allah berfirman, Rasulullah bersabda, para sahabat mengatakan,” maka mereka
pun langsung patuh dan melaksanakannya. Sangat jarang didapati orang yang
membahasnya dengan tujuan menghindarkan diri dari hukum syariat. Namun
sekarang, ketika berbagai pintu infromasi terbuka untuk manusia, maka mereka
mendengarkan berbagai macam pendapat dalam masalah fikih. Tentu ini tidak
menjadi masalah, karena perbedaan pendapat sudah ada semenjak dahulu, dan tidak
mungkin kita menghilangkan sebuah urusan yang sudah ditakdirkan oleh Allah.
Tapi, yang menjadi masalah adalah ketika sebagian orang menjadikan berbagai
pendapat tersebut yang bisa jadi merupakan pendapat yang syāż (sangat aneh)
dalam tinjauan fikih sebagai kesempatan untuk mengambilnya dengan alasan dia
mendapatkan pendapat yang menyatakan boleh dalam masalah tersebut, tanpa
mempedulikan pendapat lain yang bisa jadi sudah mencapai derajat ijmak
(konsesus) atau hampir menjadi ijmak di kalangan ulama salaf yang mengharamkan
perbuatan ini atau perkataan itu!
Bukankan orang-orang
seperti itu masuk dalam kaidah ini: “Maka jika mereka tidak menjawab
(tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan (hawa
nafsu) mereka”?!
Alangkah baiknya
orang-orang seperti ini diingatkan dengan firman Allah Ta’ālā:
بَلِ الۡاِنۡسَانُ عَلٰى نَفۡسِهٖ بَصِيۡرَةٌ
“Bahkan manusia menjadi
saksi atas dirinya sendiri.” (QS. Al-Qiyāmah: 14)
Ayat ini juga merupakan
kaidah qur`āniy yang baku, dan sudah dijelaskan dalam kaidah keempat.
Juga sewajarnya
orang-orang tersebut diingatkan dengan kaidah yang terdapat dalam hadis yang
mulia: “Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa tenang dan hati menyukainya.
Adapun dosa adalah apa yang meresahkan di jiwa, dan membuat keraguan di dada.”
Makna yang ditunjukkan
oleh hadis ini hanya akan didapati oleh orang-orang yang masih memiliki
sisa-sisa cahaya yang belum dipadamkan oleh kegelapan syahwat dan syubhat.
Adapun orang-orang yang sudah bergelimang di lembah kefasikan dan kejahatan,
maka hatinya tidak akan menyuruhnya kecuali pada sesuatu yang diingini oleh
hawa nafsunya.
Saya pernah berdialog
sejenak dengan beberapa orang dari kelompok ini. Mereka secara praktik sudah
larut dalam berbagai masalah yang bertentangan dengan pendapat jumhur ulama.
Saya katakan kepadanya, “Mari kita tinggalkan sejenak pembahasan secara fikih
ini, dan beritahukan kepadaku tentang hatimu. Bagaimana hatimu ketika melakukan
perbuatan yang kamu lakukan itu?”
Dia lalu bersumpah
kepadaku dengan nama Allah bahwa dia tidak tenang! Dia hanya menipu dirinya
dengan alasan Syekh Fulan berfatwa demikian. Sementara dalam lubuk hatinya dia
tidak tenang dengan fatwa tersebut. Maka saya katakan kepadanya, “Saudaraku,
ulama yang berpendapat seperti itu dalam masalah ini bisa diberi uzur, karena
itu merupakan hasil dari ilmunya. Akan tetapi selamatkanlah dirimu, karena
perbuatanmu inilah yang dikatakan oleh ulama dengan istilah mencari-cari rukhsah.
Mereka mencela pelakunya, bahkan mereka menganggap perbuatan itu merupakan
salah satu bentuk kemunafikan dan mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu,
sejumlah ulama salaf mengatakan, ‘Siapa saja yang mencari-cari rukhsah maka dia
telah berbuat zindik’.”
Siapa yang merenungi
kalimat “hawa nafsu” dalam Al-Qur`ān maka dia tidak akan menemukannya kecuali
dalam ungkapan celaan. Oleh karena itu, Allah mewanti-wanti salah seorang nabi
terbaiknya dari penyakit hati yang berbahaya ini. Allah berfirman,
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلۡنٰكَ خَلِيۡفَةً فِى الۡاَرۡضِ فَاحۡكُمۡ بَيۡنَ
النَّاسِ بِالۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الۡهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ
ؕ اِنَّ الَّذِيۡنَ يَضِلُّوۡنَ عَنۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ لَهُمۡ
عَذَابٌ شَدِيۡدٌۢ بِمَا نَسُوۡا يَوۡمَ الۡحِسَابِ
“Wahai Daud! Sesungguhnya
engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa
nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.” (QS. Ṣād: 26)
Siapa yang merasa aman
terhadap jiwanya dari hawa nafsu setelah itu?
Kalau ada orang yang
mengambil rukhsah-rukhsah para pakar fikih dari lintas mazhab dalam berbagai
permasalahan, maka akan terkumpul dalam dirinya kejelekan yang dahsyat, dan
agamanya akan menjadi kumpulan berbagai tambalan, serta akan sangat rapuh.
Hendaknya seorang mukmin
mengingat dengan baik ketika dia mengikuti metode mencari-cari rukhsah
tersebut, bahwa dia melakukan apa yang dilakukannya itu, dan meninggalkan apa
yang ditinggalkannya adalah dalam rangka menerapkan agamanya di hadapan Allah
dan melakukan kewajiban beribadah kepada Rabb yang Mahaagung. Jadi, bagaimana
mungkin seorang hamba rela berinteraksi dengan Tuhannya dengan agama yang
syiarnya adalah hawa nafsu?!
Sebelum kita menutup
pembicaraan tentang kaidah yang agung ini, kami harus mengingatkan dua hal:
Pertama, harus waspada menerapkan
kaidah ini dalam masalah-masalah syariah yang ada perbedaan pendapat di
dalamnya, dan perbedaan pendapat tersebut diakui serta terkenal di kalangan
ulama.
Kedua, maksud celaan di sini
adalah terhadap orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam mengambil fatwa.
Dia berpindah-pindah di antara para mufti. Jika dia mendapatkan fatwa yang
sesuai dengan jiwanya maka dia menerapkannya, kalau tidak maka dia akan mencari
mufti lainnya sehingga dia mendapatkan orang yang cocok untuk memberikan fatwa
kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan tindakan mengikuti hawa nafsu. Kita
berlindung kepada Allah dari mengikuti hawa nafsu. Kita memohon kepada-Nya
untuk menjadikan ketundukan kepada kebenaran sebagai pedoman dan tujuan kita.
(Qawaid Qur’aniyyah 50
Qa’idah Qur’aniyyah fi Nafsi wal Hayat, Syeikh DR. Umar Abdullah bin Abdullah
Al Muqbil)
Posting Komentar untuk "Qawaid Qur’aniyyah Kaidah Ke 14 – Tidak Akan Tenang Para Pengikut Hawa Nafsu"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.