Kisah Antara Nabi Adam, Hawa, dan Iblis
Allah ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ
إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا
أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ
مِنَ الشَّاكِرِينَ * فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا
آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dialah Yang menciptakan kamu dari
diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang
kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang
ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu) Kemudian tatkala dia
merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya
berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna,
tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Tatkala Allah memberi
kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu
bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. Al-A’raaf: 189-190)
Imam Ath-Thabariy rahimahullah saat
menafsirkan ayat di atas membawakan riwayat:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الصَّمَدِ، قَالَ: ثنا عُمَرُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كَانَتْ حَوَّاءُ لا
يَعِيشُ لَهَا وَلَدٌ، فَنَذَرَتْ لَئِنْ عَاشَ لَهَا وَلَدٌ لَتُسَمِّيَنَّهُ
عَبْدَ الْحَارِثِ، فَعَاشَ لَهَا وَلَدٌ، فَسَمَّتْهُ: عَبْدَ الْحَارِثِ،
وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ عَنْ وَحْيِ الشَّيْطَانِ
"
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basysyaar (1): Telah menceritakan kepada kami
‘Abdush-Shamad (2), ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin
Ibraahiim (3), dari Qataadah (4), dari Al-Hasan (5), dari
Samuurah bin Jundub (6), dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda: “Dulu Hawwaa’ tidak hidup dengan mempunyai anak. Lalu ia pun
bernadzar seandainya ia hidup dan mempunyai anak, akan dinamai dengan
‘Abdul-Haarits. Ternyata ia pun hidup dan mempunyai anak, dan kemudian ia namai
‘Abdul-Haarits. Penamaan itu hanyalah berasal dari wahyu syaithaan”. (Jaami’ul-Bayaan,
13/309)
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy
no. 3077, Ahmad 5/11, Al-Haakim 2/544, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 10/428-429 no.
4580, Ar-Ruuyaaniy dalam Musnad-nya 2/52 no. 816, dan Ath-Thabariy dalam
At-Taariikh no. 172; semuanya dari jalan ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits:
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Ibraahiim, dan selanjutnya seperti
riwayat di atas.
‘Abdush-Shamad dalam periwayatan dari
‘Umar bin Ibraahiim mempunyai mutaba’ah dari Syaadz bin Fayyaadl Al-Yasykuriy (7);
sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 7/260 no. 6895,
Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 2/334-335 no. 790, dan Ibnu Abi Haatim dalam
Tafsiir-nya no. 8637 & 8641.
Riwayat ini lemah dikarenakan ‘Umar
bin Ibraahiim. Meskipun ia seorang yang shaduuq, namun periwayatannya dari
Qataadah lemah dan banyak dikritik para ulama.
Diriwayatkan juga secara mauquuf dari
Samurah bin Jundub sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَمْزَةَ، ثَنَا أَبُو الْجُمَاهِرِ، ثَنَا
سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ، حَدَّثَنِي عِمْرَانُ، عَنْ عُقْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
يَزِيدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، قَالَ:
" سَمَّيَاهُ عَبْدَ الْحَارِثِ فِي قَوْلِهِ: فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا
جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Muhammad bin Yahyaa bin Hamzah (8): Telah menceritakan kepada kami
Abul-Jumaahir (9): Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Basyiir (10):
Telah menceritakan kepadaku ‘Imraan (11), dari ‘Uqbah (12), dari
Qataadah, dari Yaziid bin ‘Abdillah bin Asy-Syikhkhiir (13), dari
Samurah bin Jundub, ia berkata: “Mereka berdua (Aadan dan Hawwaa’) menamakannya
dengan ‘Abdul-Haarits, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat: ‘Tatkala Allah
memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan
sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu.
Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 2793)
Sanad riwayat ini dla’iif dengan
sebab Ahmad bin Muhammad bin Yahyaa dan Sa’iid bin Basyiir Al-Azdiy.
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabariy
dengan lafadh yang ringkas: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin
‘Abdil-A’laa (14), ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir (15),
dari ayahnya (16), ia berkata: Telah menceritakan kepada kami
Abul-‘Alaa’ (17), dari Samurah bin Jundub bahwasannya ia menceritakan:
أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ
السَّلامُ سَمَّى ابْنَهُ عَبْدَ الْحَارِثِ
Bahwa Aadam ‘alaihis-salaam menamakan
anaknya ‘Abdul-Haarits”. (Jaami’ul-Bayaan, 13/310 no. 15514)
Sanad riwayat ini shahih.
Mu’tamir mempunyai mutaba’ah dari Ibnu
‘Ulayyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Jaami’ul-Bayaan
13/310 no. 15515.
Baca Juga: Kisah Lainnya
Diriwayatkan juga secara mauquuf dari
beberapa shahabat lain, di antaranya:
1. Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa:
ثنا عَلِيُّ بْنُ
الْحُسَيْنِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ حَمْزَةَ، ثنا حَبَّانُ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ خُصَيْفٍ، عَنْ سَعِيدِ
بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي قَوْلُهُ: " فَلَمَّا آتَاهُمَا
صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا، قَالَ: اللَّهُ هُوَ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ، وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ
إِلَيْهَا، فَلَمَّا تَغَشَّاهَا آدم حَمَلَتْ، آتَاهُمَا إِبْلِيسُ، فَقَالَ:
إِنِّي صَاحِبُكُمَا الَّذِي أَخْرَجْتُكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ، لَتُطِيعَنَّنِ
أَوْ لأَجْعَلَنَّ لَهَا قَرْنَيْ إِبِلٍ، فَيَخْرُجُ مِنْ بَطْنِكِ، فَيَشُقَّهُ،
وَلأَفْعَلَنَّ وَلأَفْعَلَنَّ يُخَوِّفُهُمَا سَمِّيَاهُ عَبْدَ الْحَارِثِ،
فَأَبَيَا أَنْ يُطِيعَاهُ، فَخَرَجَ مَيِّتًا، ثُمَّ حَمَلَتْ يَعْنِي
الثَّانِيَةَ فَأَتَاهُمَا أَيْضًا، فَقَالَ: أَنَا صَاحِبُكُمَا الَّذِي فَعَلْتُ
مَا فَعَلْتُ، لَتَفْعَلُنَّ أَوْ لأَفْعَلَنَّ وَلأَفْعَلَنَّ يُخَوِّفُهُمَا،
فَأَبَيَا أَنْ يُطِيعَانِهِ، فَخَرَجَ مَيِّتًا، ثُمَّ حَمَلَتِ الثَّالِثَةُ،
فَأَتَاهُمَا أَيْضًا، فَذَكَرَ لَهُمَا، فَأَدْرَكَهُمَا حُبَّ الْوَلَدِ،
فَسَمَّيَاهُ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا
آتَاهُمَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy
bin Al-Husain (18): Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy
bin Hamzah (19): Telah menceritakan kepada kami Habbaan (20),
dari ‘Abdullah bin Al-Mubaarak (21), dari Syariik (22), dari
Khushaif (23), dari Sa’iid bin Jubair (24), dari Ibnu ‘Abbaas
dalam penafsiran ayat: ‘Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang
sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah
dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu’ (QS. Al-A’raaf: 190), ia berkata: “Allah,
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia
menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah Aadam
mencampurinya, istrinya pun mengandung kandungan yang ringan. Lalu Iblis datang
kepada mereka berdua dan berkata: ‘Sunguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah
mengeluarkanmu dari surga. Sungguh, hendaknya engkau mentaatiku. Kalau tidak,
niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan
keluar dari perut istrimu dengan merobeknya. Demi Allah, pasti akan aku
lakukan’. Demikianlah Iblis menakut-nakuti mereka berdua. Iblis melanjutkan:
‘Namailah anakmu itu ’Abdul-Haarits”. Tetapi keduanya menolak untuk
mematuhinya. Ketika bayi mereka lahir, lahirlah ia dalam keadaan mati. Kemudian
Hawwa’ hamil lagi untuk yang kedua kali. Maka datanglah Iblis kepada mereka
berdua dan berkata: ‘Aku adalah kawanmu yang melakukan apa yang telah aku
lakukan (pada anakmu) Engkau lakukan apa yang aku perintahkan atau akan aku
lakukan (kembali) apa yang telah aku lakukan. Iblis menakuti mereka berdua.
Akan tetapi mereka berdua tetap menolak untuk mematuhinya, dan bayi mereka pun
lahir lagi dalam keadaan mati. Selanjutnya, Hawwa’ hamil lagi untuk yang ketiga
kali. Maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan mengingatkan mereka apa
yang pernah ia katakan. Karena Aadam dan Hawwaa’ lebih menginginkan keselamatan
anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi kepada anak mereka nama
’Abdul-Haarits. Itulah tafsiran firman Allah: ‘Maka keduanya menjadikan sekutu
bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu”. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 8654)
Sanad riwayat ini lemah karena
Khushaif dan Syariik yang lemah di sektor hapalannya.
Khushaif dalam periwayatan dari
Sa’iid bin Jubair mempunyai mutaba’ah dari Mujaahid (25); sebagaimana
diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur dalam Tafsiir-nya 5/173 no. 973: Telah
menceritakan kepada kami ‘Attaab bin Basyiir (26), ia berkata: Telah
mengkhabarkan kepada kami Khushaif, dari Mujaahid dan Sa’iid bin Jubair, dari
Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini lemah karena
Khushaif. Selain itu, hadits ‘Attaab yang berasal dari Khushaif banyak diingkari
oleh para ulama.
Sa’iid bin Jubair dalam periwayatan
dari Ibnu ‘Abbaas mempunyai mutaba’ah dari:
a. ‘Ikrimah (27); sebagaimana
diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 13/310 no. 15516: Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Humaid (28), ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Salamah (29), dari Ibnu Ishaaq (30),
dari Daawud bin Al-Hushain (31), dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini sangat lemah karena
Ibnu Humaid. Juga karena Salamah, ‘an’anah Ibnu Ishaaq, dan Daawud (yang dilemahkan
riwayatnya jika berasal dari ‘Ikrimah)
b. Al-Hasan bin ‘Athiyyah (32);
sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 13/310-311 no.
15517: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Sa’d, (33) ia berkata:
Telah menceritakan kepadaku ayahku (34), ia berkata: Telah menceritakan
kepadaku pamanku (35), dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini sangat lemah.
Perawi dari Muhammad bin Sa’d hingga Al-Hasan bin ‘Athiyyah adalah para perawi
dla’iif. Selain itu, sanadnya terputus antara Al-Hasan bin ‘Athiyyah dengan
Ibnu ‘Abbaas.
c. Ibnu Juraij (36);
sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 13/311 no.
15518: Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim (37), ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Al-Husain (38), ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami Hajjaaj (39), dari Ibnu Juraij, ia berkata: Telah berkata
Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini lemah karena
keterputusan antara Ibnu Juraij dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
d. Abu Shaalih (40);
sebagaimana riwayat panjang Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/13-15: Telah
mengkhabarkan kepada kami Hisyaam bin Muhammad (41): Telah mengkhabarkan
kepadaku ayahku (42), dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas.
Sanad riwayat ini sangat lemah,
bahkan palsu (maudluu’)
2. Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu.
ثنا أَبِي، ثنا أَبُو
الْجُمَاهِرِ، أَنْبَأَ سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ، عَنْ عُقْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ،
عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: لَمَّا
حَمَلَتْ حَوَّاءُ، أَتَاهَا الشَّيْطَانُ، فَقَالَ: أَتُطِيعِينِي وَيَسْلَمْ
لَكِ وَلَدُكِ؟ سَمِّيهِ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَلَمْ تَفْعَلْ فَوَلَدَتْ فَمَاتَ،
ثُمَّ حَمَلَتْ، فَقَالَ لَهَا مِثْلَ ذَلِكَ، فَلَمْ تَفْعَلْ، ثُمَّ حَمَلَتِ
الثَّالِثَ، فَجَاءَهَا فَقَالَ: إِنْ تُطِيعِينِي يَسْلَمْ، وَإِلا فَإِنَّهُ
يَكُونُ بَهِيمَةً، فَهَيَّبَهُمَا فَأَطَاعَا
"
Telah menceritakan kepada kami ayahku
(43): Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Basyiir, dari ‘Uqbah,
dari Qataadah, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Ubay bin Ka’b
radliyallaahu ‘anhum: “Ketika Hawwaa’ hamil, syaithaan mendatanginya dan
berkata: ‘Apakah engkau akan mentaatiku dan anakmu akan selamat? Namailah
anakmu ‘Abdul-Haarits’. Namun Hawwaa’ tidak melakukannya. Anaknya pun lahir
yang kemudian mati. Kemudian Hawwaa’ hamil lagi, lalu syaithaan mengatakan
seperti sebelumnya, namun ia tidak melakukannya. Kemudian Hawwaa’ hamil untuk
yang ketiga kalinya. Syaithaan mendatanginya dan berkata: ‘Seandainya engkau
mentaatiku, anakmu akan selamat. Jika tidak, maka ia lahir dalam wujud binatang
ternak’. Syaithan menakut-nakuti keduanya (Aadam dan Hawwaa’), lalu akhirnya
keduanya mentaatinya”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no.
8653)
Sanad riwayat ini lemah karena
kelemahan Sa’iid bin Basyiir.
Catatan: Ibnu Ma’iin dan Ahmad
mengatakan bahwa Qataadah tidak pernah mendengar riwayat dari Mujaahid (Jamii’ut-Tahshiil,
hal. 255) Akan tetapi Ahmad menjelaskan bahwa perantara keduanya adalah
Abul-Khaliil (44), dan ia seorang yang tsiqah. Oleh karena itu, riwayat
Qataadah dari Mujaahid ini dihukumi shahih. Wallaahu a’lam.
Asy-Asy-Syinqithiy rahimahullah
ketika menjelaskan ayat di atas berkata:
في هذه الآية الكريمة
وجهان من التفسير معروفان عند العلماء، والقرآن يشهد لأحدهما:
الأول: أن حواء كانت لا
يعيش لها ولد، فحملت، فجاءها الشيطان، فقال لها سمي هذا الولد عبد الحارث فإنه
يعيش، والحارث من أسماء الشيطان، فسمته عبد الحارث فقال تعالى: {فَلَمَّا
آتَاهُمَا صَالِحاً} (7/190)، أي: ولداً إنساناً ذكراً جعلا له شركاء بتسميته عبد
الحارث، وقد جاء بنحو هذا حديث مرفوع وهو معلول كما أوضحه ابن كثير في
"تفسيره".
الوجه الثاني: أن معنى
الآية أنه لما آتى آدم وحواء صالحاً كفر به بعد ذلك كثير من ذريتهما، وأسند فعل
الذرية إلى آدم وحواء؛ لأنهما أصل لذريتهما كما قال: {وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ
ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ} (7/11)، أي بتصويرنا لأبيكم آدم لأنه أصلهم بدليل قوله
بعده: {ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ}، ويدل لهذا الوجه الأخير
أنه تعالى قال بعده: {فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ أَيُشْرِكُونَ مَا لا
يَخْلُقُ شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ} (7/190، 191)، وهذا نص قرآني صريح في أن
المراد المشركون من بني آدم، لا آدم وحواء، واختار هذا الوجه غير واحد لدلالة
القرآن عليه، وممن ذهب إليه الحسن البصري، واختاره ابن كثير ، والعلم عند الله
تعالى.
“Dalam ayat yang mulia ini terdapat
dua sisi penafsiran yang ma’ruf menurut para ulama, dan Al-Qur’an menjadi saksi
atas kebenaran salah satu di antara keduanya:
Pertama, bahwasannya Hawwaa’ dulu
tidaklah hidup dengan mempunyai anak, lalu ia hamil. Kemudian syaithaan
mendatanginya dan berkata kepadanya: ‘Namailah anak ini ‘Abdul-Haarits, maka ia
akan hidup’. Dan Al-Haarits itu termasuk nama-nama syaithaan. Lalu Hawwaa’
menamakannya ‘Abdul-Haarits, sehingga Allah ta’ala berfirman: ‘Tatkala Allah
memberikan kepada keduanya seorang anak yang sempurna’ (QS. Al-A’raaf: 190),
yaitu: anak manusia berkelamin laki-laki dimana keduanya menjadikan bagi-Nya
sekutu dengan penamaannya ‘Abdul-Haarits. Dan telah ada hadits marfuu’ yang
semisal ini, namun ia ma’lul sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Katsiir dalam
Tafsiir-nya.
Kedua, bahwasannya makna ayat
tersebut adalah ketika Aadan dan Hawwaa’ diberikan anak yang shaalih, maka
banyak di antara keturunannya yang mengkufuri-Nya. Dan disandarkannya perbuatan
keturunannya kepada Aadam dan Hawwaa dikarenakan mereka berdua adalah asal bagi
keturunannya, sebagaimana firman-Nya: ‘Sesungguhnya Kami telah menciptakan
kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian’ (QS. Al-A’raaf: 11), yaitu: dengan
penciptaan Kami terhadap bapak kalian Aadam, karena ia adalah asal dari mereka
dengan dalil firman Allah setelah ayat tersebut: ‘kemudian Kami katakan kepada
para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam’ (QS. Al-A’raaf: 11)
Ini adalah nash Qur’aaniy yang
shariih yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang musyrik adalah
dari anak-anak Aadam, bukan Aadam dan Hawwaa’. Pendapat ini dipilih lebih dari
seorang ulama dikarenakan keberadaan petunjuk Al-Qur’an padanya. Dan ulama yang
memegang pendapat ini antara lain Al-Hasan Al-Bashriy. Ibnu Katsiir termasuk
yang memilih pendapat tersebut. Wallaahu a’lam”. (Adlwaaul-Bayaan, 2/46-47)
Riwayat Al-Hasan yang dimaksudkan
oleh Asy-Syinqithiy rahimahumallah adalah sebagai berikut:
حدثنا محمد بن عبد
الأعلى قال: حدثنا محمد بن ثور، عن معمر قال. قال الحسن: عني بهذا ذرية آدم، من
أشرك منهم بعده يعني بقوله: (فلما آتاهما صالحًا جعلا له شركاء فيما آتاهما)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Abdil-A’laa (45), ia berkata: Telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Tsaur (46), dari Ma’mar (47), ia berkata: Telah
berkata Al-Hasan: “Yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah keturunan Aadam,
yang telah berbuat kesyirikan di antara mereka setelahnya; yaitu dalam firman
Allah: ‘Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka
keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah
dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu’ (QS. Al-A’raaf: 190)”. (Diriwayatkan
oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 13/314-315 no. 15527)
Sanad ini shahih.
حدثنا بشر بن معاذ قال:
حدثنا يزيد قال: حدثنا سعيد، عن قتادة قال: كان الحسن يقول: هم اليهود والنصارى،
رزقهم الله أولادًا فهوَّدوا ونصَّروا.
Telah menceritakan kepada kami Bisyr
bin Mu’aadz (48), ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yaziid (49),
ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid (50), dari Qataadah,
ia berkata: Al-Hasan pernah berkata: “Mereka adalah Yahudi dan Nashrani. Allah
telah mengkaruniai mereka anak-anak, lalu mereka menjadikannya pemeluk agama
Yahudi dan Nashrani”. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan,
13/315 no. 15528)
Sanad riwayat ini shahih. Yaziid bin
Zurai’ mendengar riwayat Sa’iid bin Abi ‘Aruubah sebelum ikhtilaath-nya (Al-Mukhtalithiin,
hal. 41-43 no. 37 – beserta catatan kaki muhaqqiq-nya)
Sebagaimana yang Anda lihat, riwayat
marfuu’ kisah Aadam, Hawwaa’, dan syaithaan/iblis itu tidaklah shahih.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
وهذه القصة باطلة من
وجوه:
الوجه الأول: أنه ليس
في ذلك خبر صحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم وهذا من الأخبار التي لا تتلقى إلا
بالوحي ، وقد قال ابن حزم عن هذه القصة: إنها رواية خرافة مكذوبة موضوعة.
الوجه الثاني: أنه لو
كانت القصة في آدم وحواء لكان حالهما إما أن يتوبا من الشرك أو يموتا عليه ، فإن
قلنا ماتا عليه كان ذلك أعظم من قول الزنادقة:
إذا ما ذكرنا آدما
وفعاله **** وتزويجه بنتيه بابنيه بالخنا
علمنا بأن الخلق من نسل
فاجر **** وأن جميع الناس من عنصر الزنا
فمن جوز موت أحد من
الأنبياء على الشرك فقد أعظم الفرية ، وإن كان تابا من الشرك فلا يليق بحكمة الله
وعدله ورحمته أن يذكر خطأهما ، ولا يذكر توبتهما منه ، فيمتنع غاية الامتناع أن
يذكر الله الخطيئة من آدم وحواء وقد تابا ولم يذكر توبتهما ، والله تعالى إذا ذكر
خطيئة بعض أنبيائه ورسله ذكر توبتهم منها.
الوجه الثالث: أن
الأنبياء معصومون من الشرك باتفاق العلماء.
الوجه الرابع: أنه ثبت
من حديث الشفاعة أن الناس يأتون إلى آدم يطلبون منه الشفاعة فيعتذر بأكله الشجرة
وهو معصية ، ولو وقع منه الشرك لكان اعتذاره به أعظم وأولى وأحرى.
الوجه الخامس: أن في
هذه القصة أن الشيطان جاء إليهما وقال: أنا صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة . وهذا
لا يقوله من يريد الإغواء ، بل هذا وسيلة إلى رد كلامه ، فيأتي بشيء يقرب من قبول
قوله ، فإذا قال: أنا صاحبكما الذي أخرجتكما من الجنة . سيعلمان علم اليقين أنه
عذر لهما فلا يتقبلان منه صرفا ولا عدلا.
الوجه السادس: أن في
قوله في هذه القصة: لأجعلن له قرني إيل . إما أن يصدقا أن ذلك ممكن في حقه وهذ شرك
في الربوبية لأنه لا خالق إلا الله أو لا يصدقا فلا يمكن أن يقبلا قوله وهما
يعلمان أن ذلك غير ممكن في حقه.
الوجه السابع: قوله
تعالى: " فَتَعَالى الله عَمَّا يُشْرِكُونَ " بضمير الجمع ولو كان آدم
وحواء لقال: عما يشركان.
“Kisah ini baathil dari sisi:
Pertama, bahwasannya ia bukan
merupakan khabar shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Padahal,
khabar ini termasuk khabar-khabar yang tidaklah didapatkan kecuali melalui
perantaraan wahyu. Ibnu Hazm berkata tentang kisah ini: ‘Sesungguhnya ia
merupakan riwayat khuraafat, dusta, lagi palsu’.
Kedua, seandainya kisah ini merupakan
kisah yang benar tentang Aadan dan Hawwaa, niscaya keadaan keduanya: jika
mereka tidak bertaubat dari kesyirikan, atau mati di atasnya (kesyirikan)
Seandainya kita mengatakan bahwa keduanya mati di atas kesyirikan, maka itu
lebih besar dari perkataan zanaadiqah:
Apabila kita ingat Aadam dan apa yang
telah diperbuatnya
dan pernikahan antara anak perempuan
dan anak laki-lakinya dengan cara keji.
Niscaya kita mengetahui bahwasannya
makhluk berasal dari benih orang yang faajir.
dan seluruh manusia berasal dari
pokok perbuatan zina
Barangsiapa membolehkan salah seorang
dari nabi-nabi meninggal di atas kesyirikan, sungguh ia merupakan kedustaan
yang paling besar. Dan seandainya keduanya (Aadam dan Hawwaa’) bertaubat dari
kesyirikan, maka itu tidak sesuai dengan hikmah Allah, keadilan-Nya, dan
rahmat-Nya untuk menyebutkan kesalahan keduanya tanpa menyebutkan taubat mereka
dari perbuatan syirik. (51) Dan Allah ta’ala apabila menyebutkan
kesalahan sebagian nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, maka Ia kemudian menyebutkan
pertaubatan mereka dari kesalahan tersebut.
Ketiga, bahwasannya para nabi adalah
ma’shuum dari perbuatan syirik dengan kesepakatan ulama.
Keempat, telah shahih dalam hadits
syafaa’at bahwasannya manusia datang menemui Aadam meminta darinya syafaa’at.
Namun ia mengemukakan alasan (tidak bisa memenuhi permintaan mereka) karena
telah memakan pohon (52), dan itu adalah perbuatan maksiat. Seandainya
ia pernah terjatuh dalam kesyirikan, niscaya alasannya dengan perbuatan itu
lebih besar dan lebih dikedepankan.
Kelima, dalam kisah ini, syaithaan
mendatangi keduanya dan berkata: ‘Aku adalah kawanmu yang telah mengeluarkan
kalian berdua dari surga’. Ini tidaklah dikatakan oleh orang yang membujuk. Bahkan,
ini merupakan perantara untuk menolak perkataannya. Syaithaan seharusnya datang
dengan sesuatu yang lebih dekat untuk dapat menerima perkataannya. Apabila
syaithaan berkata: ‘Aku adalah kawanmu yang telah mengeluarkan kalian berdua
dari surga’; maka mereka berdua akan mengetahui dengan pengetahuan yang yakin
bahwasannya syaithaan akan memberikan alasan pada keduanya, dan mereka berdua
tidak akan menerimanya sedikitpun.
Keenam, bahwasannya perkataan
syaithaan dalam kisah ini: ‘sungguh aku akan menjadikan baginya tanduk rusa’.
Baik mereka berdua membenarkan hal tersebut mungkin dilakukan olehnya
(syaithaan), maka ini syirik dalam Rububiyyah, karena tidak ada Pencipta
kecuali Allah; atau mereka berdua tidak membenarkannya, maka tidak mungkin
mereka berdua menerima perkataannya padahal mereka berdua mengetahui bahwa hal
itu tidaklah mungkin dilakukan olehnya (syaithan)
Ketujuh, firman-Nya ta’ala: ‘Maka
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan’ dengan menggunakan dlamir
(kata ganti) jamak, seandainya yang dimaksudkan adalah Aadam dan Hawwaa’, tentu
akan dikatakan: ‘dari apa yang mereka berdua persekutukan’”. (Mudzakarah fii
Syarh Kitaabit-Tauhiid – melalui perantaraan kitab Kutubun wa Akhbaarun wa
Rijaalun wa Ahaadits tahtal-Mihjar oleh Dr. ‘Abdul-‘Aziiz As-Sad-haan, hal.
63-64)
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah di atas sangat kuat. Selain itu, disebutkan dalam sebagian riwayat
kisah tersebut, bahwasannya kesyirikan yang dilakukan oleh Aadam dan Hawwaa’
adalah kesyirikan dalam hal nama (karena Al-Haarits adalah salah satu nama dari
nama-nama syaithaan/iblis) Ini bertentangan dengan riwayat:
عن أبي وهب الجشمي قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ... وأصدقها حارث وهمام
Dari Abu Wahb Al-Jusyamiy ia berkata:
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “…..Nama yang paling
benar adalah Haarits dan Hamaam”. (HR. Abu Dawud no. 4950 dan Ahmad 3/345 no.
19054; shahih – lihat selengkapnya takhrij hadits ini dalam Silsilah
Ash-Shahiihah no. 904 dan 1040)
Seandainya benar bahwa Al-Haarits
adalah nama syaithaan atau iblis, niscaya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak akan memerintahkan untuk menamakan anak dengan Haarits/Al-Haarits,
karena:
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (takhrij hadits selengkapnya bisa
dibaca di sini)
Wallaahu a’lam. Ini saja yang dapat
dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Footnote:
(1) Muhammad bin Basysyaar bin
‘Utsmaan Al-‘Abdiy Abu Bakr Al-Bashriy yang terkenal dengan sebutan Bundaar;
seorang perawi yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 167 H, dan
wafat tahun 252 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 828 no. 5791)
(2) ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits
bin Sa’iid At-Tamiimiy Al-‘Anbariy At-Tanuuriy, Abu Sahl Al-Bashriy; seorang
yang shaduuq, dan tsabt dalam hadits Syu’bah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat
tahun 207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 610 no. 4108)
(3) ‘Umar bin Ibraahiim Al-‘Abdiy, Abu
Hafsh Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun dla’iif dalam hadits Qataadah.
Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Abu Daawud dalam Al-Qadar, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 714 no. 4897)
(4) Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah
As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun
banyak melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 60 H/61 H, dan
wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553, Ta’riifu
Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49,
dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484)
(5) Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar
Al-Bashriy Al-Anshaariy, Abu Sa’iid atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan
Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, faqiih, faadlil, lagi masyhuur. Termasuk
thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 236 no. 1237)
(6) Samurah bin Jundub bin Hilaal bin
Hudaij Al-Fazaariy, Abu Sa’iid/’Abdillah/’Abdirrahmaan/Muhammad/Sulaimaan;
salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhuur.
Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 58 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 416 no. 2645)
(7) Syaadz bin Fayyaadl Al-Yasykuriy,
Abu ‘Ubaidah Al-Bashriy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar: shaduuq, namun
mempunyai beberapa keraguan dan afraad. Termasuk thabaqah ke-10. Dipakai oleh
Abu daawud dan An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 429 no. 2745)
(8) Ahmad bin Muhammad bin Yahyaa bin
Hamzah bin Waaqid, Abu ‘Abdillah Al-Hadlramiy Ad-Dimasyqiy Al-Batlahiy; seorang
yang dla’iif, shaahubul-manaakir wal-gharaaib. Termasuk thabaqah ke-12, dan
wafat tahun 289 H (Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 179-180 no. 214)
(9) Muhammad bin ‘Utsmaan
At-Tanuukhiy, Abu ‘Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy Al-Kafursuusiy – laqab-nya adalah
Abul-Mujaahir; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 140 H,
dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Abu Daawud dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 877 no. 6175)
(10) Sa’iid bin Basyiir Al-Azdiy atau
An-Nashriy, Abu ‘Abdirrahmaan/Salamah Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy; seorang yang
dla’iif. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 168 H/169 H. Dipakai oleh Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal.
374 no. 2289)
(11) ‘Imraan bin Daawar Al-‘Ammiy,
Abul-‘Awwaam Al-Qaththaan Al-Bashriy; seorang yang shaduuq, namun banyak ragu.
Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat antara tahun 160 H – 170 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariu secara mu’allaq, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 750 no. 5189)
(12) ‘Uqbah bin Aus As-Saduusiy
Al-Bashriy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu
Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 682 no. 4665)
(13) Yaziid bin ‘Abdillah
Asy-Syikhkhiir Al-‘Aamiriy, Abul-‘Alaa’ Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 111 H atau sebelumnya. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1078 no. 7791)
(14) Muhammad bin ‘Abdil-A’laa
Ash-Shan’aaniy Al-Qaisiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 245 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud
dalam Al-Qadar, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 868 no. 6100)
(15) Mu’tamir bin Sulaimaan bin
Tharkhaan At-Taimiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-9, lahir tahun 106 H, dan wafat tahun 187 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 958 no. 6833)
(16) Sulaimaan bin Tharkhaan
At-Taimiy, Abul-Mu’tamir Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk
thabaqah ke-4, lahir tahun 46 H, dan wafat tahun 143 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 409 no. 2590)
(17) Ia adalah Yaziid bin ‘Abdillah
Asy-Syikhkhiir, telah lewat keterangan tentangnya.
(18) ‘Aliy bin Al-Husain bin
Al-Junaid Ar-Raaziy, Abul-Hasan; seorang yang shaduuq, tsiqah, lagi hujjah.
Wafat tahun 291 H (Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 14/16-17 no. 7 dan Mishbaahul-Ariib
2/373 no. 18363.
(19) Muhammad bin ‘Aliy bin Hamzah
Al-Marwaziy, Abu ‘Aliy/’Abdillah Al-Haafidh; seorang yang tsiqah,
shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 261 H. Dipakai oleh
An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6192)
(20) Hibbaan bin Muusaa bin Sawwaar
As-Sulamiy, Abu Muhammad Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-10, dan wafat tahun 233 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, At-Tirmidziy,
dan An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 217 no. 1085)
(21) ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin
Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang
tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H,
dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595)
(22) Syariik bin ‘Abdillah bin Abi
Syariik An-Nakha’iy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy Al-Qaadliy; seorang yang shaduuq,
namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy. Termasuk
thabaqah ke-8, dan wafat tahun 177 H/178 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara
mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 436 no. 2802)
(23) Khushaif bin ‘Abdirrahmaan
Al-Jazriy, Abu ‘Aun Al-Harraaniy Al-Hadlramiy Al-Umawiy; seorang yang shaduuq,
namun jelek hapalannya dan bercampur di akhir hayatnya. Termasuk thabaqah ke-5,
dan wafat tahun 137 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 297 no. 1728)
(24) Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam
Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah, tsabat, lagi faqiih.
Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 95 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 374-375 no. 2291)
(25) Mujaahid bin Jabr, Abul-Hajjaaj
Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang tafsir.
Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 921 no. 6523)
(26) ‘Attaab bin Basyiir Al-Jazriy,
Abul-Hasan/Sahl Al-Harraaniy; seorang yang shaduuq, tapi sering keliru.
Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 190 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu
daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal. 656 no. 4451)
Berikut komentar para ulama
tentangnya: Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang ‘Attaab bin Basyiir, lalu
ia berkata: “Aku harap tidak mengapa dengannya. Ia pada akhir usianya
meriwayatkan hadits-hadits munkar. Dan tidaklah aku melihatnya kecuali dengan
sebab Khushaif”. Di lain tempat ia berkata: “Hadits-haditsnya yang berasal;
dari Khushaif munkar”. Ibnu Ma’iin berkata: “Tsiqah”.
Abu Zur’ah pernah ditanya: “’Attaab
bin Basyiir lebih hapal, ataukah Muhammad bin Salamah?”. Ia berkata: “’Attaab
lebih aku senangi”. An-Nasaa’i berkata: “Laisa bi-dzaaka fil-hadiits”. Di lain
tempat ia berkata: “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Abu Daawud berkata: “Ibnu
Mahdiy meninggalkannya di akhir hayatnya”. Ibnu Abi Haatim berkata: “Tidak
mengapa dengannya”. As-Saajiy berkata: “Padanya terdapat riwayat-riwayat
munkar. Ahmad meriwayatkan dari Wakii’ darinya”. Al-Haakim dan Ad-Daaruquthniy
berkata: “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy menjelaskan hadits-hadits yang diingkari dari
‘Attaab adalah yang berasal dari Khushaif, lalu berkata perihal dirinya secara
umum: “Aku harap, tidak mengapa dengannya”
(lihat: Tahdziibut-Tahdziib, 7/90-91
no. 192)
Kesimpulan: Riwayat-riwayat ‘Attaab
yang diingkari dan dikritik para ulama terutama adalah riwayatnya yang berasal
dari Khushaif. Adapun secara umum – dengan melihat ta’dil yang ada – jarh-jarh
yang ada tidaklah menjatuhkan haditsnya di bawah derajat hasan. Wallaahu a’lam.
(27) ‘Ikrimah Al-Qurasyiy
Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi
faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 104 H, atau dikatakan setelah itu,
di Madinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no. 4707)
(28) Muhammad bin Humaid bin Hayyaan,
Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy; termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 248 H.
Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 839 no. 5871) Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadits, diantaranya:
Al-Bukhaariy berkata: “Fiihi nadhar” (At-Taariikh
Al-Kabiir, 1/167) Sebagaimana maklum bahwa kalimat ini di sisi Al-Bukhariy
merupakan jarh yang keras. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata: “Muhammad
bin Humaid Ar-Raaziy padanya banyak perkara yang diingkari
(katsiirul-manaakir)” (Tahdziibul-Kamaal, 25/102) An-Nasaa’iy berkata: “Tidak
tsiqah” (Taariikh Baghdaad, 2/263 dan Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh
Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959) Ishaaq bin Manshuur berkata: “Aku bersaksi di
hadapan Allah bahwa Muhammad bin Humaid dan ‘Ubaid bin Ishaaq Al-‘Aththaar
adalah pendusta” (Taariikh Baghdaad, 2/263) Shaalih bin Muhammad Al-Asadiy
Al-Haafidh berkata: “Aku tidak melihat seorang pun yang yang lebih banyak
dustanya daripada dua orang, yaitu Sulaimaan Asy-Syaadzakuuniy dan Muhammad bin
Humaid Ar-Raaziy…” (Taariikh Baghdaad, 2/262) Ia telah didustakan oleh Abu
Zur’ah Ar-Raaziy dan Ibnu Waarah (Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005 dan
Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin oleh Ibnul-Jauziy, 3/54 no. 2959) Ibnu Hibbaan
berkata: “Ia termasuk orang yang menyendiri dalam periwayatan dari orang-orang
tsiqah dengan sesuatu yang terbolak-balik, khususnya jika ia meriwayatkan dari
para syaikh negerinya” (Al-Majruuhiin, 2/321 no. 1005) Ibraahiim bin Ya’quub
Al-Jauzajaaniy berkata: “Ia seorang yang bermadzhab buruk, tidak tsiqah” (Ahwaalur-Rijaal,
hal. 207 no. 382) Ibnul-Jauziy memasukkanya dalam Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukiin
(3/54) Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ (2/289 no.
5452) dan berkata: “Dla’iif, bukan dari sisi hapalannya”. Ibnu Hajar berkata:
“Seorang haafidh yang dla’iif. Ibnu Ma’iin mempunyai pandangan baik
terhadapnya” (At-Taqriib, hal. 839 no. 5871) Dan yang lainnya.
Adapun Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’iin,
dan Ja’far bin Abi ‘Utsmaan Ath-Thayaalisiy men-tautsiq-nya.
(Namun Ibnu Hibbaan dalam
Al-Majruuhiin (2/321) menyebutkan bahwa setelah Al-Imam Ahmad mengetahui Abu
Zur’ah dan Ibnu Waarah mendustakan Ibnu Humaid, maka Shaalih bin Ahmad bin
Hanbal berkata: “Sejak saat itu aku melihat ayahku jika disebutkan Ibnu Humaid,
beliau mengibaskan tangannya”.
Nampaknya inilah pendapat terakhir
dari Ahmad bin Hanbal yang mencabut tautsiq-nya dari Muhammad bin Humaid
Ar-Raaziy)
Namun yang raajih adalah pendapat
jumhur yang melemahkannya, karena jarh yang mereka berikan adalah jenis jarh
yang mufassar (dijelaskan sebabnya) Selengkapnya, silakan baca
Tahdziibul-Kamaal, 25/97-108.
Kesimpulan: Ia seorang yang sangat
lemah.
(29) Salamah bin Al-Fadhl Al-Abrasy
Al-Anshaariy, Abu ‘Abdillah Al-Azraq Ar-Raaziy; seorang yang shaduuq, namun
banyak salahnya. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat setelah tahun 190 H. Dipakai
oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah dalam At-Tafsiir (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 401 no. 2518)
(30) Muhammad bin Ishaaq bin Yasaar
Al-Madaniy, Abu Bakr/Abu ‘Abdilah Al-Qurasyiy; seorang yang shaduuq, namun
sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 150 H atau
setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 825 no.
5762)
(31) Daawud bin Al-Hushain
Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Sulaimaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah kecuali
dalam hadits ‘Ikrimah. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 135 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 305 no. 1789)
(32) Al-Hasan bin ‘Athiyyah bin Sa’d
bin Junaadah Al-‘Aufiy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6,
dan wafat tahun 181 H. Dipakai oleh Abu Daawud (Taqriibut-Tahdziib, hal. 239
no. 1266)
(33) Muhammad bin Sa’d bin Muhammad
bin Al-Hasan bin ‘Athiyyah bin Sa’d bin Junaadah Al-‘Aufiy Al-Baghdaadiy, Abu
Ja’far; syaikh (guru) Ath-Thabariy, seorang yang lemah (layyin) Wafat tahun 276
H (Al-Mu’jamush-Shaghiir, hal. 501 no. 3875)
(34) Sa’d bin Muhammad bin Al-Hasan
bin ‘Athiyyah bin Sa’d bin Junaadah Al-‘Aufiy; dilemahkan oleh Al-Khathiib (Lisaanul-Miizaan
3/18-19 no. 67 dan Mishbaahul-Ariib 2/14 no. 10477)
(35) Al-Husain bin Hasan bin
‘Athiyyah bin Sa’d bin Junaadah Al-’Aufiy Al-Qaadliy Al-Kuufiy, Abu ‘Abdillah;
seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-9 (Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati
Al-Imaam Ibni Jariir Ath-Thabariy, hal. 121 no. 811)
(36) ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz
bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy -
terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil,
akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat
tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal.
624 no. 4221)
Ia tidak pernah berjumpa seorang pun
dari kalangan shahabat (Jaami’ut-Tahshiil, hal. 229-230 no. 472)
(37) Al-Qaasim bin Bisyr bin Ahmad –
atau dikatakan: Al-Qaasim bin Ahmad bin Bisyr bin Ma’ruuf – atau dikatakan:
Al-Qaasim bin Bisyr bin Ma’ruuf, Abu Muhammad Al-Baghdaadiy; syaikh (guru)
Ath-Thabariy, seorang yang shaduuq lagi tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10 (Al-Mu’jamush-Shaghiir
li-Ruwaati Al-Imaam Ibni Jariir Ath-Thabariy, hal. 459-460 no. 3541)
(38) Al-Husain bin Bisyr bin
‘Abdil-Hamiid Al-Himshiy Ats-Tsaghariy Ath-Thursuusiy; seorang yang berstatus:
tidak mengapa dengannya. Termasuk thabaqah ke-11, dan dipakai oleh An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 245 no. 1315)
(39) Hajjaaj bin Muhammad
Al-Mishshiishiy, Abu Muhammad Al-A’war; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun
tercampur hapalannya di akhir umurnya ketika ia tiba di Baghdaad sebelum
kematiannya. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 206 H di Baghdaad. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 224 no. 1144)
(40) Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan
Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat
tahun 101 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 313 no. 1850)
(41) Hisyaam bin Muhammad bin
As-Saaib Al-Kalbiy Al-Kuufiy, Abul-Mundzir; seorang yang matruk, ekstrim dalam
pemahaman tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 204 H/206 H (Al-Mu’jamush-Shaghiir
bi-Ruwaati Al-Imaam Ibni Jariir Ath-Thabariy, hal. 612 no. 4783)
(42) Muhammad bin As-Saaib bin Bisyr
bin ‘Amru bin Al-Haarits Al-Kalbiy, Abun-Nadlr Al-Kuufiy; seorang yang tertuduh
berdusta, rafidliy. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 146 H. Dipakai oleh
At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah dalam At-Tafsiir (Taqriibut-Tahdziib, hal. 847 no.
5938)
(43) Muhammad bin Idriis bin
Al-Mundzir bin Daawud bin Mihraan Al-Handhaliy, Abu Haatim Ar-Raaziy
Al-Haafidh; salah seorang huffaadh. Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 195 H,
dan wafat tahun 277 H. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 824 no. 5755)
(44) Shaalih bin Abi Maryam
Adl-Dluba’iy, Abul-Khaliil Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 448 no. 2903)
(45) Muhammad bin ‘Abdil-A’laa
Ash-Shan’aaniy Al-Qaisiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 245 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud
dalam Al-Qadar, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 868 no. 6100)
(46) Muhammad bin Tsaur Ash-Shan’aaniy,
Abu ‘Abdillah Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat
tahun 190 H. Dipakai oleh Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy (Taqriibut-Tahdziib, hal.
831 no. 5812)
(47) Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu
‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah
ke-7, wafat tahun 154 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no.
6857)
(48) Bisyr bin Mu’aadz Al-Aqadiy, Abu
Sahl Al-Bashriy Adl-Dlariir; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, dan
wafat tahun 245 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 171 no. 709)
(49) Yaziid bin Zurai’
Al-‘Aisyiy/At-Taimiy, Abu Mu’aawiyyah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi
tsabat. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 182 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah (Taqriibut-Tahdziib,
hal. 1074 no.7764)
(50) Sa’id bin Abi ‘Aruubah Mihraan
Al-‘Adawiy, Abun-Nadlr Al-Yasykuriy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah haafidh,
mempunyai banyak tulisan, akan tetapi banyak melakukan tadliis dan tercampur
hapalannya (di akhir usianya) Ia orang yang paling tsabt dalam periwayatan
hadits Qataadah. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 156 H/157 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah (Taqriibut-Tahdziib, hal. 384 no. 2378 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat
Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 97 no.
37)
Ibnu Hajar memasukkannya dalam
thabaqah kedua perawi mudallis (Thabaqaatul-Mudallisiin, no. 50)
(51) Kisah ini sama sekali tidak
menyebutkan pertaubatan Aadan dan Hawwaa’ dari kesyirikan yang telah
diperbuatnya – Abul-Jauzaa’.
(52) Allah ta’ala berfirman:
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ
الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ
لا يَبْلَى * فَأَكَلا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا
يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَعَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى *
ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى
“Kemudian setan membisikkan pikiran
jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada
kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?". Maka keduanya
memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan
durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka
Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk”. (QS. Thaha: 120-122)
(Perum Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas,
Bogor, Dzulhijjah, 1432 H)
Penulis: Abul Jauzaa’
(Alumnus IPB & UGM)
Editor: Ahmadi As-Sambasy
Cilacap – Jawa Tengah
Posting Komentar untuk "Kisah Antara Nabi Adam, Hawa, dan Iblis"
Sebelumnya kami ucapkan Jazakumullahu Khairan atas tegur sapa antum semua di web Kabeldakwah.com ini.
==> Komentar Anda akan ditanggapi oleh Admin saat Aktif.